TIDAK dapat dipungkiri, pertimbangan hukum atas penentuan bentuk usaha tetap (BUT) di berbagai belahan dunia kerap mengalami banyak perdebatan. Salah satu kasus yang sempat ramai diperbincangkan adalah Kasus Conversant/ValueClick di Prancis.
Kasus Conversant ini diulas secara terperinci dalam artikel berjudul The Conversant/ValueClick Case in France: Substance-Over-Form Interpretation of Permanent Establishment. Artikel ini disusun oleh Annabelle Bailleul-Mirabaud dan Thibauld du Grandlaunay.
Dalam artikel yang terbit dalam Tax Notes International Vol.102, No.12 dan dirilis pada Juni 2021 tersebut, kedua penulis menyatakan keputusan Mahkamah Agung Prancis merupakan sebuah langkah besar karena berani mengambil perubahan paradigma lebih awal dari yang diperkirakan.
Secara terperinci, kasus Conversant yang bergulir sejak 2018 hingga akhir 2020 dijabarkan dalam jurnal tersebut. Sebagai informasi, pada Maret 2018, Pengadilan Pajak Prancis memutuskan untuk menolak kualifikasi BUT keagenan (agen dependen) yang dituduhkan otoritas pajak Prancis.
Adapun kasus tersebut kemudian diajukan kembali ke Mahkamah Agung Prancis pada April 2019. Selanjutnya, pada Desember 2020 Mahkamah Agung memberikan putusan atas kasus Conversant/ValueClick.
Sebelum menganalisis kasus tersebut, terdapat beberapa fakta mengenai bentuk grup perusahaan ValueClick di Amerika Serikat yang mendirikan ValueClick Ireland (VI). Adapun tugas dari VI antara lain memusatkan aktivitas grup di luar Amerika Serikat, mengembangkan dan menjual solusi digital marketing, serta manajemen klien.
Fungsi manajemen klien ini terdiri atas negosiasi kontrak dan harga, hingga penyelesaian kontrak. Selain itu, VI diberikan kewenangan untuk menguasai hak kekayaan intelektual sesuai dengan perjanjian yang disepakati dengan ValueClick Amerika Serikat.
Dalam penanganan klien Eropa, VI dibantu mitra afiliasi Prancis, yaitu VF di bawah perjanjian layanan antar perusahaan (intercompany services agreement). Dalam perjanjian tersebut dijelaskan VF menyediakan beberapa hal berikut pada VI untuk pasar Prancis.
Pertama, bantuan pemasaran (marketing) di mana VF bertindak sebagai perwakilan VI. Bantuan pemasaran ini terdiri dari identifikasi klien, prospeksi, dan laporan pada VI. Kedua, layanan back-office. Ketiga, jasa manajemen dan administrasi. Adapun jasa manajemen dan administrasi termasuk, tetapi tidak terbatas pada akuntansi, sumber daya manusia, teknologi informasi, dan perbendaharaan.
Dalam perjanjian tersebut ditekankan para pihak tetap bersifat independen. Artinya, tidak memiliki hubungan satu sama lain. Perjanjian tersebut juga menyebutkan VF menerima biaya dan kompensasi sebesar 8%.
Berdasarkan pada kasus di atas, otoritas pajak Prancis menganggap layanan yang diberikan VF pada VI adalah BUT di Prancis. Oleh sebab itu, otoritas pajak Prancis menyatakan VF dapat dikenakan pajak penghasilan badan dan pajak pertambahan nilai.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 2 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Prancis dan Irlandia yang menunjukkan VF merupakan BUT kualifikasi bisnis dan BUT kualifikasi agen yang bersifat dependen.
Dalam sengketa ini, otoritas pajak Prancis berpegang pada fakta VF memiliki kewenangan untuk terlibat dalam setiap perjanjian dengan klien VI. Hal tersebut ditunjukkan dengan beberapa fakta, yaitu pencantuman nama pegawai VF dalam kontrak, pegawai VF melakukan negosiasi dengan klien, pengembangan program marketing oleh pegawai VF, dan pegawai VF bertindak sebagai pegawai VI terhadap klien.
Di tingkat banding, Pengadilan Pajak Prancis tidak setuju dengan pendapat otoritas pajak. Pertama, meski terdapat nama pegawai VF dicantumkan dalam kontrak, akan tetapi entitas yang menandatangani kontrak tersebut adalah VI.
Kedua, tidak ada perdebatan mengenai persyaratan umum dan harga dalam kontrak ditentukan VI serta persyaratan dan harga yang dinegosiasikan VF harus ditinjau oleh VI. Ketiga, sekalipun VF melakukan pengembangan program marketing, pelaksanaannya tidak pernah dilakukan sebelum VI menandatangani kontrak.
Pada Desember 2020, Mahkamah Agung memutuskan bahwa kasus ini merupakan situasi ketika perusahaan Irlandia meminta bantuan kepada entitas non-independen yang berwenang untuk terlibat hubungan bisnis di Prancis atas nama perusahaan Irlandia. Situasi ini mencerminkan ayat 32.1 dan 33 OECD Commentaries yang dipublikasikan pada 2003 dan 2005.
Majelis Mahkamah Agung Prancis menegaskan pengadilan pajak Prancis telah melakukan kesalahan dalam kategorisasi secara hukum bila menganggap VF bukan merupakan BUT dari VI hanya karena perjanjian ditandatangani VI.
Dalam kasus ini, Mahkamah Agung memutuskan VF merupakan agen dependen BUT di Prancis sehingga secara otomatis membatalkan putusan Pengadilan Pajak Prancis.
Berdasarkan putusan tersebut, Mahkamah Agung Prancis tampaknya telah mengadopsi pendekatan yang lebih luas terhadap gagasan ‘wewenang untuk menutup kontrak-kontrak atas nama’ perusahaan asing. Kualifikasi agen dalam kasus ini mendukung pendekatan substance over form.
Isu yang muncul tidak lagi sebatas pada ‘keterikatan agen dependen secara hukum pada perusahaan asing’, tetapi bergeser pada ‘sejauh mana peran agen dependen dalam sebuah perjanjian’. Misalnya perusahaan Prancis yang memiliki peran untuk memutuskan dalam perjanjian yang akan ditandatangani oleh perusahaan Irlandia.
Pada dasarnya, gagasan ini telah ada dalam OECD Commentaries yang mengakui adanya BUT apabila entitas asing hanya melakukan persetujuan transaksi secara rutin. Meskipun hal tersebut tidak sesuai dengan P3B Prancis dan Irlandia, perubahan model bisnis dan perkembangan lanskap pajak internasional pasca-Proyek BEPS telah memaksa Mahkamah Agung Prancis untuk melakukan perubahan paradigma.
Singkatnya, keputusan yang diambil Mahkamah Agung Prancis adalah sebuah keputusan yang penting.
*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.