PERKEMBANGAN digitalisasi yang pesat telah memengaruhi berbagai kegiatan sosial dan ekonomi. Progresivitas digitalisasi makin terlihat dengan adanya pandemi Covid-19 yang memaksa masyarakat untuk melakukan social distancing dan larangan berkerumun.
Perkembangan teknologi tersebut kemudian mengarah pada munculnya model pekerjaan baru di berbagai negara, seperti gig economy. Dalam gig economy, transaksi yang terjadi antara dua pihak, yaitu penjual dan pembeli dan dilakukan melalui perantara berupa platform digital.
Akibat gig economy, seseorang bisa mendapatkan penghasilan dari jasa-jasa individu (personal services) yang tersedia lewat platform digital. Perkembangan gig economy membuat cara orang untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan mengalami perubahan.
Dalam konteks pajak, penghasilan individu yang bekerja pada sektor tersebut masih cenderung sulit untuk dipajaki oleh otoritas pajak di berbagai negara. Lantas, bagaimanakah kebijakan negara-negara untuk memajaki para pekerja yang terlibat dalam gig economy?
Perlakuan pajak beberapa negara terhadap pekerja gig economy tersebut diuraikan dalam jurnal berjudul āTaxation of Workers in the Gig Economy: A European Perspectiveā. Adapun artikel ini ditulis oleh beberapa praktisi di bidang pajak antara lain Gillian Murdoch, Ludmila Maurer, Anne-Carien Smale, Andrea Mirabella, geoffrey Poran, Eleonore DāAnthonay, dan Davinia Rogel.
Pada bagian awal jurnal, penulis mengungkapkan pesatnya perkembangan teknologi ternyata telah mengarahkan adanya perubahan sistem ketenagakerjaan yang dari semula kaku menjadi lebih fleksibel di negara-negara Eropa.
Namun, kebijakan pajak yang berlaku saat ini belum dapat menjangkau tatanan gig economy. Melihat adanya kekosongan hukum tersebut, penulis menilai pemimpin negara-negara di Eropa perlu menerbitkan aturan baru dalam menjawab tantangan perpajakan gig economy.
Studi Komparasi
DALAM jurnal yang diterbitkan pada 2021 ini, penjelasan mengenai perubahan lanskap pekerjaan dan dampaknya untuk sektor perpajakan diuraikan dengan melakukan studi komparasi di enam negara yaitu Inggris, Jerman, Belanda, Italia, Prancis, dan Spanyol.
Sebelum melihat perlakuan pajak atas pekerja gig economy, jurnal ini mengarahkan pembaca untuk memahami terlebih dahulu status ketenagakerjaan pekerja tersebut pada masing-masing negara, sebelum masuk pada pokok pembahasan.
Di Prancis, Kementerian Tenaga Kerja menganggap status pekerja sektor gig economy masih dalam wilayah abu-abu sebab belum ada ketentuan khusus terkait dengan hal tersebut. Ke depannya, Pemerintah Perancis akan menetapkan status ketenagakerjaan khusus bagi para pekerja.
Dalam rancangan aturan pajak gig economy, Pemerintah Prancis mewajibkan pihak pemberi kerja dalam gig economy untuk lebih transparan mengenai transaksi yang terjadi dalam platform digitalnya. Namun, usulan rancangan aturan tersebut masih dalam pembahasan dan belum menemukan titik temu.
Sementara itu, Pemerintah Jerman tidak berniat untuk membuat perubahan peraturan perpajakan baru yang berkaitan dengan banyaknya pekerja gig economy. Pemerintah juga tidak mempersoalkan perihal status pekerja bidang gig economy. Para perusahaan teknologi hanya diminta untuk mengonfirmasi kepada otoritas pajak, apakah pihaknya perlu melakukan pemotongan pajak atau tidak.
