HENDRA SINADIA:

'Kami Beda dengan Industri Lain yang Minta Pengurangan Pajak'

Redaksi DDTCNews
Minggu, 06 Desember 2020 | 09.01 WIB
ddtc-loader'Kami Beda dengan Industri Lain yang Minta Pengurangan Pajak'

Hendra Sinadia bukanlah orang asing dalam industri ekstraktif khususnya sektor pertambangan. Lulusan Hukum Universitas Hasanuddin ini bahkan pernah menjajal bekerja di perusahaan top sekelas Freeport dan Vale.

Pengalaman mengecap karier di firma hukum dan kantor konsultan pajak juga pernah dilakoni Hendra sebelum mengambil Master of International Business Administration di Westcoast University, California, AS.

Kini, tugas sehari-harinya sebagai Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia. Pilihan karier yang agaknya tidak berubah dalam waktu dekat terutama dalam mengamankan agenda proses hilirisasi industri batubara nasional.

DDTCNews berkesempatan mewawancarai Hendra Sinadia mengenai pandangannya terhadap industri pertambangan dan dunia perpajakan. Kutipannya:

Alasan Anda terjun ke dunia ekstraktif terutama sektor pertambangan?
Saat ini, sebenarnya saya hanya sebagai direktur eksekutif di asosiasi dan bukan di pengusahanya. Jadi seperti professional saja yang di-hire oleh asosiasi untuk melakukan menajemen aktivitas asosiasi. Kalau di sini saya ada dari 2013.

Tapi, kalau bicara karier, saya pernah ke mana-mana. Saya pernah di Freeport dan beberapa perusahaan yang lain. Pernah juga di konsultan pajak. Nah, yang di konsultan pajak ini dulu sekali itu. Kemudian, di konsultan hukum juga pernah.

Soal industri ekstraktif. Ya, kembali lagi karena kita profesional dan pernah berkarier di industri ekstraktif kemudian dipercaya me-manage asosiasi, ya kemudian di sinilah karier saya. Kenapa di industri ekstraktif? Karena kita punya potensi besar.

Sebetulnya posisi Indonesia itu mempunyai keunggulan yang sangat besar di industri ekstraktif dengan semua komoditasnya. Jadi saya lihat ini industri ini penting untuk bangsa ini. Jadi ya, saya tertariknya di situ.

Apa saja yang menjadi lingkup kerja Anda di asosiasi?
Ya tentu dengan bekerja di asosiasi itu menjadi ikut membantu asosiasi sebagai mitra pemerintah dalam berkomunikasi dan membahas policy. Jadi lingkup pekerjaaan lebih banyak di sana khususnya pada urusan regulasi termasuk dalam kebijakan perpajakan.

Jadi sebagai mitra pemerintah, memberikan masukan ke pemerintah agar setiap regulasi yang terkait dengan berbagai aspek, termasuk perpajakan sektor pertambangan itu sedapat mungkin dilaksanakan dengan baik.

Kalau terkait dengan perpajakan, kami di asosiasi kalau ada aturan perpajakan yang dibuat maka kami aktif berikan masukan, kalau regulasi ini dijalankan maka dampaknya seperti ini dan seterusnya. Jadi itu kira-kira garis besar yang saya lakukan di asosiasi saat ini.

Jadi kembali yang membuat saya tertarik berkarier di industri ekstraktif ini karena negara kita ini dikaruniai potensi yang sangat besar. Sementara itu, investasi di sektor minerba belum terlalu banyak. Saat ini potensi banyak, tapi investasi yang masuk masih rendah dan masih terkendala.

Jadi masih ada problem di regulasi, sehingga kami dari asosiasi ikut membantu pemerintah untuk memperbaiki regulasi yang ada. Karena kalau regulasi bagus maka investor akan masuk. Sesederhana itu sebetulnya.

Jika investasi itu masuk maka potensi minerba ini bisa dimanfaatkan. Untuk prospek ke depan itu masih banyak dan terbuka lebar. Misal, untuk batu bara saja itu merupakan sumber energi listrik paling murah di dunia, kemudian deposit batu bara di sini masih ada 60 hingga 70 tahun.

Kalau mineral lain juga banyak informasi yang bisa didapat publik misalnya untuk mendukung kendaraan listrik yang sumber baterai lithiumnnya itu dari Nikel dan Cobalt. Tembaga juga banyak. Jadi ini potensi besar karena banyak industri di dunia itu ditopang dari sumber alam Indonesia. 

Jadi dalam waktu dekat tidak ada perubahan karier?
Iya betul, karena industri ini masih bergerak dan akan terus berkembang. Jadi saya masih terdorong. Apalagi ini momentumnya didukung perubahan regulasi seperti UU Pertambangan yang baru dan ditambah UU Cipta Kerja, itu menjadi sinyal positif untuk mendorong momentum ini bersama-sama.

