BEA perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) merupakan salah satu jenis pajak melekat pada transaksi pengalihan atas tanah dan bangunan. Jenis pajak ini dipungut oleh pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Terkait dengan rekonsiliasi fiskal, biaya yang dikeluarkan wajib pajak berupa BPHTB dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh, besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi antara lain biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk antara lain pajak kecuali PPh. Artinya, biaya jenis pajak lain dapat menjadi pengurang selama berkaitan dengan kegiatan usaha.
Lebih lanjut, Pasal 9 ayat (2) UU PPh menyatakan pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun tidak diperbolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A UU PPh.
Merujuk Pasal 11 ayat (1) UU PPh, penyusutan dilakukan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 11A ayat (1) UU PPh, amortisasi dilakukan atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Berdasarkan ketentuan di atas, mengingat pengeluaran BPHTB melekat pada perolehan harta berwujud berupa tanah dan bangunan yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun maka alokasi pembiayaannya dilakukan dengan metode penyusutan atau amortisasi.
Ketentuan atas pengeluaran BPHTB ini juga telah ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-01/PJ.42/2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Pengeluaran untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai Biaya/Pengurang Penghasilan Bruto (SE-01/2002).
Dalam SE tersebut ditegaskan bahwa BPHTB adalah pajak yang dibayar dalam rangka dan merupakan bagian dari biaya pengeluaran untuk memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Adapun perlakukan PPh atas pengeluaran BPHTB tersebut diatur sebagai sebagai berikut:
Pertama, BPHTB atas hak atas tanah yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dapat dikurangkan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak melalui amortisasi hak atas tanah sepanjang hak atas tanah tersebut dapat diamortisasi sesuai ketentuan Pasal 11A UU PPh.
Kedua, BPHTB atas hak atas bangunan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan, atau dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dapat dikurangkan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak melalui penyusutan bangunan tersebut sesuai ketentuan Pasal 11 UU PPh.
Contoh Kasus
PADA tanggal 17 Oktober 2019 PT Agung Jaya membeli sebidang tanah dan bangunan dengan harga beli Rp10.000.000.000. Berdasarkan taksiran akuntan, nilai pasar tanah adalah Rp6.000.000.000 dan nilai pasar gedung adalah Rp4.000.000.000. Selain itu, PT Agung Jaya harus membayar biaya jasa notaris sebesar Rp80.000.000, biaya pengurusan sertifikat tanah Rp50.000.000, dan BPHTB sebesar Rp500.000.000.
Atas informasi di atas, bagaimana perlakuan atas biaya BPHTB tersebut, berapa besar dasar penyusutan fiskal untuk bangunan serta  beban penyusutan fiskal untuk tahun 2019?
Berdasarkan ketentuan yang telah diuraikan, BPHTB dialokasikan ke harga perolehan tanah dan bangunan berdasarkan nilai pasarnya. Dalam hal ini, BPHTB yang dialokasikan ke bangunan menjadi unsur harga perolehan bangunan dan dibebankan melalui penyusutan bangunan tersebut. Sementara untuk tanah, tidak dapat dilakukan penyusutan sesuai ketentuan Pasal 11 UU PPh.
Berikut jawaban selengkapnya:
Perlakuan atas biaya BPHTB
Berdasarkan perhitungan alokasi di atas, biaya BPHTB yang dapat dialokasikan terhadap biaya perolehan bangunan adalah sebesar Rp200.000.000.
Dasar penyusutan fiskal untuk bangunan:
Dengan demikian, beban penyusutan bangunan PT Agung Jaya untuk tahun pajak 2019 adalah 5% x 3/12 bulan x Rp4.232.000.000 = Rp52.900.000.*