RENDAHNYA rasio pajak (tax ratio) Indonesia menjadi sorotan pemerintah maupun para pemerhati pajak. Pada 2016 lalu, tax ratio Indonesia tercatat hanya mencapai 10,3%. Kemudian, dalam APBN-P 2017 dan RAPBN 2018 pemerintah mematok target tax ratio berturut-turut sebesar 10,9% dan 11,5%.
Jika dibandingkan, nilai persentase ini jauh berada di bawah rata-rata seluruh negara yang berada di kisaran 15-16%. Bahkan, tax ratio rata-rata negara anggota OECD mencapai lebih dari 30%.
Pada dasarnya, apabila ingin melihat seberapa besar kapasitas sistem perpajakan suatu negara dalam memajaki aktivitas ekonomi di dalamnya, nilai tax ratio memang dapat dijadikan acuan yang paling mudah karena perhitungannya yang sederhana.
Namun apakah nilai tersebut sesungguhnya dapat diperbandingkan dengan tax ratio negara lain? Lalu, sejauh mana kita dapat membuat suatu interpretasi dari nilai tax ratio?
Tanpa adanya jawaban yang jelas atas kedua pertanyaan di atas, penggunaan tax ratio akan cenderung menjadi ‘salah kaprah’ sehingga kesimpulan yang diambil menjadi bias, terutama ketika diperbandingkan dengan negara lain.
Menetapkan Definisi Tax Ratio
Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pemerintah Indonesia menetapkan definisi tax ratio dibandingkan negara-negara lain pada umumnya. Negara-negara lain biasanya menggunakan definisi yang ditetapkan oleh IMF atau OECD. Karena itu, setidaknya ada tiga definisi yang perlu disoroti: definisi yang digunakan oleh IMF, OECD, dan Pemerintah Indonesia.
Ketiganya memiliki definisi umum yang sama, yaitu rasio antara penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun perbedaan yang mencolok terletak pada pembilangnya, yaitu komponen apa saja yang menjadi penerimaan pajak.
Acuan perhitungan yang digunakan oleh IMF mengenai penerimaan pajak tertuang dalam Government Financial Statistics Manual (GFSM), yang isinya telah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir pada 2014.
Walau tidak memberikan definisi tax ratio secara gamblang, GFSM mendefinisikan penerimaan pajak sebagai penerimaan yang diperoleh unit-unit pemerintah (pusat maupun daerah) secara langsung maupun yang berasal dari lembaga atau badan usaha yang dikontrol oleh pemerintah.
Lebih lanjut, manual tersebut menetapkan enam komponen penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan pajak. Enam komponen tersebut antara lain (i) pajak atas penghasilan, keuntungan; (ii) pajak atas gaji atau upah; (iii) pajak atas properti; (iv) pajak atas barang dan jasa; (v) pajak atau bea atas perdagangan internasional dan transaksi-transaksinya; dan (vi) pajak-pajak lainnya.
Jika kita cermati definisi keenam komponen tersebut, maka penerimaan pajak yang dimaksud mencakup seluruh jenis penerimaan pajak yang dikumpulkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, bea dan cukai, penerimaan yang berasal dari keuntungan badan usaha yang dikontrol pemerintah yang ditransfer ke pemerintah selain dividen, dan penerimaan negara atas penggalian sumber daya mineral, minyak bumi, dan sumber negara lainnya.
Sementara itu, cakupan penerimaan “pajak” yang ditetapkan oleh OECD lebih luas lagi, yaitu dengan memasukkan kontribusi jaminan sosial sebagai salah satu komponen.
Hal ini wajar mengingat negara-negara anggota OECD pada umumnya telah lama menerapkan sistem welfare state dalam menyelenggarakan jaminan sosialnya. Sebagai contoh, kontribusi jaminan sosial di negara maju seperti Italia, Perancis, Austria Jerman, dan Finlandia mencapai 12,7% hingga 16,9% dari PDB. Maka tidak terlalu mengherankan jika nilai tax ratio mereka lebih dari 30%.
Bagaimana dengan Indonesia?
Hingga 2017, pemerintah Indonesia menetapkan cakupan penerimaan pajak dalam perhitungan tax ratio menggunakan arti sempit dan arti luas. Tax ratio dalam artian sempit mencakup penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat, antara lain PPh, PPN/PPnBM, PBB, Bea dan Cukai, dan pajak lainnya sebagaimana ditetapkan dalam postur APBN.
Sementara itu, tax ratio dalam artian luas mencakup komponen penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA) migas dan pertambangan. Walau memiliki dua macam definisi, nilai yang selama ini kerap digunakan sebagai acuan adalah tax ratio dalam artian sempit.
Menariknya, dalam konferensi pers RAPBN 2018 yang dilakukan pada hari Rabu (16/7), diungkapkan bahwa penetapan target tax ratio menggunakan definisi yang lebih luas. Atas dasar definisi tersebut, tax ratio ditargetkan mencapai 11,5%. Hingga saat ini, belum diketahui apakah definisi tax ratio dalam artian sempit tidak digunakan lagi atau akan diumumkan lebih lanjut.
Penetapan tax ratio dengan definisi yang lebih luas tersebut sebenarnya lebih sejalan dengan definisi cakupan penerimaan pajak sebagaimana dituangkan dalam GFSM. Selain cakupan penerimaan lebih luas, perhitungan tax ratio juga tetap tidak melibatkan penerimaan lain seperti tilang, denda, dan kontribusi jaminan sosial.