Bagaimana situasi industri batu bara di tengah pandemi?
Kalau dari sisi operasional masih tetap berlangsung hampir normal. Dari sisi operasi tidak terganggu, hanya saja memang tahun ini tekanan itu ada pada harga batu bara yang turun, tapi secara operasional lancar-lancar saja, meskipun ada pembatasan.

Pandemi Covid-19 tentu ada dampak misalnya pada mobilisasi karyawan dan pengaturan jam kerja. Tapi refleksi dari hasil produksi sejauh ini masih seusai target dari pemerintah, kalau melihat dari sisi indikator produksi. Cuma kalau lihat dari harga itu yang terdampak karena demand menurun.

Seberapa besar penurunan harga menekan keuangan industri batu bara?
Secara umum pasti tertekan karena harga turun. Kalau mau lihat secara umum industri batu bara kita kan berbeda-beda. Ada yang kalori rendah dan ada yang tinggi. Kemudian ada perusahaan skala besar dan kecil.

Untuk yang usaha skala besar dengan produksi batu bara kalori tinggi ya tekanan kepada margin yang menurun. Namun bagi yang skala kecil dan kalori rendah dengan situasi harga jual di bawah harga produksi maka pasti keuangannya minus.

Jadi tidak bisa dilakukan generalisasi kondisi pelaku usaha batu bara di saat seperti ini. Jadi tidak bisa dibilang 'oh aman kok perusahaan ini'. Untuk perusahaan dengan skala usaha besar ya mungkin mereka aman. Kemudian yang kecil-kecil ini ada juga yang menghentikan kegiatannya.

Untuk itu, tidak bisa juga dibilang perusahaan batu bara pada tutup karena pandemi, karena secara produksi masih on the right track dan masih bisa mencapai target.

Jadi ada perusahaan karena harga terlalu rendah dan biaya produksi lebih tinggi, ya mereka ada rugi dan ada yang tutup. Jadi saat ini yang menentukan keberlangsungan usaha, ya skala ekonominya.

Tahun ini banyak insentif perpajakan, bagaimana respons pelaku usaha?
Kalau insentif itu kan berlaku umum, hampir semua industri mendapatkan dan bukan hanya perusahaan batu bara. Kalau khusus batu bara sejauh ini adalah hilirasi yang diberikan 0% untuk royalti.

Sampai saat ini, belum ada perusahaan yang masuk ke situ, tetapi sudah ada aturannya. Insentif itu kan baru berlaku pada saat sudah berproduksi batu bara untuk hilirisasi. Nah, saat ini belum ada yang memanfaatkan karena belum ada pabriknya.

Ada insentif lain?
Untuk insentif bentuk lain ya ada terkait dengan sanksi domestic market obligation (DMO). Untuk 2020, sanksi DMO tidak diberlakukan. Kami lihat itu sebagai bentuk insentif dari pemerintah.

Tapi itu kan skemanya berbeda karena tidak bisa dihitung berapa rupiahnya sebagaimana insentif pajak misalnya. Jadi kalau perusahaan tidak bisa penuhi DMO khusus tahun ini tidak ada sanksi. Lebih kepada relaksasi.

Idealnya antara insentif dan relaksasi ini masih dibutuhkan keduanya oleh industri. Namun, yang paling terasa manfaatnya ya relaksasi kebijakan daripada insentif. Untuk insentif sebetulnya industri batu bara tidak meminta adanya pengurangan tarif sebenarnya.

Kami paham negara lagi susah. Kami itu berbeda dengan perusahaan atau industri lain yang meminta pengurangan pajak ini dan lain-lain. Sejauh ini kami tidak meminta itu misalnya kurangi royalti. Poin kami yang diminta itu, ya relaksasi saja.

Misalnya itu, format dan skema pembayaran royalti yang sangat detail itu direlaksasi. Tapi kami tidak minta perubahan dengan pengurangan tarif dan formulasi royalti batu bara. 

Skema insentif apa yang ideal untuk industri batu bara?
Kalau bicara skema tentu harus melihat industri batu bara di Indonesia yang bermacam-macam. Misalnya, sekarang pemerintah sangat mendorong hilirisasi, ya mau tidak mau harus memberikan banyak insentif.

Kami lihat tidak cukup dengan royalti 0%, tapi harus didukung dengan insentif yang sama dengan industri pionir. Yang namanya industri pionir kan pada insentif, seperti tax holiday dan lain-lain.

Selain itu, bentuk insentif kan tidak hanya fiskal, ada juga yang nonfiskal. Keduanya sama-sama dibutuhkan kalau pemerintah ingin hilirisasi batu bara jalan.

Sebenarnya, kalau mau di break down, ada banyak aturan perpajakan dan non-pajak yang membebani pelaku usaha. Misalnya terkait dengan penerimaan negara bukan pajak k(PNBP) sektor lain yang lumayan berat untuk industri batu bara.

