ANALISIS

Urgensi Pigouvian Tax untuk Indonesia

Redaksi DDTCNews
Rabu, 22 Juni 2016 | 02.36 WIB
ddtc-loaderUrgensi Pigouvian Tax untuk Indonesia
Partner of Tax Researcher & Training Service DDTC

SELAMA 10 tahun terakhir, Indonesia berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonominya rata-rata di atas 5%. Namun, pada saat yang sama muncul berbagai persoalan kerusakan lingkungan, yang akhirnya menghambat laju pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Kasus kebakaran lahan di Riau, penggundulan hutan di Aceh, degradasi kualitas daerah aliran sungai Citarum, banjir di Manado hanyalah sebagian kecil contoh bagaimana aktivitas yang mengatasnamakan kebutuhan ekonomi mengalahkan kelestarian alam.

Akibat lain yang tak kalah penting adalah emisi gas karbon Indonesia yang kian besar. Menariknya, emisi itu berkorelasi positif dengan naik turunnya pertumbuhan ekonomi. Emisi terkoreksi hanya pada 1998 dan 2009-2010, saat perekonomian Indonesia melemah.

Besaran emisi tersebut dipengaruhi terutama oleh penggunaan energi fosil untuk kendaraan serta degradasi hutan. Singkatnya, pola pembangunan di Indonesia masih jauh dari apa yang digaungkan sebagai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Pembangunan berkelanjutan menyanjung keterkaitan antara dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Secara sederhana, pembangunan berkelanjutan membutuhkan lima perubahan fundamental sebagai anti-tesis dari pembangunan konvensional. (Salim, dalam Azis, 2010).

Kelima hal itu adalah, Pertama, perspektif pembangunan diletakkan dalam konteks jangka panjang. Dalam perspektif ini, sumber daya alam tidak dieksploitasi habis-habisan. Pemanfaatannya cenderung dilakukan secara perlahan dengan fokus pada nilai tambah.

Kedua, berkurangnya dominasi aspek ekonomi dan adanya tempat lebih besar bagi aspek lingkungan dan sosial dalam kebijakan pembangunan. Kemauan dan tindakan yang mengikutsertakan lingkungan ini sering disebut dengan perspektif ekonomi hijau. (Vermeend, Ploeg, dan Timmer, 2008).

Ketiga, berubahnya preferensi individu yang diagung-agungkan dalam skema pembangunan konvensional menjadi preferensi publik. Perubahan ini mencakup perubahan perspektif kebijakan yang mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan individu.

Keempat, adanya koreksi atas kegagalan pasar dalam menangkap sinyal sosial dan lingkungan dalam mekanisme harga. Pembangunan berkelanjutan harus mengoreksi kegagalan ini melalui berbagai kebijakan makro pembangunan.

Kelima, kadanya kebijakan fiskal yang tepat guna menginternalkan semua biaya eksternal terkait dengan pembangunan sosial dan lingkungan. Pajak dapat digunakan untuk mengoreksi harga, dan sering lebih efektif ketimbang mekanisme aturan atau hukum.

Barang Publik

KERUSAKAN lingkungan menjadi penting karena sebagian besar jasa lingkungan merupakan barang publik, seperti udara atau air. Barang publik ini bersifat non-excludable dan non-rivalry. Artinya konsumsinya tak menghalangi pihak lain yang juga mengonsumsinya

Dengan demikian, akses atas udara atau pemandangan suatu tempat dinikmati pada tingkat yang sama secara gratis alias tidak punya harga moneter. Hal ini mendorong diabaikannya upaya menjaga kualitas dan kuantitas barang publik, terlebih dalam konteks ekonomi.

Aktivitas ekonomi yang bertumpu pada perspektif antroposentris bertujuan mencapai kepuasan atau mengoptimalkan keuntungan. Karena itu, saat aktivitas ekonomi dilakukan, seringkali terdapat hasil sampingan yang bukan tujuan utama aktivitas tersebut.

Berbagai literatur menyebut efek samping ini sebagai eksternalitas, yang dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu eksternalitas negatif dan eksternalitas positif. Dalam kerangka ilmu ekonomi lingkungan, pembahasannya bergelut pada eksternalitas negatif.

Contoh, merokok. Kegiatan merokok bertujuan untuk memuaskan diri, namun asap rokok yang timbul dan mencemari udara bukanlah tujuan dari kegiatan tersebut. Singkatnya, asap rokok yang mencemari udara merupakan eksternalitas negatif.

Adanya eksternalitas negatif tersebut membuat perbedaan tingkat kesejahteraan (welfare) yang diterima pelaku dan masyarakat. Manfaat yang diterima pelaku jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diterima oleh masyarakat.

Pasalnya, pelaku dalam hal ini individu, mengupayakan kepuasan dari aktivitas ekonomi yang dijalankan dan manfaat barang publik yang diterimanya. Sementara itu, masyarakat hanya menerima manfaat dari kualitas barang publik yang menurun kualitasnya.

Ilustrasi yang sama berlaku untuk pabrik kimia yang tidak memiliki fasilitas pengolahan limbah dan memilih membuang limbahnya langsung ke sungai. Masyarakat sekitar pabrik yang sebagian besar petani tentu dirugikan akibat sungai yang tercemar.

Pigouvian Tax

SALAH satu cara mengoreksi aktivitas ekonomi yang menyebabkan eksternalitas negatif adalah menginternalisasikan eksternalitas yang muncul. Dengan cara ini, biaya dari eksternalitas negatif dipertimbangkan dalam kendala biaya yang dihadapi pelaku aktivitas.

