Ilustrasi.
INDONESIA resmi menerapkan pajak minimum global sesuai dengan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) mulai tahun pajak 2025. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 136/2024.
Pajak minimum global menyasar perusahaan multinasional (PMN) dengan omzet konsolidasi global minimal senilai EUR750 juta atau sekitar Rp12,7 triliun per tahun. Langkah ini merupakan bagian dari kesepakatan Pilar 2 yang digagas G-20 dan dikoordinasikan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) serta didukung oleh lebih dari 140 yurisdiksi.
Penerapan pajak minimum global tidak hanya akan meningkatkan penerimaan pajak melalui mekanisme top-up tax. Lebih luas dari itu, penerapan pajak minimum global juga menjadi langkah maju dalam menciptakan keadilan hak pemajakan antara negara tempat perusahaan beroperasi dan negara tempat perusahaan berdomisili.
Isu mengenai pajak minimum global bisa dibilang masih asing di mata publik, apalagi detail ketentuannya cukup kompleks. Untuk memahami topik ini, berikut adalah penjelasan singkat sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang cukup sering dilontarkan publik mengenai pajak minimum global.
Kerangka perpajakan internasional yang tecermin dalam peraturan domestik dan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) mengasumsikan PMN akan membayar pajak atas penghasilan dari transaksi lintas batas mereka. Secara umum, PMN diasumsikan akan membayar pajak di negara sumber penghasilan dan/atau di negara tempat PMN berdomisili.
Namun, globalisasi ekonomi dan transformasi digital membuat PMN dapat mendesain sedemikian rupa entitas dan transaksinya sehingga pajak yang dikenakan bisa sangat rendah, bahkan bebas-pajak. Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan peraturan pajak antar-suatu negara dengan negara lainnya.
Ketidakterpaduan peraturan pajak tersebut membuat PMN dapat mengeksploitasi celah perbedaan peraturan agar penghasilannya tidak dikenakan pajak. Di sisi lain, PMN juga dapat mengalihkan penghasilannya ke yurisdiksi yang tergolong tax haven atau yurisdiksi di mana tidak terdapat kegiatan usaha riil sehingga menyebabkan tidak adanya pajak yang dibayar.
Skema penghindaran pajak tersebut terkait erat dengan apa yang disebut sebagai base erosion and profit shifting (BEPS). Praktik BEPS sangat merugikan, terutama bagi negara berkembang. Untuk mengatasi permasalahan itu, menteri keuangan negara-negara G20 sepakat untuk memulai suatu agenda bersama yang diberi nama Proyek Anti-BEPS (BEPS Project). Guna merealisasikannya, G-20 memberikan mandat kepada OECD untuk merumuskan rekomendasi yang diperlukan.
Secara keseluruhan, Proyek Anti-BEPS terdiri atas 15 Rencana Aksi. Salah satu rencana aksi tersebut berfokus pada tantangan pemajakan ekonomi digital (Aksi 1). Berdasarkan temuan Final Report BEPS Action 1 (2015), diperlukan adanya pembicaraan yang lebih luas mengenai alokasi hak pemajakan atas operasi lintas batas karena seluruh sektor ekonomi telah terdigitalisasi.
Pada Januari 2019, muncul gagasan perlunya skenario untuk bersama-sama menjamin sistem pajak global yang lebih adil (konsensus) melalui Solusi Dua Pilar. Sesuai namanya, konsensus ini terdiri dari 2 pilar. Pilar 1, berfokus pada ekonomi digital dan alokasi hak pemajakan. Sementara itu, Pilar 2 berupaya untuk menyelesaikan masalah BEPS yang tersisa (Pedelwitz dan Turina, 2021).
Kehadiran Pilar 2 bisa dianggap sebagai ‘pelengkap’ dari solusi pemajakan di era digital. Adanya pilar 2 kemudian mendorong ide pajak minimum global.
Perlu dipahami bahwa ide ini secara resmi justru digaungkan oleh IMF melalui publikasinya yang berjudul Corporate Taxation in the Global Economy (2019). Sebulan setelah publikasi IMF, OECD mulai merumuskan program kerja penyelesaian konsensus pajak digital, termasuk pajak minimum dalam Pilar 2 (OECD, 2019). Simak Mencermati Kesepakatan Pajak Minimum Global.
Pajak minimum global adalah ketentuan pengenaan pajak tambahan yang dikembangkan oleh OECD/G-20 IF on BEPS yang meliputi commentary, examples, agreed administrative guidance, GloBE information return, dan safe harbours and penalty relief.
