BERDASARKAN Statistik Perbankan Indonesia, dana pihak ketiga (DPK) perbankan tumbuh rata-rata 8% per tahun sejak 2015. Namun, angka tersebut justru melambat dibandingkan dengan periode 2004-2014 dengan tingkat pertumbuhan dua digit, bahkan mencapai 20% pada 2010-2011.
DPK yang berkurang itu diakibatkan masyarakat mengalihkan simpanannya ke pasar uang atau ke lembaga keuangan nonbank. Data Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan selama 2014-2019 terdapat kenaikan investasi domestik dalam bentuk saham, obligasi dan reksadana.
Peningkatannya sangat signifikan hingga mencapai 100%, dari Rp1.436 triliun menjadi Rp2.859 triliun dalam kurun 5 tahun. Hal ini bisa dikatakan menunjukkan peningkatan literasi keuangan masyarakat, meski Indonesia sesungguhnya masih tertinggal dalam pendalaman keuangan (financial deepening).
Sri Mulyani Indarwati (2016) menyatakan pendalaman pasar keuangan sangat penting bagi Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di tengah kelesuan perekonomian global. Kedalaman pasar keuangan Indonesia relatif rendah, bahkan jika dibandingkan dengan negara utama ASEAN.
Ketika ukuran pasar finansial Singapura mencapai 200% dari produk domestik bruto (PDB), Malaysia, Thailand dan Filipina secara berurutan mencapai 100%, 90% dan 80%. Pasar keuangan Indonesia masih termasuk dangkal, hanya sekitar 50%.
Hadad dan Maftuchah (2015) menyimpulkan peran sektor keuangan di Indonesia sangat besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, meski hanya terdiri atas industri perbankan (41%), industri pasar modal (48%) dan industri keuangan nonbank sebesar 11%.
Indonesia harus mempercepat transformasi industri keuangan, khususnya industri keuangan non-bank, misalnya dengan kerja sama internasional. Tanda ketidaksiapan industri keuangan domestik dapat terlihat dari rendahnya repatriasi tax amnesty, yang hanya 15% dari target Rp1.000 triliun.
Capaian tax amnesty yang hanya 60% dari target seharusnya menjadi tonggak penentuan perbaikan sistem dan administrasi pajak, termasuk sektor keuangan. Sorotannya adalah belum berkembangnya pasar finansial, terutama bentuk yang tidak diperkenankan seperti trust (Hart and Schulze, 2016).
Netralitas & Kedaulatan Pajak
PEMAJAKAN sektor keuangan sangat terkait dengan perpajakan internasional dan setidaknya terdapat dua hal bertentangan, yaitu netralitas dan kedaulatan pajak (tax sovereignity). Akibatnya, persoalan yang sering muncul adalah tax discrimination, seperti diungkapkan Gruber (1996) dan Pato (2008).
Keduanya mengungkapkan pembedaan perlakuan pajak (tax discrimination) juga terjadi pada investment fund di kawasan yang lebih maju seperti Jerman. Karena itu, ada keharusan untuk merekomendasikan perlakuan pajak yang netral, dengan tujuan menciptakan level playing field yang setara.
Implikasi tax sovereignty juga mengakibatkan perlakuan perpajakan berbeda antarnegara, misalnya funds termasuk subjek pajak atau tidak; ada tidaknya pengenaan withholding tax; pembebasan pajak capital gain serta kemauan setiap negara mengadopsi OECD Common Reporting Standard.
Di Indonesia, perlakuan perpajakan atas transaksi sektor keuangan di Indonesia dikelompokkan menjadi dua. Pertama, pajak atas transaksi instrumen keuangan, seperti saham, obligasi, dan surat berharga lain yang diperdagangkan di pasar uang maupun pasar modal.
Kedua, pajak atas transaksi derivatif, derivasi instrumen keuangan pokok yang dinilai dari fluktuasi underlying asset. Pemajakan transaksi itu dikenakan pajak penghasilan (PPh) final dengan tarif yang variatif. PPh final ini memengaruhi keputusan investor karena berdampak pada return investasinya.
Selain itu, bagaimana perlakuan perpajakan di Indonesia juga akan memengaruhi keputusan investor, misalnya setiap ada Kontrak Investasi Kolektif (KIK/fund) harus dianggap sebagai entitas tersendiri dan diperlakukan sama sama seperti badan.
Sejauh ini, belum semua mendapat insentif tertentu seperti DIRE (Dana Investasi Real Estate). Industri reksadana pun mengalami stagnasi selama 5 tahun terakhir. Diperkirakan hanya ada 120 agen, termasuk manajer investasi dan bank kustodian, sangat jauh dibandingkan Thailand dengan 1.322 agen.
Meski pajak bukan merupakan satu-satunya faktor ketertinggalan, tetapi sekarang saatnya untuk mengusulkan perubahan dalam RUU Omnibus Law Perpajakan. Harmonisasi perlakuan perpajakan sektor keuangan dengan mendesaknya amendemen UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Sementara itu, negara lain telah bersiapi menghadapi pasar keuangan global yang kian terintegrasi. Singapura, Malaysia dan Thailand sudah lama menyepakati ASEAN Collective Investment Scheme, sehingga memiliki infrastruktur perpajakan yang fleksibel baik di tingkat investor maupun fund.
Usulan perubahan dalam RUU Omnibus Law Perpajakan berupa relaksasi penghapusan PPh atas dividen dari dalam negeri dan luar negeri kurang komprehensif, dan justru menyisakan ruang untuk terjadinya penggelapan pajak (tax evasion).
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.