PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (4)

Tata Cara Penagihan dan Pembayaran PBB

Redaksi DDTCNews
Senin, 25 Januari 2021 | 18.08 WIB
Tata Cara Penagihan dan Pembayaran PBB

PEMBAYARAN pajak, termasuk di antaranya pajak bumi dan bangunan (PBB), merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap wajib pajaknya. Namun, bagaimana kewajiban tersebut dijalankan? Seperti apa tata cara melunasi pembayaran PBB yang terutang tersebut?

Berbeda dengan jenis pajak lainnya di Indonesia yang menerapkan sistem self-assesment, pemenuhan kewajiban PBB menerapkan sistem official assessment. Artinya, otoritas pajak yang menentukan jumlah pajak terutang dari wajib pajak. Penerapan sistem ini dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian hukum atas jumlah pajak yang dibayar oleh wajib pajak.

Penagihan PBB
KETENTUAN penagihan PBB yang dipungut oleh pemerintah pusat mengacu pada Pasal 11 Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB). Berdasarkan ketentuan tersebut, jangka waktu pembayaran pajak terutang ditentukan berdasarkan jenis surat terutang yang merupakan dasar penagihan pajak tersebut.

Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) UU PBB, otoritas pajak melakukan penagihan pajak dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang diterbitkan atas dasar Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP). Namun, untuk membantu wajib pajak, SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada pada Ditjen Pajak (DJP).

Selain itu, merujuk pada Pasal 10 ayat (2) UU PBB, otoritas pajak juga dapat melakukan penagihan pajak dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan yang berlaku.

Penagihan dengan SKP tersebut dilakukan apabila wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya walaupun sudah ditegur secara tertulis atau apabila jumlah pajak yang terutang ternyata lebih besar dari jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung atas dasar SPOP.

Untuk penagihan pajak yang terutang dengan SPPT, berdasarkan pada Pasal 11 ayat (1) UU PBB, pajak yang terutang tersebut harus dilunasi dalam jangka waktu paling lambat enam bulan. Jangka waktu tersebut terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak yang bersangkutan.

Sementara itu, sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UU PBB, untuk penagihan pajak yang terutang dengan SKP, pajak yang terutang tersebut harus dilunasi paling lambat dalam waktu satu bulan. Jangka waktu yang dimaksud juga terhitung sejak tanggal diterimanya SKP oleh wajib pajak.

Lebih lanjut, sesuai Pasal 11 ayat (3) UU PBB, apabila seorang wajib pajak terlambat atau kurang dalam melakukan pembayaran pajak yang terutang padanya maka terhadap wajib pajak tersebut akan dikenai denda administrasi. Adapun denda yang dikenakan, sebesar 2% setiap bulannya dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai tanggal dilakukannya pembayaran dalam jangka waktu paling lama 24 bulan.

Sebagaimana diatur Pasal 11 ayat (4) UU PBB, untuk penagihan denda administrasi dan pokok pajaknya dilakukan melalui Surat Tagihan Pajak (STP). Adapun dalam penagihan yang dilakukan, meliputi denda administrasi beserta jumlah hutang pajak yang belum atau yang kurang dibayarnya.

Denda administrasi tersebut harus dilunasi paling lambat dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya STP oleh wajib pajak. Selain itu, mengacu pada ketentuan Pasal 14 UU PBB, menteri keuangan juga dapat melimpahkan kewenangan untuk melakukan penagihan PBB kepada gubernur, bupati, atau wali kota madya.

Selanjutnya, ketentuan penagihan PBB yang dipungut oleh pemerintah daerah (PBB-P2) diatur dalam Pasal 101 UU PDRD. Sesuai dengan pasal tersebut, kepala daerah memiliki kewenangan untuk menentukan tanggal jatuh temponya pembayaran dan penyetoran PBB yang terutang.