Ketentuan pajak minimum global dirancang untuk memastikan PMN besar membayar pajak pada tingkat minimum di setiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi. Pajak minimum global berlaku terhadap grup PMN yang beromzet konsolidasi global minimal senilai EUR750 juta. Adapun tarif pajak efektif minimum yang disepakati dalam konsensus global adalah sebesar 15%.
Untuk itu, grup PMN yang tercakup dalam penerapan pajak minimum global harus menghitung penghasilan dan pajak yang dibayarkannya pada setiap yurisdiksi. Apabila tarif efektif yang ditanggung grup PMN pada suatu yurisdiksi tidak mencapai 15% maka akan dikenakan pajak tambahan (top-up tax). Simak Apa Itu Pajak Minimum Global? (Update PMK 136/2024).
Setidaknya terdapat 2 manfaat umum dari pajak minimum global. Pertama, mengurangi risiko praktik BEPS yang telah menjadi tantangan sektor PPh badan di berbagai negara.
Kedua, mengurangi tensi kompetisi pajak atau biasa disebut race to the bottom. Selama 3-4 dekade terakhir, tren penurunan tarif PPh dan berbagai insentif pajak adalah kebijakan yang tidak terpisahkan dari reformasi pajak di berbagai negara (Kristiaji, 2019). Simak Bagaimana Kita Harus Menyikapi Pajak Minimum Global?
Pada intinya, pajak minimum global akan mengenakan top-up tax apabila tarif efektif yang ditanggung PMN pada suatu yurisdiksi di bawah 15%. Untuk menjamin PMN membayar pajak dalam jumlah minimum, negara-negara yang memilih menerapkan pajak minimum global telah sepakat untuk melakukannya secara konsisten dan terkoordinasi.
Sifat aturan pajak minimum global pun saling terkait dengan adanya rule of order dalam menentukan yurisdiksi yang berhak memperoleh top-up tax. Adapun penentuan yurisdiksi yang berhak memperoleh top-up tax dilakukan berdasarkan pada 3 skema, yaitu: Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax (QDMTT), Income Inclusion Rule (IIR), dan Under Taxed Payment Rule (UTPR). Namun, ada sejumlah tahapan yang harus ditempuh sebelum dapat menentukan top-up tax.
Tahapan yang dimaksud antara lain:
Kemudian, dalam setiap tahapan tersebut masih terdiri atas beberapa langkah lanjutan yang perlu dilaksanakan.
Pembahasan pajak minimum global dikoordinasikan oleh OECD dengan dukungan G-20. Untuk itu, informasi mengenai pajak minimum global di antaranya dapat diperoleh melalui laman khusus yang disediakan OECD, yaitu https://www.oecd.org/en/topics/sub-issues/global-minimum-tax/global-anti-base-erosion-model-rules-pillar-two.html.
Selain itu, ada 6 dokumen panduan dari OECD yang bisa menjadi rujukan untuk memahami ketentuan pajak minimum global. Keenam dokumen ini juga menjadi panduan bagi yurisdiksi yang mengadopsi pajak minimum global, termasuk Indonesia.
Dokumen rujukan pengenaan pajak minimum global dari OECD tersebut meliputi: The GloBE Model rules, commentary of model rules, illustrative examples, agreed administrative guidance, GloBE information return, dan safe harbours and penalty relief. Seluruh dokumen tersebut dapat diakses pada tautan di atas.
Berdasarkan hasil survei International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD) pada 142 yurisdiksi hingga 23 Januari 2025, seluruh yurisdiksi yang disurvei telah berkomitmen untuk menerapkan pajak minimum global.
Dari 142 yurisdiksi tersebut, sebanyak 37 yurisdiksi atau 26% di antaranya sudah menerapkan pajak minimum global. Sementara itu, 10 yurisdiksi atau 7% dilaporkan berencana menerapkan pajak minimum global, serta 95 yurisdiksi lainnya atau 67% baru berkomitmen menerapkan pajak minimum global. Simak Terbaru! Simak Perkembangan Negara yang Terapkan Pajak Minimum Global.
Indonesia turut menyepakati penerapan pajak minimum global pada 2021. Indonesia kemudian menerbitkan payung hukum pelaksanaan Statement of Two Pillar Solution di Indonesia melalui Pasal 32A Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP). Selanjutnya, Indonesia kembali mengatur pengenaan pajak minimum global melalui Pasal 54 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022.
Kemudian, Indonesia mulai menyusun rancangan peraturan menteri keuangan (RPMK) tentang pengenaan pajak minimum global di Indonesia pada 2024. Pada tahun yang sama, Indonesia juga menandatangani MLI STTR. Pada awal 2025, Kementerian Keuangan akhirnya menerbitkan PMK 136/2024 yang menjadi landasan penerapan pajak minimum global di Indonesia. (sap)