PEMERINTAH sudah pasti akan menurunkan tarif PPh Badan dari 25% menjadi 20%. Argumen yang kerap jadi pertimbangan adalah upaya untuk menarik investasi ataupun modal, terutama dalam konteks kompetisi penurunan tarif yang semakin meningkat belakangan ini.
Lantas, apakah tarif PPh Badan memang sedemikian berpengaruh terhadap aliran modal? Jenis modal apakah yang diperebutkan melalui penurunan tarif? Tulisan ini akan membahas hal-hal tersebut. Aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain tarif PPh Badan akan menjadi bahasan pada artikel-artikel selanjutnya.
Fenomena Penurunan Tarif
PENINGKATAN daya saing untuk memperebutkan modal bukanlah sesuatu yang baru. Pasca sistem Bretton Woods pada pertengahan 1970-an, banyak negara mulai menghapuskan rezim pengendalian lalu-lintas modal antarnegara. Akibatnya, mobilitas modal semakin bebas. Pada saat yang bersamaan, ide mengenai supply-side economics yaitu menggenjot ekonomi melalui pengurangan beban pajak kian populer. Pada periode ini, tarif rata-rata PPh Badan dunia terjun bebas. Inilah gelombang pertama kompetisi pajak.
Sejak saat itu, pajak, khususnya tarif, menjadi salah satu faktor yang kian dipertimbangkan dalam keputusan penanaman modal. Fenomena kompetisi tarif semakin ‘tidak sehat’ dengan hadirnya yurisdiksi yang dikategorikan tax haven.
Sebenarnya, pada 1998, OECD telah menyerukan perlunya perhatian secara global atas fenomena tersebut melalui publikasinya bertajuk ‘Harmful Tax Competition: An Emerging Global Issue’. Sayangnya, tidak ada langkah konkret. Kompetisi penurunan tarif juga terus berlanjut meskipun dianggap sebagai salah satu penyebab maupun rumitnya penyelesaian dampak krisis keuangan global 2008 (Dietsch, 2015). Contoh yang paling fenomenal adalah Amerika Serikat melalui Tax Cuts and Jobs Act.
Studi OECD (2019) membuktikan fenomena tersebut. Pada 2000, rata-rata tarif PPh Badan di 94 negara adalah 28,6%. Sekitar 18 tahun kemudian, tarifnya menurun sekitar 7% sehingga rata-rata tarif PPh Badan menjadi sebesar 21,4% saja.
Secara kawasan, negara-negara di Afrika masih memiliki tarif PPh Badan yang relatif lebih tinggi dibandingkan secara global maupun kawasan lain. Hal ini membenarkan pendapat dari Abbas dan Klemm (2012) yang menyatakan bahwa di negara-negara berkembang, kompetisi pajak umumnya lebih dititikberatkan pada upaya pemberian insentif ketimbang penurunan tarif secara drastis.
Untuk kawasan Asia, khususnya Asean, perlombaan penurunan tarif juga terjadi. Pada 2019, rata-rata tarif PPh Badan di Asean adalah sebesar 22,35%. Dari 10 negara Asean, hanya ada 2 negara yang tarif PPh Badan lebih besar atau sama dengan Indonesia yaitu Myanmar dan Filipina. Menariknya, melalui TRABAHO Bill, Filipina akan secara bertahap menurunkan tarifnya hingga 20% di 2029.
Singkatnya, tarif PPh Badan di Indonesia jauh lebih tinggi dari rata-rata kawasan maupun global. Ini tentu mengurangi keleluasaan kita dalam mempertahankan tarif.
Perebutan Apa?
DALAM diskusi mengenai kompetisi pajak, setidaknya terdapat tiga jenis modal yang diperebutkan sebagai alasan penurunan tarif (Dietsch dan Rixen, 2016).
Pertama, portfolio investment sebagai bentuk harta kekayaan. Portfolio investment ini misalnya kas, surat berharga, instrumen keuangan, dan sebagainya. Penempatan harta di negara dengan tarif PPh yang rendah atau 0% akan membuat return yang relatif lebih tinggi. Apalagi, negara yang memiliki tarif rendah biasanya juga memiliki fitur kerahasiaan perbankan.
