JAKARTA, DDTCNews - Ia meniti karier saat keran bisnis petrokimia mulai dikenalkan Presiden Soeharto pada dekade 1990-an. Sejak itu, sektor usaha yang menjadi soko guru bagi berjalannya industri pengolahan tersebut tidak pernah ia tinggalkan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik (Inaplas) selama 15 tahun terakhir ini menjadi saksi sejarah pasang surut bisnis petrokimia di Tanah Air, mulai dari pemain utama di pasar ASEAN hingga memasuki periode mati suri pascareformasi 1998.
Sekarang, industri petrokimia perlahan bangkit. Namun, sederet tantangan sudah menanti. Ia juga bercerita kenapa asosiasinya menolak kebijakan cukai plastik. Untuk menggali lebih jauh, baru-baru ini DDTCNews menemuinya untuk sebuah wawancara. Petikannya:
Apa yang melatarbelakangi Anda terjun ke bisnis pengolahan petrokimia khususnya plastik?
Jadi latar saya terjun ke bisnis petrokimia terutama untuk bahan baku plastik ini sebenarnya mulai dari kuliah dulu, nggak tahu kenapa tugas terakhir saya itu ambil di pengolahan limbah industri. Kemudian pas sidang juga, penguji saya mengarahkan supaya ambil ke bidang industri petrokimia.
Begitu selesai skripsi dan dinyatakan lulus, ada lowongan untuk pabrik petrokimia yang menghasilkan polyethylene di Merak tahun 1991. Pengumuman itu ada di kampus dan kita semua rame-rame ngelamar.
Dari sekian banyak kandidat, saya masuk di situ. Pada 1991, saya pertama kali kerja itu di bagian lab kimia atau analisis quality assurance dan quality control dari produk polyethylene. Pabrik itu pertama kali di Indonesia pengolahan petrokimia yang menghasilkan polyethylene.
Kebetulan di pabrik itu semua pekerjanya adalah fresh graduate diambil dari seluruh Indonesia, bahkan operator itu standarnya harus lulusan D3. Untuk posisi supervisor itu S-1.
Dari seluruh universitas diambil masing-masing 5 dan saya dari Bogor sebagai lulusan Akademi Analisis Kimia [Sekarang Politeknik AKA Bogor]. Dari situ lulusan baru itu di-training 6 bulan. Lalu pada 1992 pabrik itu diresmikan Pak Harto sebagai pabrik petrokimia polyethylene pertama di Indonesia.
Saya meniti karier mulai dari kerja shift dan persaingan untuk jenjang karier sangat ketat karena untuk posisi yang di atasnya itu kan masih diisi oleh ekspatriat untuk digantikan SDM lokal. Dari situ saya berpikir dengan ijazah saya lulusan D3 ini, tentu tidak akan bisa bersaing.
Untuk itu, saya meneruskan kuliah dengan ambil manajemen. Saat itu ambil di sekolah tinggi ilmu administrasi di daerah Kayu Putih pada saat itu di 1993. Saya ambil kelas yang inline dengan magister manajemennya.
Jadi S1 sekalian dengan S2. Tantangan itu saya kerja di Merak sementara kampus ada di Jakarta dan setahun saya lakukan itu kuliah sambil kerja dan akhirnya enggak kuat juga karena waktu itu belum ada jalan tol.
Karena enggak kuat saya akhirnya diberikan ultimatum oleh atasan saya mau pilih kerja atau kuliah? Kalau pilih kerja akan dipromosikan sebagai leader di QC dan kalau yang dipilih kuliah, yang ini posisinya tidak mungkin karena pekerjaan tidak bisa ditinggalkan.
Saya minta waktu berpikir dan saya begitu pulang mulai buka-buka lowongan lagi dan ada Elnusa yang butuh teknisi. Saya pun melamar di sana dan masuk. Saya pun memutuskan untuk keluar karena posisi kantor di Pulogadung dan dekat dengan kampus.
