Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pajak berganda merupakan kondisi ketika ada lebih dari satu negara yang mengeklaim hak pemajakan atas suatu transaksi lintas batas negara berdasarkan faktor penghubung yang berlaku menurut ketentuan pajak domestik masing-masing negara.
Konflik antara faktor penghubung tersebut menyebabkan lebih dari satu negara diberikan klaim hak pemajakan atas suatu transaksi ekonomi yang sama.
Menurut sistem pemajakan domestik di banyak negara, klaim hak pemajakan berdasarkan personal connecting factor menimbulkan klaim hak pemajakan terhadap penghasilan, baik yang bersumber di dalam wilayah teritorial suatu negara maupun yang bersumber dari luar negara (worldwide income atau disebut juga dengan universality principle).
Sementara itu, klaim hak pemajakan berdasarkan objective connecting factor menimbulkan klaim hak pemajakan yang terbatas hanya terhadap penghasilan yang bersumber dari suatu negara (limited tax liability atau disebut juga dengan territoriality principle).
Konflik antara kedua faktor penghubung tersebut umumnya disebut dengan residence-source conflict dan merupakan salah satu contoh situasi terjadinya pajak berganda.
Berdasarkan sifatnya, pajak berganda dapat terbagi menjadi yuridis dan ekonomis. Pajak berganda yuridis (juridical double taxation) merujuk pada situasi suatu subjek pajak dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara atas penghasilan yang sama pada suatu periode (tahun) pajak yang sama.
Contoh, situasi saling mengenakan pajak atas penghasilan yang sama terhadap subjek pajak yang sama oleh dua negara yang berbeda.
Sementara itu, pajak berganda secara ekonomis (economical double taxation) merujuk pada situasi suatu penghasilan yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali di dua atau lebih subjek pajak yang berbeda.
Contoh yang umumnya digunakan untuk menjelaskan terjadinya pajak berganda secara ekonomis adalah transaksi pembagian dividen oleh perusahaan.
Isu pajak berganda secara ekonomis dapat juga terjadi dalam konteks transaksi dividen lintas batas negara antara anak perusahaan dan perusahaan induk (intercompany dividends).
Dalam kasus ini bahkan dapat terjadi pajak berganda rangkap tiga (triple double taxation), yaitu kombinasi daripada pajak berganda secara yuridis dan ekonomis.
Contoh lain terjadinya pajak berganda secara ekonomis adalah isu transfer pricing, yaitu saat otoritas pajak suatu negara melakukan koreksi transfer pricing untuk transaksi intra-group lintas batas negara, tetapi tidak disertai dengan corresponding adjustment oleh otoritas pajak di negara lainnya.
Pajak berganda dapat menimbulkan beban keuangan yang cukup memberatkan bagi subjek pajak yang memperoleh penghasilan tersebut sehingga pajak berganda sering disebut sebagai suatu halangan yang besar bagi aktivitas bisnis lintas batas negara.
Oleh karena itu, banyak negara berupaya untuk menghilangkan dampak pajak berganda dengan berbagai metode. Secara umum, metode tersebut dapat dilakukan secara unilateral, bilateral, maupun multilateral.
Ingin tahu lebih lanjut contoh dan ilustrasi pajak berganda? Lalu, bagaimana juga cara mengeliminasi atau penghindaran pajak berganda? Selengkapnya hanya di buku terbitan DDTC terbaru Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda: Panduan, Interpretasi, dan Aplikasi (Edisi Kedua).
Buku seharga Rp1,1 juta ini, sudah termasuk berlangganan platform database Perpajakan DDTC selama 1 tahun dan gratis ongkos kirim ke seluruh wilayah di Indonesia. Untuk itu, pesan sekarang hanya di https://store.Perpajakan DDTC.ddtc.co.id/products/persetujuan-penghindaran-pajak-berganda-panduan-interpretasi-dan-aplikasi-edisi-kedua .
Jika memiliki pertanyaan, Anda juga dapat menghubungi tim Perpajakan DDTC melalui WhatsApp (0813-8080-4136) atau email [email protected]. (rig)