Jika sebelumnya biaya eksternalitas negatif bukan tanggungjawab siapapun, karena sifatnya yang nonprivat dan gratis, kini biaya tersebut harus ditanggung pelaku. Inilah yang sering dikaitkan dengan pigouvian tax. (Tietenberg, 2000 dan Pearce & Turner, 1990).

Istilah Pigouvian tax berasal dari seorang ekonom Inggris, yaitu Arthur C. Pigou. Dalam bukunya, The Economics of Welfare (1920), Pigou memaparkan tentang pembedaan atas biaya marginal individu sebagai pelaku ekonomi dan biaya marginal sosial.

Kerangka inilah yang kemudian menjadi pintu masuk adanya upaya internalisasi eksternalitas melalui mekanisme pajak. Adanya pajak tersebut pada akhirnya akan menyebabkan struktur biaya meningkat sehingga mengoreksi jumlah kuantitas barang yang dihasilkan.

Akibatnya, aktivitas yang mengakibatkan eksternalitas negatif berkurang. Pigouvian tax memindahkan biaya kerusakan yang timbul ke struktur biaya pelaku, individu atau perusahaan. Dengan demikian, efisiensi tercapai dan kerusakan lingkungan dapat dikendalikan.

Pajak Lingkungan

Efektivitas pigouvian tax itulah yang kemudian turut menyebabkan banyak negara meninggalkan pendekatan berbasis regulatory mechanism yang sebelumnya dipakai, seperti aturan pengolahan limbah, larangan perusakan hutan, tata kelola sampah.

Alasannya sederhana. Manusia, sebagai makhluk ekonomi akan lebih merespons rangsangan ekonomi dibandingkan dengan hukum atau standar kepatuhan. Singkatnya, price mechanism, dan pajak sebagai salah satu komponen pembentuknya, dinilai lebih efektif.

Lalu pada barang atau aktivitas apakah pajak lingkungan—sebagai wujud pigouvian tax—dapat diterapkan? Menurut Bakker (2009), barang yang dapat diterapkan pajak lingkungan pada dasarnya barang yang konsumsinya berpotensi mengurangi kualitas lingkungan.

Barang atau aktivitas itu misalnya sampah/ pembuangan sampah, bahan bakar kendaraan atau rumah tangga, kepemilikan kendaraan/ kebisingan suara. Di sisi lain, juga terdapat upaya mendorong masyarakat mengonsumsi barang yang dianggap lebih ramah lingkungan.

Cara yang dipergunakan sebaliknya, yaitu barang yang ramah lingkungan diberikan insentif pajak. Hal ini mengingat barang ramah lingkungan sering memiliki struktur biaya produksi lebih tinggi atau biaya yang tinggi dalam mengonsumsi atau mendistribusikannya.

Insentif pajak akan membuat barang tersebut relatif lebih murah dan dapat bersaing dengan barang yang sudah dikonsumsi secara umum. Misalnya insentif pajak untuk kendaraan ramah lingkungan. Jepang, Spanyol, dan Belanda telah memberlakukan kebijakan itu.

Di Uni Eropa, pajak lingkungan rata-rata berkontribusi 2,5% terhadap produk domestik bruto. Pajak ini berasal dari pajak atas sampah, transportasi, hingga penggunaan bahan bakar. Kontribusi terbesar bagi pajak lingkungan di Uni Eropa berasal dari pajak bahan bakar.

Indonesia saat ini belum banyak menggunakan mekanisme harga dalam artian membuat suatu aktivitas atau konsumsi barang menjadi lebih mahal. Pajak lingkungan di Indonesia lebih banyak diserahkan pemungutan dan pemanfaatannya pada pemerintah daerah.

Contohnya pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak air tanah, dan lain sebagainya. Walaupun demikian, hal ini perlu diapresiasi karena menunjukkan perhatian serius mengenai keinginan untuk menginternalisasi eksternalitas seperti diuraikan tadi.

Sebaliknya, pemerintah lebih memilih memberikan iinsentif pajak bagi aktivitas atau konsumsi barang yang dianggap lebih ramah lingkungan. Misalnya insentif untuk bahan bakar nabati, atau insentif untuk mobil hemat energi (Putranti, 2014).

Pembangunan Berkelanjutan

KELESTARIAN lingkungan dan pertumbuhan ekonomi kadang memang sulit menyatu. Manusia ingin cepat meraih kepuasan dan laba tanpa menyadari akibat eksploitasi alam yang berlebihan. Manusia sadar ketika terjadi bencana, namun lupa saat alam bersahabat.

Pembangunan berkelanjutan sejatinya adalah jalan tengah yang menempatkan keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam satu jalan harmoni. Salah satu aspeknya adalah upaya menginternalisasi eksternalitas negatif melalui pigouvian tax.

Sayangnya, pigouvian tax ini belum banyak diterapkan di Indonesia. Pemerintah seharusnya tidak perlu rendah diri dengan keluhan klasik berbagai kalangan tentang ‘biaya produksi yang kian tinggi’, hingga ragu menerapkan jenis pajak ini. 

Sebab tanpa pajak lingkungan, risiko yang harus dihadapi adalah terjadinya eksploitasi lingkungan yang rakus dan tamak. Jangan sampai kita mulai berpikir menerapkan pigouvian tax justru setelah alam tak bersahabat lagi.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
sara
baru saja
kalo pajak air tanah itu apakah ada alokasinya? kalo ngga ada apakah urgen mengingat, penggunaan air tanah yang terus meningkat