KINERJA penerimaan negara mengalami kontraksi hebat karena lesunya perekonomian akibat pandemi Covid-19. Menyitir pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, rasio pajak (tax ratio) pada 2020 diprediksi sebesar 9,1%, terendah dalam dua dekade terakhir. Angka ini juga turun dari capaian tax ratio 2019 sebesar 10,6%.
Prediksi tersebut jelas beralasan. Laporan APBN Kita yang dirilis Juni 2020 dapat jadi indikasinya. Lihat saja, seluruh kinerja pos pendapatan negara hingga akhir Mei 2020 (yoy) mengalami pertumbuhan negatif.
Penerimaan pajak turun 10,8%. Kinerja penerimaan PPh migas mengalami penurunan terdalam, yaitu 35,6%. Penerimaan bea dan cukai digabung dengan pajak dalam rangka impor (PDRI) terkontraksi sebesar 4,56%. Kemudian, kinerja PNBP – terutama dari sumber daya alam (SDA) – turun sebesar 24,38%.
Meskipun mengalami pelemahan, pemerintah optimis kinerja penerimaan negara akan segera membaik. Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) RAPBN 2021, pemerintah memproyeksi penerimaan perpajakan tumbuh sekitar 2,6% hingga 10,5% dibandingkan dengan outlook tahun ini. Tax ratio 2021 diprediksi sebesar 9,3%—9,68%.
Sebagai informasi, tax ratio tersebut merujuk pada pengertian luas. Artinya, indikator ini didefinisikan sebagai perbandingan atau persentase penerimaan pajak, bea dan cukai, serta PNBP SDA terhadap produk domestik bruto (PDB). Simak pula artikel ‘Salah Kaprah Tax Ratio’.
Lantas, bagaimana kita memaknai prediksi tax ratio tersebut?
Belajar dari Pengalaman
KITA perlu mengetahui bahwa literatur mengenai kinerja tax ratio di tengah krisis ekonomi jumlahnya terbatas. Sebagian besar penelitian lebih memfokuskan pada hubungan kausalitas tentang sejauh mana kebijakan pajak bisa mendorong pemulihan ekonomi. Bukan sebaliknya.
Sebagai catatan, krisis pandemi Covid-19 atau yang kerap disebut sebagai The Great Lockdown tentu memiliki perbedaan karakteristik dengan krisis ekonomi sebelumnya. Walau demikian, pola tax ratio pada krisis sebelumnya dapat dipergunakan sebagai temuan awal.
Kasus pertama ialah krisis ekonomi Asia 1997-1998. Beberapa negara, termasuk Indonesia, mengalami pertumbuhan PDB yang negatif pada periode krisis. Meskipun demikian, secara umum negara-negara tersebut berhasil mencatatkan tingkat pertumbuhan PDB yang positif sejak 1999 melalui berbagai program pemulihan ekonomi (Barro, 2001).
Pada periode krisis Asia, rata-rata tax ratio di negara Asia Pasifik turun sekitar 1,3% (World Bank). Penerimaan negara pascakrisis baru bergerak positif sejak 2001. Menariknya, pola tax ratio pascakrisis di beberapa negara justru berada di bawah angka tax ratio prakrisis.
Kasus kedua ialah krisis keuangan global 2008. Serupa dengan pola krisis Asia 1997-1998, rata-rata pertumbuhan PDB dunia mulai tumbuh positif tahun 2010 (UN, 2017). Dengan kata lain, dua tahun setelah krisis.
Di sisi lain, secara rata-rata, terdapat penurunan tax ratio dunia sebesar 1,5% pada saat krisis keuangan global (World Bank). Sementara itu, rata-rata tax ratio negara anggota OECD turun sekitar 1,2% selama 2008-2011 (LeBlanc, et.al., 2013). Pemulihan penerimaan pajak pascakrisis 2008 umumnya baru dirasakan pada 2012.
Apa yang kita bisa kita pelajari dari dua studi kasus tersebut? Bagaimana kaitannya dengan proyeksi pemerintah? Setidaknya terdapat lima hal yang bisa kita pelajari.
Pertama, upaya mengembalikan kinerja penerimaan negara untuk kembali ke situasi normal prakrisis (rebound) membutuhkan waktu sekitar 3-4 tahun. Tidak hanya itu, waktu pemulihan kinerja penerimaan umumnya juga lebih lama daripada pemulihan ekonomi.
