PAJAK bumi dan bangunan (PBB) merupakan pajak yang dikenakan atas tanah dan bangunan. Pajak ini muncul karena adanya kepemilikan hak, penguasaan, atau perolehan manfaat atas suatu bumi atau bangunan.
Sebelum diundangkannya UU PDRD, wewenang pemungutan PBB berada di pemerintah pusat. Namun, sejak diundangkannya UU PDRD pada 15 September 2009, pengelolaan PBB terbagi menjadi dua, yaitu pemerintah pusat untuk PBB P3L dan pemerintah daerah untuk PBB-P2. Simak "Beda PBB-P2 dan PBB-P3".
Kendati wewenang pemungutan PBB-P3L berada di pemerintah pusat, terdapat hasil penerimaan pajak dari sektor tersebut yang disalurkan pada daerah. Penyaluran tersebut dilakukan melalui dana bagi hasil (DBH) PBB.
Mengacu UU No.28/2022 tentang APBN TA 2023, DBH PBB dapat memperhitungkan biaya operasional yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Sehubungan dengan hal itu, Kementerian Keuangan merilis PMK No.184/2022 yang mengatur tentang biaya operasional pemungutan PBB TA 2023.
Lantas, apa itu biaya operasional pemungutan PBB? Biaya operasional pemungutan (BOP) adalah biaya yang meliputi kegiatan pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dilaksanakan oleh Ditjen Pajak (Pasal 1 angka 3 PMK 184/2022).
Berdasarkan definisi tersebut, BOP berarti biaya yang mencakup dana untuk pembiayaan kegiatan pemungutan PBB yang diadministrasikan Ditjen Pajak (DJP) atau biasa disebut sebagai PBB-P3L.
Merujuk pada ketentuan terdahulu, kegiatan pemungutan PBB merupakan satu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan wajib pajak, penilaian, pemrosesan ketetapan pajak terutang, penagihan pajak, sampai pada kegiatan monitoring/pengawasan penyetorannya ke bank, kantor pos, dan giro (KMK No. 490/KMK.04/1995).
BOP kemudian menjadi komponen yang diperhitungkan sebelum penerimaan PBB dialokasikan kepada Daerah dalam bentuk DBH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Besaran BOP tersebut telah ditetapkan persentasenya untuk 6 sektor PBB.
Pertama, BOP PBB sektor perkebunan sebesar 5,4% dari penerimaan PBB sektor perkebunan. Kedua, BOP PBB Sektor perhutanan sebesar 5,85% dari penerimaan PBB sektor perhutanan.
Ketiga, BOP PBB sektor pertambangan minyak dan gas bumi (Migas) sebesar 6,3% dari penerimaan PBB sektor pertambangan Migas.
Keempat, BOP PBB sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi sebesar 6,3% dari penerimaan PBB sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi.
Kelima, BOP PBB sektor pertambangan mineral atau batubara (Minerba) sebesar 6,3% dari penerimaan PBB sektor pertambangan MInerba.
Keenam, BOP PBB sektor lainnya sebesar 6,3% dari penerimaan PBB sektor lainnya. Adapun penganggaran BOP dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan BOP ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan (KMK).
Merujuk pada KMK terdahulu, yaitu KMK No.83/KMK.04/2000, biaya pemungutan PBB digunakan untuk membiayai 5 hal. Pertama, kegiatan, sarana dan prasarana yang mendukung kelancaran operasional pemungutan PBB.
Kedua, pemberian insentif atas prestasi kerja pegawai di lingkungan DJP. Ketiga, komputerisasi perpajakan. Keempat, peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kelima, kegiatan lain yang mendukung kelancaran pelaksanaan tugas DJP. (rig)