YURISPRUDENSI merupakan putusan-putusan hakim terdahulu yang sudah berkekuatan hukum tetap dan diikuti hakim-hakim lain. Putusan hakim terdahulu tersebut dipandang menjadi instrumen untuk memperoleh kepastian dan konsistensi putusan hakim.
Putusan hakim terdahulu atau preseden menjadi sumber hukum utama untuk negara yang bersistem hukum Anglo Saxon. Lantas, bagaimanakah peran yurisprudensi dalam hukum pajak di negara yang menganut sistem Eropa Kontinental seperti Belanda?
Peran yurisprudensi dalam hukum pajak menjadi topik utama dalam jurnal yang berjudul ‘The Role of Precedents in Netherlands Tax Litigation’. Adapun jurnal ini ditulis oleh Wouter Blokland, Coen Maas, dan Peter Wattel. Dalam jurnalnya, penulis mengurai peran yurisprudensi dalam penyelesaian sengketa pajak di Belanda.
Sebagai negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, Belanda menjadikan undang-undang sebagai sumber hukum utamanya. Secara formal, asas stare decisis dan preseden tidak mengikat di Belanda. Namun, dalam praktiknya, putusan hakim terdahulu dari Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) berperan penting di pengadilan tingkat pertama dan banding.
Penulis menyatakan penafsiran hukum dalam putusan Hoge Raad memiliki efek mengikat secara tidak resmi. Sebab, kurang tepat juga apabila pengadilan yang lebih rendah menentang putusan yang telah ditetapkan pengadilan yang lebih tinggi yakni Hoge Raad.
Lebih lanjut, terkadang pada pengadilan tingkat pertama dan banding juga mencoba untuk mengubah pertimbangan hukum Hoge Raad. Dalam hal ini, terdapat perbedaan penafsiran hukum antara Hoge Raad dan pengadilan di bawahnya.
Perbedaan penafsiran memang berpotensi terjadi ketika adanya perkembangan sosial dan diubahnya suatu ketentuan. Putusan hakim terdahulu hanya dapat digunakan sebagai acuan terhadap kasus hukum yang sama.
Secara umum, Hoge Raad tampaknya akan mempertahankan presedennya sampai setidaknya dalam jangka sepuluh tahun, kecuali adanya alasan yang mendesak. Ketika pengadilan tingkat pertama dan banding mengikuti putusan Hoge Raad, biasanya pertimbangan hukumnya juga sama seperti putusan terdahulu.
Pentingnya preseden ternyata berkorelasi dengan tugas yang melekat pada Mahkamah Agung. Dalam sistem hukum Belanda setidaknya terdapat dua tugas utama Mahkamah Agung. Pertama, memastikan konsistensi implementasi hukum. Kedua, adanya pengembangan hukum.
Para ahli berpendapat bahwa dalam menjalankan tugasnya untuk mengembangkan hukum, khususnya ketika mengisi celah legislatif dan mendefinisikan istilah hukum yang kabur, Hoge Raad dapat dipandang sebagai legislator pengganti. Namun, konsep seperti itu masih banyak diperdebatkan karena dapat mengganggu prinsip pemisahan kekuasaan dan ketentuan dalam konstitusi.
Berkenaan dengan sejumlah masalah perpajakan, preseden Hoge Raad memang tidak menjadi sumber hukum utama, tapi tetap dapat menjadi sumber hukum yang sangat berpengaruh dalam penyelesaian sengketa pajak.
Apabila preseden dimanfaatkan, keputusan hakim selanjutnya dibuat berdasarkan keputusan sebelumnya. Selain itu, hakim juga dapat memperpanjang, menyesuaikan, menyempurnakan atau membatasi aturan yang dijatuhkan dalam keputusan sebelumnya.
Pendekatan ini membantu Hoge Raad memenuhi kebutuhan wajib pajak dan otoritas pajak untuk memperoleh kejelasan dan kepastian. Penggunaan preseden juga akan memberikan konsistensi atas putusannya.
Secara keseluruhan, jurnal ini mampu menjelaskan dengan komprehensif peran-peran yurisprudensi dalam penyelesaian sengketa pajak di Belanda. Pembahasan dikupas dengan runtut dan memberikan gambaran prosedur penggunaan putusan hakim terdahulu sebagai acuan memutus sengketa saat ini. Dengan demikian, pembaca lebih mudah memahami informasi yang disampaikan penulis.
Bagi negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, yurisprudensi memang bukanlah sumber hukum utama. Namun, sepertinya penggunaan yurisprudensi dalam memutus sengketa juga penting untuk dipertimbangkan untuk memberikan kejelasan, kepastian, serta konsistensi hukum bagi wajib pajak maupun otoritas pajak.
Pembahasan dalam jurnal ini sangat menarik bagi para wajib pajak, otoritas pajak, peneliti hukum, dan tentunya praktisi.*