Namun demikian, masih terdapat dua jenis penerimaaan yang belum dikategorikan sebagai penerimaan pajak di Indonesia. Pertama, keuntungan yang diperoleh badan usaha milik negara yang dialihkan kepada pemerintah pusat maupun daerah di luar dividen. Kedua, penerimaan pajak daerah.
Untuk melakukan perhitungan tax ratio yang sejalan dengan GFSM, sebenarnya pemerintah dapat mengacu pada PMK-275/2014. Peraturan tersebut mengatur tentang Manual Statistik Keuangan Pemerintah Indonesia agar mengacu pada manual statistik keuangan pemerintah yang berlaku secara internasional setelah diadaptasi dengan kondisi dan kebutuhan pemerintah.
Dalam lampiran Manual Statistik Keuangan Pemerintah Indonesia, bisa diketahui bahwa definisi penerimaan pajak di Indonesia sudah sejalan dengan GFSM. Hal tersebut dilakukan dalam rangka meningkatan akurasi, keandalan, dan akuntabilitas pelaporan keuangan pemerintah.
Penerapan hal ini juga sekaligus menegaskan bahwa pemerintah tidak perlu mengikuti cara perhitungan tax ratio menggunakan cakupan yang digunakan oleh OECD, selain karena skema jaminan sosial di Indonesia memang masih terbilang baru dan memiliki skema yang berbeda dengan negara-negara lain.
Dengan menggunakan persepsi yang sama dengan GFSM dalam menghitung tax ratio, maka akan ada dua implikasi utama. Pertama, hasil perhitungan tax ratio Indonesia akan menjadi lebih dapat diperbandingkan secara apple to apple dengan tax ratio negara lain. Kedua, upaya meningkatkan tax ratio menjadi tidak semata-mata tugas Kementerian Keuangan saja, melainkan seluruh jajaran pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta seluruh institusi yang juga memiliki tanggung jawab serupa.
Keterbatasan Interpretasi Tax Ratio
Hal kedua, yang perlu menjadi catatan selanjutnya adalah sejauh mana kita dapat membuat interpretasi dari nilai tax ratio. Salah satu kritik pertama atas penggunaan tax ratio diungkapkan oleh Lotz and Morss (1967). Mereka berpendapat tax ratio tidak mempertimbangkan karakteristik sistem pajak maupun non-pajak suatu negara.
Karakteristik sistem pajak mengacu pada jenis-jenis pajak yang diberlakukan, subjek dan objek pajak, serta besaran tarifnya, sementara karakteristik non-pajak mengacu pada aspek sosial, ekonomi, dan demografi yang turut mempengaruhi kinerja penerimaan pajak.
Dengan demikian, nilai tax ratio tidak dapat secara langsung digunakan sebagai ukuran kinerja pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajak. Hal ini disebabkan nilai tax ratio sendiri tidak mencerminkan besaran potensi pajak yang sebenarnya dapat digali dalam suatu negara. Potensi pajak tersebut dapat berasal dari ketidakpatuhan pajak, kemampuan membayar (ability to pay) wajib pajak maupun sektor dalam ekonomi, serta besaran shadow economy yang belum tercatat dalam sistem ekonomi.
Untuk mengukur kinerja penerimaan pajak, sebenarnya ada dua indikator lain yang lebih tepat, yaitu tax effort dan tax gap. Tax effort merupakan rasio antara penerimaan pajak yang diperoleh terhadap estimasi penerimaan pajak yang seharusnya dapat diperoleh atau potensi penerimaan pajak (Stotsky dan Wolde-Mariam, 1997).
Adapun tax gap adalah selisih antara penerimaan pajak yang diperoleh dengan penerimaan pajak yang seharusnya dapat diperoleh (Raczkowski, 2015). Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi besaran penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh dalam perhitungan tersebut antara lain kapasitas otoritas pajak, kondisi ekonomi, dan struktur demografi (Cyan, Martinez-Vazquez dan Vulovic, 2014).
Melihat kedua definisi tersebut, sebenarnya secara prinsip baik tax effort maupun tax gap mengukur dua hal yang sama, tax effort menggunakan nilai rasio, sedangkan tax gap menggunakan nilai selisih. Pada praktiknya, perhitungan tax gap juga dilakukan secara lebih spesifik untuk melihat potensi penerimaan yang belum tergali per sektor ekonomi, per jenis pajak, atau per karakteristik wajib pajak.
Walau tax effort dan tax gap lebih baik ketimbang tax ratio, metode pengukuran kedua indikator tersebut masih terus berkembang dan belum ada yang dianggap mampu menghasilkan perhitungan akurat. Hal ini terutama disebabkan potensi penerimaan pajak sangat sulit diukur. Selain itu, dalam menentukan definisi dan batasan mengenai apa yang dimaksud potensi penerimaan pajak sendiri masih terdapat banyak perdebatan.
Pada akhirnya, tiap indikator memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tax ratio terbatas dalam menghasilkan suatu interpretasi, namun mudah untuk dihitung. Sementara tax effort dan tax gap lebih meyakinkan dalam menghasilkan kesimpulan, namun sangat sulit diukur.
Dari penjelasan di atas, setidaknya ada tiga hal yang dapat disimpulkan. Pertama, pemerintah perlu secara bijak dalam menetapkan definisi tax ratio yang lebih mencerminkan kinerja penerimaan pemerintah Indonesia secara umum dan mampu melihat posisi tax ratio Indonesia dibandingkan negara lain.
Kedua, penting bagi pemerintah untuk dapat memiliki indikator lain yang dapat disandingkan dengan tax ratio, seperti tax effort dan tax gap. Ketiga, yang tidak kalah penting: kita jangan sampai ‘salah kaprah’ lagi dalam mengartikan tax ratio.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.