RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa yang Muncul akibat Penyerahan Tanah untuk Pembayaran Utang

DDTC Fiscal Research and Advisory
Senin, 23 September 2024 | 14.30 WIB
Sengketa yang Muncul akibat Penyerahan Tanah untuk Pembayaran Utang

Ilustrasi.

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 23 akibat penyerahan tanah dalam rangka pembayaran utang yang dianggap bunga.

Dalam perkara ini, wajib pajak memperoleh pinjaman dari X Co di Inggris. Dikarenakan wajib pajak tidak dapat membayar utang sesuai dengan tanggal jatuh tempo maka disepakati pembayaran utang melalui pengalihan hak atas tanah.

Untuk menjalankan skema pembayaran utang tersebut, X Co membentuk PT X sebagai anak perusahaan yang menerima aset Termohon PK berupa tanah seluas 385.835 m2. Sebagai informasi, nilai tanah yang disepakati oleh kedua belah pihak adalah nilai menurut akta jual beli (AJB) yang dibuat di hadapan notaris.

Kemudian, otoritas pajak menilai bahwa terdapat hubungan istimewa antara wajib pajak dengan PT X dan/atau X Co sehingga nilai tanah berdasarkan AJB dianggap tidak wajar. Otoritas pajak berpendapat bahwa tanah yang diserahkan seharusnya menggunakan nilai tanah menurut perusahaan penilai. Dengan demikian, selisih antara nilai tanah menurut AJB dengan nilai tanah menurut perusahaan penilai diasumsikan otoritas pajak sebagai bunga yang dikenakan PPh Pasal 23.

Sebaliknya, wajib pajak tidak setuju dengan koreksi otoritas pajak tersebut. Sebab, wajib pajak berpendapat bahwa hubungannya dengan PT X tidak termasuk ke dalam definisi hubungan istimewa sebagaimana regulasi yang berlaku di Indonesia. Dengan begitu, sudah semestinya wajib pajak menggunakan harga tanah yang disepakati oleh kedua belah pihak menurut AJB yang dibuat di hadapan notaris.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi positif yang ditetapkan oleh otoritas pajak tidak dapat dipertahankan.

Berdasarkan pada penelitian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menilai bahwa wajib pajak dapat membuktikan bahwa tidak adanya biaya bunga atau pembayaran bunga dari wajib pajak kepada PT X.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. PUT.50128/PP/M.X/12/2014 pada 27 Januari 2014, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 16 Mei 2014.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif DPP PPh Pasal 23 senilai Rp18.113.120.000 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK tidak setuju dengan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang membatalkan koreksi positif DPP PPh Pasal 23 sebesar Rp18.113.120.000.

Sebagai informasi, Termohon PK yang memiliki usaha di bidang pengembangan dan pengelolaan kawasan industri memperoleh pinjaman dari X Co di Inggris. Namun, wajib pajak tidak dapat membayar uang yang dipinjamnya hingga tanggal jatuh tempo. Pada akhirnya, kedua belah pihak sepakat untuk melakukan restrukturisasi utang dengan cara membuat perjanjian pertukaran sebagian utang dengan aset wajib pajak (partial debt to asset swap agreement).

Untuk menjalankan perjanjian ini, X Co membentuk PT X sebagai anak perusahaan yang menerima aset Termohon PK berupa tanah seluas 385.835 m2. Adapun nilai penyerahan tanah untuk pembayaran sebagian utang tersebut adalah sebesar Rp49.386.880.000 sebagaimana tercantum dalam AJB yang dibuat di hadapan notaris.

Sengketa ini terjadi karena Pemohon PK berpendapat bahwa nilai tanah yang digunakan untuk pembayaran utang tersebut tidak wajar. Pendapat tersebut timbul karena Pemohon PK beranggapan bahwa terdapat hubungan istimewa antara Termohon PK dengan PT X dan/atau X Co.

Menurut Pemohon PK, hubungan istimewa terjadi karena Termohon PK diwajibkan untuk mengikuti keputusan dari PT X ataupun X Co dalam hal melakukan penentuan nilai pengalihan aset berupa tanah. Sebab, PT X dan/atau X Co dinilai dapat memengaruhi keputusan manajemen Termohon PK dalam melakukan transaksi wajar berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 1983 s.t.d.t.d UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).

Akibat adanya klaim hubungan istimewa tersebut, Pemohon PK berpendapat bahwa besaran pengalihan hak atas tanah seharusnya menggunakan hasil penilaian konsultan independen. Berdasarkan penilaian konsultan independen, nilai pasar atas tanah tersebut adalah sebesar Rp67.500.000.000. Adapun besaran nilai tersebut telah diakui oleh Termohon PK dalam laporan keuangan sebagai nilai wajar aset yang digunakan sebagai dasar penghitungan keuntungan pengalihan aset.

Jika demikian, Pemohon PK berkesimpulan bahwa selisih antara nilai tanah menurut AJB dengan nilai tanah menurut perusahaan penilai yang sebesar Rp18.113.120.000 merupakan imbalan bunga sehubungan dengan pembayaran utang yang merupakan objek PPh Pasal 23.

Pendapat Pemohon PK tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU PPh. Berdasarkan uraian di atas, Pemohon PK menilai bahwa koreksi yang dilakukannya sudah benar dan dapat dipertahankan.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Termohon PK menilai bahwa dalam pelaksanaan transaksi pembayaran utang tidak terdapat hubungan istimewa antara wajib pajak dengan X Co maupun PT X. Sebab, hubungan utang piutang tidak termasuk ke dalam definisi hubungan istimewa menurut Pasal 18 ayat (4) UU PPh.

Dengan tidak adanya hubungan istimewa tersebut maka Pemohon PK berpendapat bahwa transaksi penyerahan tanah yang terjadi seharusnya menggunakan harga kesepakatan sebagaimana tertera dalam AJB. Adapun pada hakikatnya harga kesepakatan sebesar Rp49.386.880.000 masih berada pada kisaran penilaian konsultan independen, yaitu Rp47.000.000.000 sampai dengan Rp67.500.000.000.

Selain itu, harga kesepakatan tersebut juga lebih tinggi dari nilai jual objek pajak (NJOP), yaitu sebesar Rp47.958.880.000, yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Ditjen Pajak (DJP). Berdasarkan pertimbangan di atas, Termohon PK menyatakan koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak benar sehingga harus dibatalkan.

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruh permohonan banding sudah tepat dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam putusan PK ini, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam persidangan, Mahkamah Agung menilai bahwa koreksi DPP PPh Pasal 23 yang dilakukan oleh Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Sebab, Pemohon PK tidak dapat melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum membayar biaya perkara. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.