Durasi waktu tersebut mengindikasikan adanya keterbatasan ruang untuk melakukan terobosan pemungutan secara cepat. Ekonomi yang masih rapuh jelas akan jadi pertimbangan utama. Selain itu, sumber-sumber penerimaan negara belum stabil.
Kedua, relatif lambannya pemulihan penerimaan agaknya disebabkan pula oleh kebijakan relaksasi fiskal yang masih dipertahankan. Fase pascakrisis umumnya mendorong setiap negara untuk memperbaiki daya saingnya (Darussalam, 2020). Salah satunya melalui instrumen pajak.
Tren kompetisi pajak pascakrisis 2008 bisa menjadi contoh nyata. Penurunan tarif, perubahan sistem pemajakan hingga pemberian berbagai insentif justru kian meningkat selama satu dekade terakhir (Cotrut dan Munyandi, 2018).
Ketiga, pada dasarnya besaran tax ratio bergantung pada aspek penerimaan (pembilang) dan size dari ekonomi itu sendiri (penyebut). Selama perubahan nilai penerimaan negara bersifat proporsional terhadap perubahan nilai PDB, tax ratio harusnya tetap stabil.
Dengan demikian, turunnya angka tax ratio pada saat krisis menyiratkan lebih besarnya perubahan persentase penerimaan negara dibanding perubahan persentase aktivitas ekonomi. Prediksi tax ratio 2021 yang masih berada di bawah tax ratio 2019 memberikan sinyal bahwa pemerintah akan lebih memprioritaskan laju ekonomi dibandingkan optimalisasi penerimaan.
Keempat, kinerja tax buoyancy pada periode krisis dan pascakrisis menjadi kunci perbaikan tax ratio. Selama tax buoyancy tidak bisa ditingkatkan di atas 1,00 maka terdapat kemungkinan pola kinerja tax ratio pascakrisis akan berada di bawah pola prakrisis. Ini tentu perlu menjadi perhatian.
Kelima, pola penerimaan juga akan sangat tergantung dari jenis dan dampak krisis. Selama krisis tidak memberikan dampak signifikan bagi tergerusnya basis pajak, seharusnya kinerja tax ratio tidak akan sulit untuk rebound.
Namun, jika krisis meningkatkan tingkat pengangguran, menciptakan transformasi struktural, dan menggeser aktivitas ekonomi dari sektor formal ke informal, waktu pemulihan penerimaan negara menjadi lebih panjang.
Arah ke Depan
BAGI Indonesia, adanya krisis Covid-19 ini jelas mendistorsi agenda peningkatan tax ratio. Padahal, IMF berpendapat bahwa setidaknya dibutuhkan tax ratio sebesar 15% untuk mendukung keberlangsungan pembangunan berkelanjutan (Gaspar et. al., 2016).
Mencapai angka tersebut tentunya bukan jalan yang mudah. Kendati demikian, beberapa catatan berikut dapat dipertimbangkan.
Pertama, mempertahankan basis pajak. Kita semua perlu menggarisbawahi bahwa pada saat krisis akan tetap lebih baik jika penerimaan pajak hanya terganggu secara temporer. Namun, jangan sampai tergerus secara permanen.
Berbagai insentif pajak dan program pemulihan ekonomi yang telah diluncurkan pemerintah sejatinya sudah tepat. Upaya meningkatkan penyerapan berbagai stimulus tersebut pada dasarnya akan turut menjamin basis pajak agar tidak “hilang” secara permanen, misalnya mencegah tutupnya kegiatan usaha.
Kedua, memicu kestabilan dari sektor ekonomi utama. Dalam upaya meningkatkan tax ratio, negara perlu mendorong stabilitas sektor-sektor yang memiliki elastisitas lebih kuat bagi penerimaan.
Pada konteks Indonesia, sektor tersebut misalkan kegiatan konsumsi domestik serta industri pengolahan. Tidak hanya itu, intervensi juga perlu dilakukan bagi sektor yang memiliki efek pengganda ekonomi yang besar seperti labour-intensive sector.
Ketiga, strategi pemungutan kepada aktivitas atau objek yang relatif memiliki dampak distorsi minim bagi perekonomian. Dari konteks ini, pajak yang berbasis aset atau kekayaan justru perlu dipertimbangkan (Heady dan Byrs, 2009). Selain itu, pemungutan yang bersifat korektif seperti halnya cukai juga bisa diperluas.
Melalui ketiga strategi tersebut tentu kita berharap tax ratio Indonesia akan pulih secara cepat. Semoga.*