RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa kepabeanan mengenai keabsahan surat penetapan kembali tarif dan/atau nilai pabean (SPKTNP) dan penentuan tarif preferensi Asean Trade in Goods Agreement (ATIGA).
Dalam kasus ini, wajib pajak berdalil bahwa pihaknya tidak setuju dengan koreksi yang ditetapkan otoritas kepabeanan. Wajib pajak telah memenuhi seluruh ketentuan untuk memperoleh tarif preferensi ATIGA. Selain itu, impor barang dengan skema third country invoicing tetap dapat memanfaatkan tarif preferensi sepanjang dapat dibuktikan adanya keterkaitan antarpihak dalam transaksi.
Sebaliknya, otoritas kepabeanan menyatakan bahwa wajib pajak tidak memenuhi syarat untuk memanfaatkan tarif preferensi ATIGA. Selain itu, saat proses banding wajib pajak tidak pernah mempermasalahkan keabsahan SPKTNP yang ditandatangani oleh Direktur Audit Kepabeanan. Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus sengketa melebihi yang dimohonkan para pihak.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan membatalkan penetapan otoritas kepabeanan. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan dari otoritas kepabeanan selaku Pemohon PK.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.
Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas kepabeanan. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan bahwa SPKTNP No. 481/BC.6/2014 tertanggal 24 November 2014 yang ditandatangani oleh Plt Direktur Audit Kepabeanan tidak sah dan batal demi hukum.
Berdasarkan PMK 117/2009, pelaksana tugas tidak memiliki kewenangan untuk mengambil atau menetapkan keputusan yang mengikat seperti pembuatan daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan, penjatuhan hukuman disiplin, penetapan surat keputusan, dan keputusan yang menyebabkan pengeluaran negara. Dengan demikian, Plt Direktur Audit Kepabeanan tidak memiliki kewenangan untuk menandatangani surat penetapan tersebut.
Atas permohonan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan membatalkan penetapan otoritas kepabeanan. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak No. Put. 68881/PP/M.VIIA/19/2016 tertanggal 1 Maret 2016, otoritas kepabeanan mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 22 Juni 2016.
Pokok sengketa perkara a quo adalah koreksi bea masuk yang ditetapkan otoritas kepabeanan dalam SPKTNP No. 481/BC.6/2014 tertanggal 24 November 2014 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan tim audit dalam laporan hasil audit No. 267/BC.62/IU/2014 tertanggal 17 November 2014 (LHA 267), terdapat beberapa fakta yang ditemukan.
Pertama, terdapat dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) yang tidak memenuhi ketentuan preferensi tarif bea masuk dengan skema ATIGA. Kedua, surat keterangan asal (SKA) formulir D atas barang yang diberitahukan dengan tarif preferensi tidak diberikan tanda centang (√) pada kolom third country invoicing.
Ketiga, Pemohon PK tidak dapat menemukan informasi perusahaan yang mengeluarkan invoice. Padahal, informasi tersebut wajib dicantumkan dalam formulir. Dengan demikian, SKA formulir D tidak dapat diterima sebagai dasar pemberian tarif preferensi.
Atas kesalahan dan tidak terpenuhinya unsur dalam memperoleh tarif preferensi ATIGA, Pemohon PK menerbitkan SPKTNP No. 481/BC.6/2014. Dengan demikian, Pemohon menilai atas importasi barang seharusnya dikenakan tarif umum. Selain itu, Pemohon PK menilai bahwa Termohon wajib membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) yang kurang dibayar.
Lebih lanjut, Pemohon menyatakan bahwa SPKTNP No. 481/BC.6/2014 yang ditandatangani oleh Plt Direktur Audit Kepabeanan sah secara hukum. Sebab, surat penetapan dibuat oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa surat yang diajukan Pemohon PK sebagai bukti baru (novum) dalam persidangan.
Adapun bukti surat yang dimaksud membuktikan perihal tata cara pengangkatan PNS sebagai pelaksana tugas dan kewenangan pejabat pelaksana tugas dan pelaksana harian. Dalam bukti surat yang diajukan tersebut, menandatangani penetapan menjadi salah satu kewenangan Plt Direktur Audit Kepabeanan.
Saat proses banding, Termohon tidak pernah mempermasalahkan keabsahan SPKTNP No. 481/BC.6/2014 yang ditandatangani oleh Plt Direktur Audit Kepabeanan. Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus sengketa melebihi yang dimohonkan para pihak. Termohon sehingga putusan Pengadilan Pajak menjadi ultra petita.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan keberatan dengan penetapan Pemohon PK. Termohon PK telah mencantumkan dengan benar nomor referensi SKA dan kode fasilitas. Dalam formulir D tidak terdapat kolom third party invoicing sehingga kewajiban membubuhkan tanda centang (√) tidak dapat dilakukan.
Meskipun tidak ada ada informasi pihak yang mengeluarkan invoice, Termohon sudah mencantumkan nomor dan tanggal invoice. Adapun SKA tersebut diterbitkan oleh pihak yang berwenang sehingga Termohon dapat menjamin kevalidan dokumen.
Selain itu, impor barang dengan menggunakan skema third country invoicing tetap dapat diberikan tarif preferensi ATIGA. Tarif preferensi ATIGA dapat diberikan sepanjang ditemukan bukti-bukti saling keterkaitan antara pihak yang terlibat dalam transaksi. Dalam hal ini, Termohon PK dapat membuktikan keterkaitan antarpihak dalam transaksi.
Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan membatalkan penetapan Pemohon PK sehingga bea masuk dan PDRI yang masih harus dibayar menjadi nihil sudah tepat. Terdapat beberapa pertimbangan Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, SPKTNPÂ No. 481/BC.6/2014 yang ditandatangani oleh Plt Direktur Audit yang berisi tagihan bea masuk, PPN, dan PPh Pasal 22 sebesar Rp7.466.670.000 tidak dapat dibenarkan.
Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam persidangan, dalil Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Kedua, dalam perkara ini, Plt Direktur Audit Kepabeanan tidak memiliki kewenangan hukum untuk menerbitkan SPKTNPÂ No.481/BC.6/2014. Dengan demikian, penetapan tersebut tidak memiliki legalitas dan validitas hukum sehingga tidak dapat dipertahankan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.