KETUA UMUM ALUDI REZA AVESENA:

'Bea Meterai Rp10.000 Itu Jadi Perhatian Kami'

Muhamad Wildan
Minggu, 14 Februari 2021 | 08.01 WIB
ddtc-loader'Bea Meterai Rp10.000 Itu Jadi Perhatian Kami'

USAHA Kecil dan Menengah (UKM) merupakan kontributor terbesar perekonomian nasional. Sumbangannya lebih kurang 60% terhadap produk domestik bruto dengan total jumlah usaha 62 juta unit. Meski begitu, tidak sedikit UKM yang mengalami kendala, terutama dari segi pembiayaan.

Seiring dengan perkembangan ekonomi, sumber pembiayaan untuk UKM kini tidak hanya dari perbankan. Ada misalnya yang melalui urun dana atau equity crowdfunding (ECF). Asosiasi Layanan Urun Dana Indonesia (ALUDI) pun dibentuk sebagai wadah yang menaungi penyelenggara ECF.

DDTCNews berkesempatan mewawancarai Ketua Umum ALUDI Reza Avesena sekaligus co-founder salah satu penyelenggara ECF, Santara. Reza membagikan perspektifnya mengenai bisnis ECF dan perlakuan pajak bagi penyelenggara ECF. Kutipannya:

Apakah ada yang berubah dalam penyelenggaraan ECF selama pandemi Covid-19?
ECF merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. ECF muncul karena proses digitalisasi yang makin pesat beberapa tahun terakhir. Sayang, ketika kita baru ada aturan mengenai ECF pada 2018 dan proses izin pada 2019, baru mau menjalankan bisnis kena pandemi.

Selama pandemi ini, banyak yang berubah terutama dari sisi UKM penerbit efek kurang mendapatkan respons dari publik. Karena namanya ECF ini kan mengumpulkan dari publik.

Pandemi kemarin, orang lebih hold money daripada investasi. Artinya terjadi penurunan signifikan. Itu yang mungkin perlu ada strategi dari sisi penyelenggara ECF. Misal, screening penerbit, kalau mau lebih clear perlu ada survei lokasi si penerbit dan lain lain.

Itu kita coba pivot ke online survey. Lalu, perlu ada lebih banyak aktivitas di media digital. Jadi secara umum banyak perubahan melalui pivoting agar usaha tetap berjalan, agar tetap ada UKM yang bisa listing, dan tetap terus mengedukasi investor untuk tertarik investasi di tengah pandemi.

Sudah berapa banyak UMKM yang listing di ECF?
Kalau sekarang kisaran 150 UKM di Santara, Bizhare, dan CrowdDana dengan nominal listing Rp200 miliar. Kalau dari potensi tentunya masih banyak, dari sisi jumlah saja UKM ada 60 juta dan 90%-nya memiliki masalah dari sisi pendanaan.

Data juga menyatakan institusi keuangan itu masih kesulitan menyalurkan kebutuhan dana sebesar Rp1.000 triliun ke UKM. Artinya, peran ECF untuk mengambil 5% saja itu masih banyak banget gap-nya. Masih banyak market-nya yang belum kita garap.

Dari kita bertiga, baru ada 150 UKM dengan pendanaan Rp200 miliar kurang lebih, sedangkan market size-nya itu 60 juta UKM. Taruhlah ECF mendapatkan 10% itu saja ada 6 juta UKM, jadi masih luas ruang geraknya.

Seperti apa strategi ALUDI dalam memperluas pasar?
Kalau bicara ECF itu UKM melepas sahamnya ke publik dan publik beli saham. Penerbit memiliki kewajiban untuk memberikan laporan keuangan atau kinerja secara rutin. Ini yang menjadi mekanisme.

Untuk penyelenggara ECF, kami perlu memberikan literasi kepada UKM selaku penerbit. Penerbit perlu membuat laporan keuangan dengan benar sehingga secara tidak langsung investor akan teredukasi dalam aspek keuangan.