Posisi awal di sana tetap di lab karena menggantikan orang yang promosi ke bidang engineer. Karena enggak kuat ia mau kembali lagi ke lab. Nah, saya kemudian didorong untuk jadi engineer. Ya udah tukeran jadinya.
Kerja saya keliling dari sumur minyak satu ke sumur minyak lain di seluruh Indonesia. Ini tantangan yang barus saya jalani dan konsekuensinya kuliah saya bubar. Begitu tugas akhir, saya enggak selesai, padahal sudah tinggal terakhir untuk S1 dan S2.
Saya tinggalkan semua karena berpikir bidang oil chemical ini bagus prospeknya. Saya bisa terbang dari satu tempat ke tempat lain dan waktunya fleksibel. Pada 1995, saya menikah dan 1996 punya anak. Pas sekali sebelum anak saya lahir ini, saya mendapat kecelakaan dengan helikopter.
Waktu itu saya jatuh di Halim. Dari situ mulai berpikir ini risiko juga. Akhirnya, saya melamar pekerjaan lain dan waktu itu ada di Polytama Propindo. Saat itu baru buka untuk propylene kebutuhan manufaktur dengan pabrik di Balongan, Indramayu dekat Refinery Unit (RU) VI/kilang Pertamina.
Tugas saya ambil market Indonesia untuk kebutuhan plastik. Kerja di sana mulai Juli 1996 sampai dengan hari ini masih di Polytama, enggak pindah-pindah. Jadi at least, saya sudah 30 tahun lebih di industri bahan baku plastik.
Kemudian dari situ dengan pergantian presiden itulah momen saat semua investasi di bidang petrokimia mandek semua. Padahal dari 1991 hingga 1996, kita itu leading di Asean. Sejak 1998, berhenti tidak ada investasi baru dan akhirnya terseok-seok.
Usaha kami juga terdampak karena kredit utang ke bank belum lunas, harga dolar menggila dan ditambah fluktuasi harga bahan baku plastik US$400 dolar tiba-tiba jump ke US$2.000 dan turun lagi jadi US$1.000. Ya sudah semua bisnis perusahaan berantakan, tapi kami berhasil survive.
Kalau lihat lini masa itu pada 1998 sampai era Presiden Habibie itu masih terseok-seok, kemudian era Presiden Gus Dur sudah mulai membaik dan mulai recovery.
Awal terjun ke asosiasi sejak kapan?
Saat era Presiden Megawati itu kan ada wacana dipisah perdagangan dan perindustrian. Industri binaan ini kemudian enggak punya induk sehingga akhirnya kami buat asosiasi untuk menjamin keberlangsungan usaha dan investasi di bidang petrokimia.
Saat itu pada tahun 2000-an saya mulai masuk ke pengurusan Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik (Inaplas)yang istilahnya untuk sekadar bantu-bantu. Baru tahun 2006 saya jadi Sekjen sampai dengan hari ini.
Saya dengar persoalan industri di antaranya soal tingginya impor bahan baku?
Betul sekali impor itu masih besar. Jadi dari saya yang ceritakan tadi mulai 1998 itu sudah tidak ada investasi baru untuk bahan baku plastik lagi. Sementara demand untuk plastik jadinya itu tumbuh terus.
Jadinya hingga saat ini kita harus impor 6 juta ton per tahun. Itu 55% bahan baku masih didatangkan melalui impor. Tantangan inilah yang membuat kami di Inaplas berpikir bagaimana sebenarnya dan apa yang membuat iklim investasi di Indonesia tidak menarik untuk petrokimia.
Kami sering bantu Kemenperin di Ditjen Industri Kimia Farmasi. Kami terus kasih support data mulai dari update market dan iklim investasi. Misalnya, mangkrak-nya TPPI (PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama) kemudian mulai dicari jalan keluar dan sekarang sudah mulai bisa jalan.