Ada juga beban dalam aturan PBB-P3. Ada banyak masukan dari anggota kalau implementasi PBB untuk pertambangan perlu ditinjau lagi agar lebih mudah administrasinya. Selain itu, pungutan PBB itu sudah satu komponen dengan penghasilan yang kena royalti.

Jadi kadang pada lahan yang sama, kami bayar dobel untuk royalti dan PNBP lainnya. Kemudian ada juga iuran tetap dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bayar PBB. Jadi bisa dilihat itu bisa dobel berapa kali itu. Jadi kasus yang seperti itu.

Berdasarkan UU No. 11/2020, komoditas batu bara jadi barang kena pajak, tanggapan Anda?
Saya belum tahu banyak detail soal itu. Tapi dalam UU itu kan sudah ditetapkan kena PPN dan edarannya juga sudah kami terima. Kami perlu dengar dari DJP dulu dan awal Desember ada agenda sosialisasi. Baru dari situ kami bisa berikan gambaran bagaimana kebijakan ini memengaruhi industri.

Bagaimana dampak ke industri?
Ya kalau sebelum sosialisasi dilakukan oleh DJP agak sulit menilai dampaknya. Seperti yang saya katakan kalau pengenaan PPN itu kan sudah sebagian dilakukan oleh perusahaan batu bara tergantung jenis izin usahanya.

Pada industri batu bara ini kan berbeda-beda izin usahanya pada setiap generasi misalnya di Perjanjian karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) itu berbeda aturan perpajakannya, demikian juga dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Jadi bagi sebagian perusahaan itu memang sudah diberlakukan untuk aturan PPN-nya. Sementara ada kontrak-kontrak yang aturan perpajakannya tidak dikenakan PPN. Jadi dengan perubahan UU ini maka ketentuan PPN ini akan berlaku untuk ke semua industri.

Nah, bagaimana detailnya untuk implementasi pemberlakuan aturan itu, saya terus terang belum tahu seperti apa karena masih banyak hal yang menjadi tanda tanya dan masih terlalu dini kalau saya sampaikan sebelum DJP melakukan sosialisasi ke pelaku usaha.

Dengan UU ini berarti akan ada level of playing field bagi industri?
Ya, kalau dilihat dari aturan perpajakan. Hanya saja detail-detail terkait penerapan ini yang masih perlu digali lagi. Seperti yang saya jelaskan tadi isu penjualan ke dalam negeri dan kalau untuk ekspor seharusnya tidak ada isu.

Jadi untuk domestik ini beban PPN ini akan dibebankan ke siapa nantinya. Kami baru saat koordinasi dengan DJP untuk melakukan sosialisasi. Setelah dijelaskan oleh DJP maka baru dampaknya itu akan seperti ini dan lainnya.

Seperti apa respons pelaku usaha batu bara dengan terbitnya UU Cipta Kerja?
Memang kita harus jujur, bahwa untuk melakukan pembenahan birokrasi itu tidak mudah dan kami juga tidak berharap itu bisa dilakukan dengan cepat. Tapi dengan UU itu saya rasa akan buat banyak kemajuan.

UU Cipta Kerja itu saya lihat sebagai bentuk political will dari pemerintah untuk memperbaiki birokrasi, karena tujuan UU Cipta Kerja kan penyederhanaan regulasi dari yang jumlahnya puluhan. Saya kira itu merupakan terobosan yang besar sekali.

Kalau dibilang UU ini akan menyelesaikan semua masalah, ya pasti belum. Karena masih banyak yang perlu dibenahi. Misalnya, koordinasi lintas sektoral juga. Tapi paling tidak dengan adanya UU ini memberikan sinyal pemerintah benar-benar serius untuk memangkas birokrasi perizinan.

Bagaimana prospek usaha di 2021?
Industri batu bara akan lebih banyak tergantung dengan dinamika harga. Hal itu bergantung bagaimana perekonomian global berjalan tahun depan. Kalau ekonomi global membaik maka akan ada kenaikan untuk kebutuhan energi.

Kemudian juga bergantung bagaimana negara tujuan ekspor menangangi pandemi. Kalau mereka bisa menangani secara baik ya pasti demand meningkat seperti yang terjadi di Tiongkok. Sementara itu, kalau tetap lockdown ya pasti demand menurun. 

Kami cuma berharap dari recovery ekonomi dunia. Setelah itu, berharap ada demand yang meningkat. Kalau proyeksi tentu harapannya kegiatan usaha bisa kembali normal. Tapi kalau hitungan realistis untuk industri batu bara pada 2021 belum akan kembali sama pada level 2019.

Ini sama juga untuk demand batubara mulai meningkat tapi belum bisa kembali ke level sebelumnya. Harga mungkin naik dikit, tapi ya enggak besar. Jadi belum bisa kembali ke level 2019. Mungkin bisa dicapai pada 2022 atau mundur ke 2023. (Rig/Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.