Tidak mengherankan jika hingga kini tax haven dan juga offshore financial center menjadi tempat favorit berlabuhnya dana dan aset keuangan. Kehadiran mereka ibarat ‘pelumas’ praktik offshore tax evasion dan perencanaan pajak yang agresif. Zucman (2015) mengestimasi sekitar US$7,6 triliun dana global ditempatkan di lokasi-lokasi tersebut. Hanya sekitar 20% dari jumlah tersebut yang dilaporkan kepada otoritas pajak.
Lalu bagaimana kita harus bersikap? Amnesti pajak jelas memberikan indikator bahwa praktik offshore tax evasion adalah sesuatu yang nyata di Indonesia. Untungnya, saat ini terdapat dua kerangka kerjasama global yang mampu mengurangi daya tawar dari tax haven. Keduanya adalah automatic exchange of information (AEoI) dan penilaian atas harmful tax regime melalui Proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Aksi 5. Dampaknya, deposito bank di 40 pusat keuangan internasional (international financial centres) telah turun sebanyak 34% selama sepuluh tahun terakhir (OECD, 2019).
Dalam hal ini, argumentasi penurunan tarif untuk memperebutkan portfolio investment – walaupun masih diperlukan – harusnya tidak sekuat sebelumnya. Selain tarif, bauran instrumen fiskal dan moneter justru harus didesain untuk untuk memastikan dana wajib pajak Indonesia terkunci dalam negeri.
Kedua, kompetisi atas pencatatan laba (paper profit). Dalam kompetisi ini, tiap negara berupaya untuk menarik laba yang diperoleh oleh perusahaan multinasional untuk dicatatkan di negara mereka. Secara empiris, telah dibuktikan bahwa perbedaan tarif PPh Badan antarnegara membuat adanya insentif bagi perusahaan multinasional untuk mengalihkan labanya (profit shifting) ke negara dengan tarif yang lebih rendah (Huizinga dan Laeven, 2008; Heckemeyer dan Overesch, 2013). Tujuan perusahaan multinasional jelas, yaitu memaksimalkan laba bersih secara global.
Dua skema yang paling populer adalah manipulasi transfer pricing dan thin capitalization. Melalui BEPS, kedua skema tersebut berupaya untuk dikurangi. Untuk manipulasi transfer pricing, ada perombakan panduan analisis harga wajar yang selaras dengan pembentukan nilai dan format baru dokumentasi transfer pricing (BEPS Action 8-10, BEPS Action 13, serta OECD Transfer Pricing Guidelines 2017). Sementara itu, skema thin capitalization bisa ditangkal melalui pendekatan earning stripping rule.
Walau bisa berperan sebagai sarana pencegahan dan sudah diterapkan di Indonesia, belum ada catatan pasti sejauh mana implementasinya berdampak bagi praktik pengalihan laba. Dengan demikian, penurunan tarif PPh Badan masih relevan bagi Indonesia.
Terakhir, perebutan investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI). Dalam konteks FDI, entitas usaha atau aktivitas ekonomi ikut berpindah bersama dengan modal. Dengan kata lain, terdapat perpindahan real economic activity.
Investor akan menentukan lokasi, besaran, dan skema FDI dengan mempertimbangkan besaran effective tax rate atau beban pajak yang secara aktual diterima oleh investor. Artinya, effective tax rate bisa jadi lebih rendah dari tarif PPh Badan yang tercantum dalam undang-undang karena adanya rezim khusus atas suatu transaksi, pembebasan pajak dividen, depresiasi dipercepat, dan sebagainya. Sebagai ilustrasi, dari studi OECD (2019) diketahui bahwa effective tax rate secara umum adalah lebih rendah sebesar 1,1% dibandingkan dengan statutory tax rate.
Dengan kata lain, upaya menggenjot FDI harusnya lebih difokuskan pada mendesain effective tax rate yang rendah termasuk turut mengubah cara perhitungan basis pajak dan bukan semata-mata sekedar menurunkan tarif PPh Badan yang berlaku secara umum.
Lantas apakah PPh Badan harus diturunkan untuk mengejar FDI? Ini membutuhkan analisis kuantitatif yang lebih mendalam. Satu hal yang pasti, keuntungan perolehan FDI dari penurunan tarif umumnya akan lebih menguntungkan dan berdampak secara permanen bagi negara yang terlebih dahulu menurunkan tarif (first mover advantage). Lihat saja Irlandia dan Singapura. Sayangnya, negara lain yang ‘latah’ untuk menurunkan tarif PPh Badan umumnya tidak akan secara optimal memperoleh efek limpahan (Dietsch, 2015). *