Lanjut ke Polytama yang waktu itu ada kendala keuangan jadi bisa jalan juga. Kemudian Lotte yang sudah dijual ke Indika kemudian dijual ke Titan dan akhirnya kembali dijual ke Lotte dan sekarang sudah mulai investasi lagi.
Lalu ada Chandra Asri, sekarang sudah bagus lagi dan mulai ekspansi lagi. Nah hal semacam itulah kontribusi di asosiasi untuk memberikan support, berikan masukan ke pemerintah.
Industri ini padat modal dan membutuhkan perlindungan. Apa saja perlindungannya yaitu, insentif-insentif fiskal. Kemudian masih ada banyak tantangan di industri hilir seperti industri ini masing banyak yang mengandalkan mesin tradisional.
Kemudian makin berkembangnya permintaan industri makanan minuman untuk kemasan produk. Mereka membutuhkan kemasan-kemasan yang lebih advance karena semua proses produksi saat ini sudah mekanisasi mesin.
Imbasnya untuk packaging tidak bisa mengandalkan orang terus. Kalau tidak diantisipasi nanti akan kalah bersaing. Jadi makin ke sini kami perlu ciptakan keseimbangan antara supply dan demand dengan kerja sama dengan pembuat mesin dan lainnya.
Kami juga coba yakinkan perusahaan otomotif di sini bahwa industri lokal sudah siap sediakan barang kebutuhan untuk otomotif. Sekarang mulai jalan dengan pelan tapi pasti untuk berkembang terus. Sementara untuk industri hilirnya ini sudah sangat bagus mulai dari packaging dan tekstil.
Dulu itu mana ada yang menyangka kalau karpet itu bisa terbuat dari polypropylene. Nah sekarang mayoritas semua karpet dari bahan itu. Kalau dulu kan masih karpet masih mahal-mahal dan sekarang dengan polypropylene jadi lebih murah harganya.
Kami di Inaplas juga konsisten mendorong Kemenperin untuk bisa lebih menjalin kerja sama industri otomotif dengan pengolahan petrokimia di dalam negeri.
Kami mulai kerja sama intensif dengan industri otomotif mulai 2014 dengan pendekatan kepada produsen mobil asal Jepang agar menggunakan bahan baku lokal. Dari situ ada bargain kebijakan dengan hadirnya mobil murah atau LCGC.
Kami lihat kerja sama industri otomotif masih banyak PR-nya karena konten lokal masih kecil untuk manufaktur otomotif domestik. Kami juga jembatani kerja sama untuk pembangunan infrastruktur dan penyedia layanan air bersih sudah banyak yang menggunakan pipa PVC lokal.
Pada masa pandemi ini kami juga di asosiasi untuk penggunaan masker itu kan basisnya dari polypropylene dengan pastikan kami siap untuk support menghadapi pandemi untuk menyediakan produk hygiene. Jadi itulah kerja kami di asosiasi untuk memastikan iklim usaha dan investasi di Indonesia.
Menurut Anda solusinya seperti apa?
Kita sebenarnya sudah tidak punya lagi resource seperti dulu yang kemudian bahan baku kita impor semua. Produksi minyak dalam negeri sudah habis untuk kebutuhan energi, itu pun kita harus impor minyak mentah dari luar untuk penuhi kebutuhan energi.
Mau tidak mau harus impor bahan baku, dan impor ini perlu iklim yang bagus di sini sehingga orang mau berinvestasi di sini. Untuk mencapai itu kan butuh insentif tidak bisa berlaku normal. Jadi butuh insentif, kepastian hukum dan keamanan.
Aspek-aspek itu yang coba kami masuki di asosiasi dengan memberikan masukan kepada pemerintah, maka keluarlah itu tax holiday, proyek strategis nasional (PSN) kemudian insentif untuk pengembangan produk dan insentif untuk vakasi dan lain-lainnya.
