SEKTOR keuangan disoroti sebagai salah satu sektor yang potensial untuk dipajaki. Selain dapat meningkatkan penerimaan negara, pengenaan pajak tersebut dipercaya dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya krisis keuangan. Bagaimana caranya?
Pengenaan pajak atas sektor keuangan dipercaya dapat menyebabkan biaya dari melakukan suatu kegiatan keuangan yang berisiko menjadi lebih mahal. Untuk itu, diperlukan identifikasi atas suatu transaksi atau institusi keuangan tertentu yang memiliki risiko tinggi terjadinya krisis keuangan.
Cara ini kemudian dianggap efektif dalam mendorong pelaku pasar keuangan untuk menginternalisasi biaya sosial yang ditimbulkan jika krisis keuangan terjadi.
Wacana pemajakan ini meluas pertama kali di Amerika Serikat pada 1936. Ide ini digagas oleh John Maynard Keynes pada masa Great Depression. Pemajakan di pasar keuangan juga diajukan oleh James Tobin pada 1972, ketika otoritas moneter The Bretton Woods System tidak mampu menjaga kestabilan moneter global pada saat itu.
Terakhir, isu ini menguat kembali pada tahun 2008 pada saat krisis keuangan di Eropa. Dengan kata lain, isu pemajakan terhadap pasar keuangan mencuat setiap kali timbulnya krisis finansial.
Meskipun demikian, gagasan tersebut hampir tidak pernah direalisasikan. Regulasi keuangan saja kerap dianggap cukup untuk mencegah krisis keuangan serta menjaga kestabilan moneter di setiap negara. Benarkah regulasi yang diterapkan cukup mampu untuk menjaga stabilitas keuangan suatu pasar keuangan?
Ruud de Mooij dan Gaetan Nicodeme merangkum berbagai analisis mengenai hal tersebut dalam buku yang berjudul Taxation and Regulation of the Financial Sector. Buku tersebut memberikan argumen akan pentingnya peran pemajakan atas sektor keuangan, dari sudut pandang ekonomi maupun politik.
Ada berbagai jenis pajak sektor keuangan yang dapat menjadi pilihan. Salah satu yang terkenal adalah Financial Activities Tax (FAT) yang diterapkan di beberapa yurisdiksi seperti Islandia, Israel, dan Quebec, Kanada. Pajak ini menyasar pada keuntungan yang diperoleh oleh suatu institusi keuangan.
Lalu ada juga Financial Transaction Tax (FTT), yang besaran tarifnya tergantung risiko yang dikandung atas suatu transaksi. Semakin berisiko jenis transaksi tersebut, maka semakin tinggi pula tarif pajaknya.
Jenis pajak ini biasa diterapkan di negara-negara Eropa. Selain itu ada juga Financial Stability Contribution (FSC), di mana besaran tarif yang dikenakan pada suatu institusi tergantung tingkat risiko yang dimiliki oleh institusi itu sendiri. Adapun pajak ini diterapkan di Prancis, Jerman, Inggris, dan Korea Selatan.
Secara garis besar, perlunya pemberlakuan pajak terhadap pasar keuangan didasari oleh empat aspek berikut.
Pertama, pajak dapat turut berkontribusi dalam menciptakan stabilitas sektor keuangan. Perkembangan pasar keuangan di negara manapun selalu kental dengan keputusan-keputusan investasi spekulatif yang memiliki dampak domino terhadap portfolio lainnya.
Para aktor dalam pasar tersebut hanya mempertimbangkan untung rugi yang didapat bagi dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi perekonomian secara keseluruhan ketika ternyata keputusan yang diambilnya keliru.
Akibatnya, pelaku pasar keuangan cenderung menganggap enteng risiko akan terjadinya krisis keuangan dan mendorong pelaku lainnya untuk mengikuti pola yang sama. Oleh karena itu, perumusan desain pajak yang tepat sasaran dapat meminimalkan volume transaksi finansial yang berisiko tinggi.
Kedua, sektor keuangan umumnya mendapat dukungan dari pemerintah pada masa krisis. Ketika sektor keuangan mengalami goncangan, perekonomian secara keseluruhan juga menjadi rentan.
Maka, tidak heran jika pemerintah di berbagai negara seringkali menyokong pasar keuangan ketika mengalami krisis. Bailout yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat pada krisis tahun 2008 merupakan salah satu contohnya.
Ketiga, diperlukannya kontribusi yang adil dan merata terhadap penerimaan negara dari segala sektor, tidak terkecuali sektor keuangan. Hal ini untuk mencegah kesenjangan kontribusi pajak antara sektor keuangan dengan sektor lainnya.
Keempat, perlunya ketersediaan dana yang siap pakai kapan pun dibutuhkan ketika perbankan membutuhkan dukungan pemerintah di masa depan.
Usaha pemerintah dalam memenuhi keempat aspek di atas sangat sulit diakomodasi oleh satu sistem pajak. Seringkali pada akhirnya pemerintah hanya dapat memaksimalkan pencapaian aspek yang satu namun kurang optimal dalam mencapai aspek yang lain.
Selain itu, Devereux dalam salah satu bab buku tersebut juga mengingatkan bahwa pajak tidak dapat memengaruhi perilaku perbankan secara langsung. Kecenderungan perbankan dalam memutuskan suatu tindakan dalam sektor keuangan secara fundamental dipengaruhi oleh regulasi atas sektor pebankan itu sendiri.
Oleh karena itu, desain sistem pajak terhadap sektor keuangan harus dikolaborasikan dengan peraturan yang berlaku, sehingga pertumbuhan dan stabilitas sektor tersebut dapat terjaga secara kontinu. Kolaborasi antara pajak atas sektor keuangan dengan regulasi sektor keuangan menjadi fokus utama dalam menciptakan sektor keuangan yang kondusif.
Secara ringkas, buku yang diterbitkan oleh MIT Press pada tahun 2014 tersebut menjelaskan bahwa mayoritas pelaku pasar keuangan lebih setuju jika pemerintah menerapkan regulasi yang ketat ketimbang pengenaan pajak.
Mereka beranggapan penyebab utama terjadinya krisis keuangan berasal dari segelintir pelaku pasar keuangan. Pengenaan pajak terhadap sektor tersebut dirasa tidak adil oleh para pelaku sektor keuangan mayoritas, sehingga mereka lebih memilih regulasi ketimbang pengenaan pajak.
Jika demikian, bagaimana desain pajak yang ideal dapat diterapkan? Anda bisa mendapatkan jawabannya dengan membaca buku tersebut di DDTC Library. Perpustakaan ini beroperasi dari pukul 09.00 sampai 17.00 pada hari Senin hingga Jumat. (Amu)