Itu dari sisi yang bisa kita kontrol, kalau dari sisi lebih luas lagi ALUDI banyak bekerja sama dengan berbagai pihak. Contoh, kolaborasi dengan asosiasi lain seperti AFSI [Asosiasi Fintech Syariah Indonesia].

ALUDI, AFSI, dan AFPI [Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia] itu sudah MoU untuk membangun ekosistem supaya ada literasi keuangan termasuk di syariah-nya.

Kami juga di-support bursa efek serta OJK untuk bikin event bareng karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga punya program terkait dengan literasi keuangan. Jadi kolam kami digabung dengan kolam stakeholder lain.

Kami juga akan bekerja sama dengan Kementerian Koperasi dan UKM untuk meningkatkan literasi ini. Kita juga ada initial discussion dengan Kementerian Desa karena yang gap literasi keuangannya paling tinggi itu kan di daerah terpencil ya.

Boro-boro literasi, teknologi aja masih belum paham. Jadi strateginya adalah melalui kolaborasi dengan berbagai stakeholder yang punya akses ke masyarakat itu.

Melalui ECF, mungkinkah UKM menerbitkan saham dan hingga obligasi?
Ada arah ke sana, jadi ECF serta securities crowdfunding. Kalau pada POJK No. 57/2020 dinyatakan kami bisa menerbitkan obligasi, sukuk, tentunya iya. Sesungguhnya bukan menyaingi, tapi menjadi alternatif pendanaan, melengkapi.

Sekarang ini banyak masyarakat yang enggak bankable, enggak punya akses ke bank. Misalnya terkait dengan kewajiban collateral, jaminan aset, di sini ECF dan securities crowdfunding menjadi pembiayaan alternatif bagi UKM.

Seperti apa risikonya?
Jadi begini, kalau dilihat dari mitigasi risiko kami melihat dari beberapa aspek. UKM itu unbankable bukan karena dia risikonya tinggi, belum tentu. Mungkin bank masih konservatif dalam melihat UKM.

Mereka melihat UKM itu di-compare sama asetnya, atau dari balance sheet, dari laporan keuangan, sedangkan bisnis kecil itu enggak punya laporan keuangan. Itu yang membuat UKM semacam kena tolak di depan dari bank karena enggak ada literasi keuangan tadi.

Penyelenggara ECF ini membantu untuk mengecek. “Oh ini bisnisnya 15 tahun berdiri, untung terus, dan karyawan banyak.” Namun, karena mereka tidak ada literasi, ketika mengajukan kredit ditolak.

Nah, kami mengedukasi membuat laporan keuangan dan kinerja. Di situ kita bisa lihat dan masyarakat juga bisa melihat baik dari sisi profitabilitasnya maupun sustainabilitasnya. Itu parameter yang membuat investor mau join. Bukan berisiko, tetapi bank tidak melihat adanya faktor lain.

Menurut Anda, bagaimana cara UKM agar dapat naik kelas?
Untuk akselerasi, masalah UKM itu kenapa enggak naik kelas sesungguhnya bukan hanya karena pendanaan. Pertama, dari sisi produk, kualitasnya itu mungkin tidak scalable, tidak punya konsumen yang banyak. Itu perlu bantuan dari sektor keuangan dan juga dari sektor lain.

Kedua, dari sisi sumber daya manusia (SDM). Setelah produk ada tapi SDM enggak bagus atau enggak tepat itu juga jadi masalah. Artinya kita punya masalah itu bukan hanya dari sisi finansial saja, tapi juga kualitas produk dan SDM-nya.

Menurut kami ini bisa dikolaborasikan, bisa dengan kementerian atau start-up. Start-up seperti e-commerce mampu mengidentifikasi produk yang hype sekarang apa sih. Jangan sampai masuk market dengan produk yang salah. Jadi start-up bisa memberikan insight kepada UKM.