Kami juga banyak menyuarakan plastik yang banyak diserang dari sisi lingkungan pada tingkat nasional dan regional. Kami ingin bantu pemerintah untuk memberikan pengertian kepada Kementerian Lingkungan Hidup, bahwa yang salah itu bukan plastiknya sebagai produk tapi manajemennya.
Sebenarnya persoalan sampah ini kalau diukur 100% itu 60% merupakan sampah organik seperti sisa makanan dan lainnya. Lalu, plastik itu 15% dari total produksi sampah. Artinya kalau hanya plastik yang dibenahi artinya hanya 15% mengurai persoalan.
Kami minta jangan disalahkan materialnya, tapi lihat bagaimana pengelolaan sampahnya, apa yang jadi kendala. Sampai saat ini kami juga sudah ada beberapa project pengelolaan sampah yang sesuai dengan kearifan lokal.
Jadi sampah domestik dan dari luar negeri itu beda. Jadi teknologi dari luar kalau diterapkan di Indonesia akan berbeda sekali. Contohnya dari sisi makanan saja sudah beda cara pengemasannya dan itu pengaruhi cara pengelolaan sampah.
Lalu, cara kita membuang sampah itu dibungkus dengan plastik kemudian diangkut dan dikumpulkan. Tidak ada proses pemilahan sampah. Jadi harus diperbaiki dari sisi liner ekonominya yang berlaku saat bagaimana caranya menuju circular economy.
Contoh sederhana kalau kita tidak bisa memilah sampah dari asalnya, maka solusinya ya jangan buang sampah sembarangan. Karena kampanye untuk memilah sampah dari asalnya dari zaman Pak Harto sampai hari ini enggak jalan.
Ini situasi yang unik. Maka ya sudah buang sampah pada tempatnya, biarkan pemulung ambil, dari situ dipilah mana yang layak jual, layah daur ulang dan untuk sampah organik bisa diselesaikan menjadi kompos cair atau makanan serangga yang telurnya untuk pakan ternak.
Proyek semacam itu ada yang berhasil dan ada yang gagal. Untuk yang berhasil kami akan duplikasi untuk daerah lain. Proses duplikasi sudah di mulai pada daerah Jawa Timur dan Bali. Setiap wilayah punya karakternya sendiri dalam pengelolaan sampahnya.
Kami tinggal perbanyak model pengelolaan. Lalu, kami ajak juga perusahaan besar dan anggota Inaplas untuk perbaiki manajemen sampah. Goals utamanya pada 2030 sampah yang lari ke Tempat Pembuangan Akhir bisa di bawah 5% sisanya jadi circular economy.
Kalau dari sisi investasi, yang mau enggak mau harus diperbaiki iklim berinvestasinya. Pemerintah sudah memberikan insentif pajak mulai dari tax allowance dan tax holiday, perizinan dipersingkat. Industri hulu dan hilir ikut kita sentuh dengan terjun ke lapangan.
Indonesia itu kalau lihat bisnis daur ulang itu sudah lebih maju sebenarnya karena produk yang ada di pasar itu bahkan ada 100% berasal dari daur ulang plastik seperti lemari, kursi bakso, beberapa produk terpal dan karung. Lalu ada alat rumah tangga.
Kemudian dari sisi advokasi jadi perhatian karena dari dulu itu tidak ada sekolah plastik dan kami dorong perguruan tinggi untuk buat fakultas atau prodi terkait plastik. Karena ini bisnis yang besar dan pangsa pasarnya besar.
Saat ini baru kerja sama dengan sekolah binaan di bawah Kemenperin. Aspek advokasi pendidikan ini penting karena aktivitas dari bangun sampai tidur lagi berhubungan dengan plastik, mulai dari lahir sampai mati pakai plastik. Jadi tidak bisa terlepas dari plastik.
Kalau cara menggunakannya salah maka akan jadi masalah, tapi kalau menggunakannya dengan benar itu akan jadi berkah.
