Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Sebelum menentukan tarif, pemerintah dinilai perlu terlebih dahulu mematangkan desain pajak karbon.
Researcher DDTC Fiscal Research Lenida Ayumi mengatakan rencana pengenaan pajak karbon melalui revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) merupakan langkah positif yang perlu didukung. Apalagi, Indonesia menjadi salah satu dari 20 negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia.
“Terlebih, dari tujuannya, pengenaan pajak karbon memiliki dua keunggulan, yaitu sebagai sumber pembiayaan untuk menurunkan emisi karbon serta sebagai instrumen fiskal untuk optimalisasi penerimaan negara, khususnya pada fase pemulihan ekonomi,” ujar Ayumi, Rabu (30/6/2021).
Kendati demikian, pemerintah tidak perlu tergesa-gesa untuk menentukan besaran tarif. Berbagai risiko dan konsekuensi penerapan pajak karbon perlu dipetakan terlebih dahulu. Salah satunya terkait dengan potensi kenaikan emisi pada negara yang tidak menerapkan pajak karbon (carbon leakage).
Pasalnya, pengenaan pajak karbon dapat meningkatkan biaya produksi cukup signifikan, khususnya bagi industri berbasis energi. Dengan demikian, ada potensi perubahan perilaku perusahaan untuk merealokasi produksinya ke negara yang tidak menerapkan pajak karbon atau memiliki tarif pajak yang rendah.
“Oleh karena itu, sebelum beralih kepada penentuan tarif, desain pajak karbon seperti halnya penentuan basis pajak atau objek yang dikenakan pajak perlu didefinisikan secara matang,” ujar Ayumi.
Terkait dengan hal ini, pemerintah berencana untuk mengenakan pajak karbon pada level produsen. Dalam rencana pemerintah, objek yang dikenai pajak karbon yaitu emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Menurut Ayumi, pemerintah dapat menentukan terlebih dahulu karakteristik sektoral yang akan terdampak kebijakan pajak karbon. Jika melihat praktik internasional, sektor yang dikenakan pajak karbon cukup bervariasi, mulai industri, pembangkit, hingga transportasi.
Selain itu, sambung dia, salah satu faktor penting yang akan menentukan keberhasilan kebijakan pajak karbon adalah penggunaan dari penerimaan pajak tersebut. Penerimaan pajak karbon perlu diatur dan dialokasikan secara ideal baik melalui mekanisme earmarking maupun skema pendanaan lingkungan (environmental fund) lainnya.
Apabila tidak dialokasikan secara efektif, risiko pergeseran pemanfaatan pajak karbon dapat terjadi akibat perubahan prioritas belanja pemerintah. Hal ini meningkatkan ketidakpastian bagi industri terdampak dan masyarakat secara umum.
Kosta Rika merupakan salah satu negara yang menerapkan skema earmarking dalam pajak karbon. Lebih dari sepertiga penerimaan pajak karbon dialokasikan untuk investasi reboisasi dan pelestarian hutan. Selain earmarking, terdapat juga negara yang memilih untuk menggunakan mekanisme environmental fund dalam mengatur alokasi pajak karbon, seperti Kolombia.
Ayumi menambahkan kebijakan pajak karbon juga perlu simultan dengan instrumen fiskal dan nonfiskal lainnya agar target penurunan emisi karbon Indonesia dapat tercapai. Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menyiapkan fasilitas, termasuk pemberian tax holiday, tax allowance, dan fasilitas impor dalam mendorong penggunaan energi ramah lingkungan.
Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan reward bagi industri ketika berhasil menciptakan efisiensi terhadap penggunaan bahan bakar fosil. Dalam fase implementasi, lanjut Ayumi, kebijakan pajak karbon juga perlu didukung dengan kemudahan administrasi, konsistensi dan kepastian hukum, serta sosialisasi yang efektif kepada seluruh stakeholder.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam rapat Kerja dengan Komisi XI DPR pada Senin (28/6/2021), Kementerian Keuangan mengusulkan pengenaan pajak karbon dengan tarif senilai Rp75 per kilogram emisi CO2. (kaw)