SDM ini bukan masalah orangnya, tapi apakah orang itu melakukan hal yang tepat di saat yang tepat. Misal pandemi ini, ada sales door-to-door kan enggak laku. Sejago apapun sales door-to-door kalau pandemi ya enggak berjalan. Artinya harus pindah ke digital. Jadi harus pivot ke online.

Ketiga, strategi bisnis. Strategi ini mindset para founder perlu dibenerin dahulu bahwa bicara bisnis itu bicara 360 derajat mulai dari operasional, accounting, legal, dan sebagainya. Mindset owner itu perlu dibenerin atau perlu di set. Kalau sudah clear maka bisnis bisa kenceng, ngebut.

Kalau 3 ini clear, kita kasih pendanaan, maka usahanya bisa menjadi lebih besar lagi, bukan jadi sponge, nyerap saja tapi enggak jadi apa-apa. Jadi untuk mengurangi risiko dari investor, kami harus pastikan bisnis di sini adalah bisnis yang bagus secara produk, SDM, dan mindset.

Kepala Eksekutif Pengawas Modal Hoesen (kiri) dan Ketua Umum ALUDI Avesena Reza berjabat tangan dalam launching ALUDI. (Foto: ALUDI)

Pemerintah memberikan insentif pajak bagi UMKM, menurut Anda?
Untuk perpajakan kami masih belum masuk ke sana karena memang masih belum jadi concern utama. Concern kami justru soal bea meterai Rp10.000.

Hal itu akan jadi concern kami dan OJK karena jika misal ada transaksi saham, saham UKM kan kecil transaksi Rp100.000 atau Rp200.000 tapi bea meterai Rp10.000 kan kayak gede banget gitu.

ALUDI berharap khusus penanaman modal ke UKM ini tidak perlu ada bea meterai Rp10.000 atas TC itu. ALUDI kan payung hukumnya pasar modal, dan bea meterai itu secara umum implemented atas pasar modal. Jadi kami mengusahakan ada pengecualian juga.

Adakah masukan ALUDI terkait dengan pajak atas penghasilan dividen?
Kalau dari sisi perpajakan kami sudah ada diskusi ke OJK mengenai ekspektasi kita. Kalau dari sisi jenis pajak bagi pemodal, dia kan ada kena pajak Pasal 4 Ayat (2) UU PPh.

Per 2 November kan ada ketentuan pengecualian dividen dari objek pajak lewat UU Cipta Kerja tapi dengan syarat direinvestasikan pada instrumen investasi tertentu. Kami telah mengusulkan agar ECF ini bisa menjadi salah satu investasi tertentunya. Itu sedang diusulkan antara OJK dan DJP.

Lalu terkait dengan keuntungan penjualan saham atau capital gain. Nanti ini akan ada pasar sekunder di ECF. Jadi itu kita usul capital gain dari ECF itu enggak masuk objek pajak, tapi ada ada tax treatment yang sama dengan di bursa yakni setiap penjualan kena pajak 0,1% final dari harga jual.

Jadi nanti capital gain tidak termasuk masuk dalam penghasilan yang diperhitungkan untuk menentukan lapisan penghasilan kena pajak. Kalau masuk itu kan bisa besar pajaknya, bisa 35%.

Ini jadi concern karena kita ECF ini ada juga mereka yang punya investasi besar hingga miliaran. Kami berharap bisa mendapatkan dana dari mereka yang besar-besar juga.

Untuk mengembangkan ECF, apa yang akan dilakukan ALUDI dalam 5 tahun ke depan?
Pertama, concern kami adalah menjaga industri ECF untuk bisa membesar kuat dan sustain. Langkah tahun pertama pada 2021 adalah kami akan memperketat proses screening penyelenggara ECF yang jadi member ALUDI yang akan izin ke OJK.

Alhamdulillah di ECF ini kami tidak boleh beraktivitas sebelum berizin. Itu barrier of entry yang positif bagi industry ECF. Penyelenggara itu memang harus berizin statusnya.