Sementara itu, pemotongan pajak di Inggris dapat dilakukan oleh platform digital jika status pekerja gig economy dinyatakan sebagai karyawan suatu perusahaan digital. Adapun Italia dan Belanda masih belum memiliki ketentuan pajak khusus untuk sektor gig economy.
Sementara itu, otoritas pajak Spanyol terikat dengan keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap (incracht). Artinya, setelah Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan mengenai kriteria klasifikasi pekerja dan perpajakan mengenai gig economy maka putusan tersebut menjadi acuan atau dasar hukum.
Pada bagian kesimpulan, penulis menilai status ketenagakerjaan dan ketentuan pajak terhadap pekerja gig economy tersebut masih belum jelas. Saat ini masih belum adanya kepastian dan keseragaman kriteria dalam menentukan seseorang yang bekerja di bidang gig economy.
Penulis memandang tampaknya terdapat kecenderungan menganggap para pekerja gig economy sebagai karyawan atau wiraswasta, seperti Prancis dan Spanyol. Untuk itu, kebijakan perpajakannya juga masih belum pasti.
Perspektif OECD
OECD melalui Forum on Tax Administration (FTA) sebenarnya telah membahas mengenai langkah yang efektif untuk memajaki platform penjualan barang dan jasa dalam sharing and gig economy yang memanfaatkan teknologi digital.
Dalam laporan FTA OECD bertajuk āThe Sharing and Gig Economy: Effective Taxation of Platform Sellerā, terdapat tiga rekomendasi mengenai cara terbaik untuk membantu mengawal kepatuhan pajak gig economy.
Pertama, keterlibatan platform sharing and gig economy dalam mendidik penjual mengenai kewajiban pajak mereka. Bagaimanapun, pendidikan dan bimbingan merupakan aspek penting untuk meningkatkan kepatuhan pajak pihak-pihak yang terlibat dalam sharing and gig economy.
Kedua, peningkatan basis bukti untuk memahami risiko pajak. FTA berupaya mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang skala risiko pajak, termasuk dari sharing and gig economy. Dalam konteks ini, perlu peningkatan kerja sama internasional dan pertukaran informasi.
Ketiga, bantuan untuk pembuat kebijakan dalam mengembangkan model pelaporan standar, termasuk memfasilitasi pertukaran informasi yang lebih besar antar administrasi pajak. Standarisasi pelaporan dan persyaratan due diligence lintas yurisdiksi dapat membantu meminimalkan beban platform.
Untuk mencapai standardisasi secara terpadu dan tepat waktu diperlukan diskusi kebijakan multilateral. Standarisasi seperti itu juga dapat memfasilitasi pengembangan perjanjian pertukaran otomatis secara internasional untuk yurisdiksi yang ingin mengambil opsi tersebut.
Di Indonesia, solusi yang tepat untuk menghadapi tantangan gig economy bukan dengan memberikan pajak tambahan atau pajak jenis baru. Kebijakan dari sisi administrasi menjadi solusi atas tantangan pajak yang timbul dari pesatnya perkembangan gig economy.
Skema kebijakan yang bisa diambil adalah melalui withholding tax atau menyerahkan tanggung jawab kepada platfom digital dalam pemungutan pajak.
Secara umum, penulis telah menguraikan mengenai ketentuan hukum ketenagakerjaan dan hukum perpajakan di beberapa negara terkait dengan gig economy dengan komprehensif.
Hasil studi komparasi tersebut akan terasa lebih lengkap apabila para penulis juga memberikan analisis mendalam mengenai langkah yang seharusnya diambil negara-negara dalam menghadapi perkembangan teknologi dan gig economy.
Penulis juga menegaskan bahwa jurnal ini digagas untuk meningkatkan kesadaran negara-negara akan risiko yang ada dari perubahan lanskap pekerjaan dan hukum pajak atas banyaknya pekerja dalam gig economy dan platform online.
Jurnal ini dapat menjadi referensi bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui perkembangan kebijakan pajak atas gig economy di berbagai negara Eropa.
*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkanĀ HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya diĀ sini.