Soal cukai plastik, menurut Anda?
Itu salah satu kebijakan yang kami sanggah, bahwa dasar hukum untuk memungut cukai plastik ini salah. Kebijakan cukai plastik dibuat karena ini benda berbahaya dan beracun, tetapi menurut kami itu salah.
Kedua, kebijakan akan diterapkan kepada plastik konvensional 100% dan kemudian plastik yang bisa terurai atau OXO-degradable bisa dapat potongan tarif kemudian yang biodegradable tidak akan dikenakan cukai.
Nah yang jadi masalahnya di sini. Selama pengelolaan sampahnya tidak benar maka plastik biodegradable akan menjadi masalah, karena saat orang merasa sudah membeli jenis kantong plastik yang bisa terurai, orang akan punya kecenderungan buang sampah sembarangan.
Padahal, banyak orang tidak tahu sebelum plastik biodegradable sebelum dia terdegradasi dia mengeluarkan bau. Jadi di samping limbah padat, limbah cair dan ada bau juga. Masalah sama juga berlaku untuk jenis OXO-degradable, padahal untuk jenis ini pemulung enggak mau ambil.
Kalau jenis oxo bercampur dengan plastik biasa maka akan merusak kualitas plastik biasa yang biasa didaur ulang. Padahal industri daur ulang Indonesia punya kapasitas 2 juta ton, sementara baru bisa produksi 1,5 juta ton, kenapa hal ini terjadi karena bahan bakunya yang jelek.
Maka seharusnya manajemen pengelolaan sampah yang harus diperbaiki sehingga recycle rate kita naik dari 1,5 menjadi 2 juta. Akibatnya apa kalau tidak diperbaiki ya jadinya pabrik recycle impor sampah dari luar.
Jadi kebijakan cukai tidak menyelesaikan masalah juga. Ini bisa mematikan industri daur ulang karena makin banyak plastik jenis oxo dan bio sehingga kekurangan pasokan. Jalan pintasnya ya sudah impor sampah.
Selain ada persaingan usaha, jenis oxo degradable ini beberapa negara Asean sudah melarang dan Uni Eropa melarang juga karena lebih banyak mudharatnya daripada untungnya.
Selama di asosiasi ada pengalaman saat berurusan dengan petugas pajak atau bea cukai?
Kalau pajak saya rasa welcome saja dan tidak ada masalah. Mereka [DJP] bagus-bagus dan terbuka kepada kami. Nah kalau untuk bea cukai ini ada sedikit kendala karena pemahaman tentang plastik ini belum holistik sehingga begitu ganti pimpinan isu cukai plastik ini kembali diangkat.
Itu yang jadi tantangan kami untuk ke sana. Yang paling berat itu dari KLHK, ternyata banyak pengaruh LSM di sana yang antiplastik, tetapi KLHK juga sudah banyak kemajuan dari yang tadinya benci plastik kemudian bergeser menjadi bijak terkait dengan plastik.
Di luar rutinitas kerja, hobi apa yang dijalankan?
Sekarang karena sudah tua tinggal olahraga jalan kaki dan golf, sama travelling dan menikmati kuliner lokal.
Pada saat apa Anda merasa sudah di tahap sukses?
Kalau bicara sukses itu kan relatif tapi saya akan terus belajar dan sharing pengalaman. Kedua aspek itu memberikan kenikmatan tersendiri buat saya. Kalau dari segi finansial, ya mau cari apa lagi untuk saat ini tapi bukan di situ yang jadi ukuran saya sukses dan kepuasan saya.
Ukuran saya seberapa banyak saya bisa sharing dan dapat ilmu baru dan pada masa new normal ini banyak ilmu baru yang harus bisa saya adaptasi dengan cepat dengan usia saya yang relatif mau masuk masa pensiun ini. Tapi itulah hidup yang harus tetap belajar terus. (Rig/Bsi))