Untuk itu, kami melakukan koordinasi dengan OJK untuk membantu screening penyelenggara ECF sebelum mereka izin. Hal itu menjadi sebuah program awal kami. Penyelenggara ECF yang berizin OJK itu harus benar-benar berkualitas.

Harapannya industri ECF ini makin membesar dan kami makin siap untuk kolaborasi dengan pihak lain. ALUDI akan menjadi wadah atau rumah untuk pengembangan bisnis.

Misal, ALUDI akan bekerja sama dengan digital signature company, bank kustodian, perusahaan teknologi penyedia platform, dan supporting system lain. Harapannya kami bisa assist semua penyelenggara ECF agar bisa tumbuh berkembang dan sustain sampai 2024.

Saat ini target kami masih fokus terhadap screening atau memperkuat proses onboarding, baru selanjutnya improvement agar penyelenggara itu bisa ada tematiknya, jadi ada sektor masing-masing.

Misal ada ECF yang fokus ke UKM, ada yang franchise, properti, dan lain lain. Kalau sudah begitu harapannya antarpenyelenggara bisa kolaborasi serta agar kompetisi dan kolaborasinya bagus.

Saat ini sudah ada 4 penyelenggara ECF yang berizin, yang baru lagi ada LandX, per Desember kemarin LandX jadi yang keempat. Anggota ALUDI sekarang ada 23, sisa 19 itu dalam proses izin, tetapi di pipeline OJK ada 17. Kapan akan diizinkan, itu tergantung screening OJK.

Setelah lama berkarier di beberapa perusahaan, mengapa memilih untuk mendirikan usaha sendiri?
Kalau dilihat secara historis, saya sudah passionate banget sejak dari zaman SMP itu berdagang. Mulai dari berdagang PC, komputer rakitan, tamiya, sparepart tamiya, itu semua saya jalani dari SMP.

Jadi saya tipikal orang yang kalau hobi sesuatu itu hobinya bisa menghasilkan uang. Saya senang tamiya itu jangan sampai cuma buat buang-buang uang, tapi main dan dagang. Jadi banyak lebihnya dari pada cost mainnya.

Dari situ insting bisnisnya jalan dan lanjut sampai SMA mulai dari berdagang. Bikin jaket angkatan sekolah dan project-project lain sampai akhirnya bisa beli motor sendiri, beli mobil sendiri. Waktu kuliah juga saya ada passion di bisnis seperti waktu itu saya bisnis impor speaker. Jadi bukan barangnya sih tapi senang dagang dari dulu.

Saya ingin setelah lulus itu bisnis saja tapi orang tua saya kan PNS dan ya namanya PNS. Ibu itu guru, pandangannya kalau lulus kuliah ya kerja. Itu awalnya mengapa saya berkarier. Waktu berkarier lumayan dapat pelajaran dari dunia karier itu dari Telkomsigma, Wincor Nixdorf, sampai terakhir di IBM.

Suatu ketika saya dapat cuti panjang dari IBM. Kala itu dapat 3 bulan cuti saya ke Jogja ketemu teman-teman saya di Jogja ini. Mereka sudah bisnis sejak 2012 terus saya ikut masuk pada 2017, berarti sudah 5 tahun berjalan.

Saya lihat seru ini, the real business ada di sini. Dari situ saya yakinkan keluarga dan orang tua bahwa bisnis itu bisa bagus sampai akhirnya saya hijrah dari IBM ke Jogja untuk memulai bisnis dan mendirikan Santara.

Seberapa besar dukungan keluarga dalam menyokong karier?
Awalnya mereka prefer "ya sudah cari yang pasti-pasti saja." Namun, pada akhirnya kita bisa buktikan kalau Santara itu bisa. Saya ada passion di dunia usaha, perdagangan, dan UKM yang mau berkembang.

Di Santara saya merasa happy ketemu sesama pebisnis dan para investor yang ingin support bisnis yang bisa berkembang. Jadi dari sini terjawab passion saya sejak SMP di Santara ini. (Rig/Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.