Mengenai penetapan tanggal jatuh temponya, berdasarkan Pasal 101 ayat (1) UU PDRD, harus sudah ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja setelah saat terutangnya pajak. Sementara itu, untuk penetapan tanggal jatuh setelah diterimanya SPPT oleh wajib pajak tidak boleh lebih dari enam bulan sejak tanggal diterimanya SPPT tersebut.

Berdasarkan Pasal 101 ayat (2) UU PDRD, untuk dasar penagihan pajak melalui SPPT, SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah), SKPDKB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar), SKPDKBT (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan), STPD (Surat Tagihan Pajak Daerah), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan putusan banding yang menyebabkan jumlah PBB yang harus dibayar bertambah maka pajak yang terutang tersebut harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama satu bulan. Jangka waktu di atas mulai terhitung sejak tanggal diterbitkannya dasar penagihan tersebut.

Selain itu, berdasarkan Pasal 101 ayat (3) UU PDRD, kepala daerah juga diberi kewenangan untuk memberikan persetujuan kepada wajib pajak agar dapat mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya apabila wajib pajak tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Namun, untuk pengangsuran atau penundaan pembayaran tersebut, dikenakan bunga sebesar 2% untuk setiap bulannya sampai pembayaran dilunasi.

Secara keseluruhan, perbedaan antara penagihan PBB oleh pemerintah pusat dan daerah terletak pada pihak yang berwenang untuk melakukan penagihan tersebut. Jika dibandingkan dengan penagihan PBB oleh pemerintah pusat, ketentuan penagihan PBB oleh pemerintah daerah atau PBB-P2 cenderung lebih beragam. Hal ini dikarenakan tergantung dari ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah daerahnya masing-masing seperti mengenai tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran PBB.

Tata Cara Pembayaran PBB
TATA cara pembayaran PBB yang dipungut pemerintah pusat diatur dalam Pasal 11 ayat (5) UU PBB. Berdasarkan ketentuan tersebut, pembayaran PBB dapat dilakukan di bank, kantor pos, giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan.

Selanjutnya, mengacu pada Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (PMK 242/2014), pembayaran dan penyetoran pajak termasuk PBB dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).

Selain dengan SPP, pambayaran dan penyetoran PBB juga dapat dilakukan menggunakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP. Adapun sarana administrasi lain yang dimaksud berdasarkan Pasal 11 ayat (3) PMK 242/2014.

Sarana administrasi lain itu meliputi bukti penerimaan negara (BPN), bukti pemindahbukuan (Pbk) atas pembayaran, atau bukti penerimaan pajak lainnya yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang penggunaanya akan dinyatakan sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Untuk bukti Pbk baru dinyatakan sah apabila telah ditandatangani oleh pejabat yang berwenang untuk menerbitkan bukti Pbk.

Adapun tata cara pembayaran PBB yang dipungut oleh pemerintah daerah diatur dalam peraturan masing-masing daerah sebagaimana ditekankan dalam Pasal 101 ayat (4) UU PDRD. Untuk tenggat waktu pembayaran juga ditetapkan oleh pemerintah daerah, misalnya dalam hal ada perpanjangan jatuh tempo pembayaran PBB. Simak Jatuh Tempo Pembayaran PBB-P2 Diperpanjang Sampai Oktober 2020.

Namun, apabila wajib pajak masih belum juga melunasi pembayaran PBB baik yang dipungut pemerintah pusat maunpun daerah sampai waktu jatuh tempo maka berdasarkan Pasal 13 UU PBB dan Pasal 102 UU PDRD, otoritas pajak dan pemerintah daerah dapat melakukan penagihan dengan surat paksa. Simak Memahami Pengertian Penagihan Pajak dengan Surat Paksa!

Selain itu, untuk memudahkan wajib pajak, saat ini sudah banyak pemerintah daerah yang menerapkan pembayaran PBB melalui sistem elektronik atau online. Pembayaran tersebut dilakukan melalui aplikasi tertentu sesuai dengan yang ditetapkan oleh masing-masing pemerintah. Simak Bayar Pajak PBB Kini Bisa Lewat Lima Aplikasi Ini! (faiz)*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.