SATU dekade terakhir, Indonesia gencar menggunakan insentif perpajakan sebagai daya tawar untuk menarik investasi dan menjaga daya saing industri.
Sejak 2011 hingga 2024, Kementerian Keuangan mencatat, insentif pajak telah digelontorkan kepada 655 investor. Di antaranya, 221 investor menikmati fasilitas tax holiday, dengan total realisasi investasi mencapai Rp421,94 triliun serta US$479 juta. Sementara itu 234 investor mendapat tax allowance, menghasilkan investasi senilai Rp90,35 triliun dan US$8,5 juta.
Meskipun tax holiday berhasil menarik investasi, efektivitasnya masih dipertanyakan. World Bank (2018) meyakini bahwa skema tax holiday tidak cukup efektif untuk diterapkan karena tidak sebanding dengan potensi pemasukan yang terpangkas ketika kebijakan itu diterapkan.
Zolt (2018) menegaskan, di banyak negara berkembang, insentif pajak jarang efektif menarik investasi baru, tetapi lebih sering hanya memberikan keuntungan tambahan kepada investor yang memang sudah beroperasi. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa pada 2017 tak ada pendaftar baru untuk tax holiday di Indonesia, sebuah indikasi bahwa insentif bisa kehilangan daya tariknya (Pohan et al. 2021).
Bagaimana dengan Indonesia?
Jika dilihat dari sisi penerimaan negara, insentif bukanlah tanpa biaya. Laporan Kementerian Keuangan (2023) besaran belanja perpajakan (tax expenditure) Indonesia mencapai Rp362,5 triliun atau setara 1,73% dari PDB.
Angka tersebut menggambarkan potensi penerimaan negara yang 'hilang' akibat kebijakan insentif. Bila merujuk pada estimasi, hanya 10%–20% investasi di negara berkembang yang benar-benar bergantung pada insentif (James. S, 2016). Karenanya, potensi kebocoran fiskal dari insentif yang tidak efektif bisa mencapai Rp250 triliun hingga Rp290 triliun per tahun.
Fenomena ini dijelaskan oleh Klemm & Van Parys (2012) yang menyoroti bahwa negara-negara berkembang kerap gagal menghentikan insentif karena adanya tekanan politik, lobi investor, atau ketakutan kehilangan daya saing investasi.
Sejumlah temuan tersebut akhirnya memperlihatkan satu kelemahan besar yang berulang dalam desain kebijakan insentif di Indonesia, yaitu absennya mekanisme penghentian otomatis atau sunset clause yang tegas.
Sunset clause adalah ketentuan hukum yang memastikan insentif berakhir pada waktu tertentu, kecuali diperpanjang melalui evaluasi yang transparan dan berbasis data (Shaviro, 2009). Tanpa adanya klausul ini, insentif cenderung menjadi permanen, meskipun tujuan awalnya sudah tercapai.
Dalam konteks ini, sunset clause menjadi instrumen penting dalam menjawab persoalan. Sunset clause yang ketat akan memaksa insentif dievaluasi secara periodik sehingga alokasi fiskal bisa dialihkan ke program dengan return sosial-ekonomi lebih tinggi (James. S, 2016).
OECD (2022) bahkan menekankan bahwa tanpa sunset clause, negara berkembang cenderung terjebak pada 'kompetisi insentif' yang tidak sehat, saling berlomba memberikan keringanan pajak tanpa memperhitungkan kerugian fiskal jangka panjang. Sayangnya, di Indonesia desain sunset clause masih begitu lemah.
Beberapa insentif memang diberi batas waktu formal, seperti tax holiday yang berlaku 5–20 tahun. Namun, dalam praktiknya perpanjangan sering diberikan tanpa evaluasi yang transparan. Celah ini menyebabkan insentif bertransformasi menjadi beban permanen. Padahal, ketergantungan fiskal pada insentif pajak yang membebani penerimaan dapat menciptakan ketidakstabilan fiskal jangka panjang.
Mendesain ulang insentif pajak dengan sunset clause perlu menjadi prioritas kebijakan fiskal Indonesia. Ada beberapa pertimbangan yang mengikutinya.
Pertama, regulasi sunset clause harus dinaikkan ke level Peraturan Pemerintah (PP) atau bahkan Perppu. Dengan dasar hukum yang kuat, insentif tidak dapat diperpanjang hanya melalui keputusan menteri teknis.
Kedua, evaluasi efektivitas insentif perlu dilakukan oleh lembaga independen. Misalnya, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang bekerja sama dengan lembaga akademik lainnya dengan indikator yang terukur. Indaktator tersebut meliputi multiplier effect dari investasi, penyerapan tenaga kerja, kontribusi ekspor, atau inovasi teknologi.
Ketiga, pemerintah perlu membangun dashboard digital untuk memantau siklus hidup setiap insentif dari kapan insentif mulai berlaku, kapan berakhir, hasil evaluasi, dan keputusan perpanjangan. Transparansi semacam ini akan menumbuhkan kepercayaan investor sekaligus meningkatkan akuntabilitas publik.
Meski demikian, rekomendasi tersebut bukan tanpa risiko.
Ada kekhawatiran bahwa penerapan sunset clause ketat akan melemahkan daya tarik investasi, khususnya di sektor padat karya seperti tekstil atau UMKM. Namun demikian, nyatanya kepastian hukum justru lebih dihargai investor daripada insentif yang berlebihan. Untuk itu Indonesia perlu belajar kepada beberapa negara di kawasan Asean.
Singapura sering dikutip sebagai model keberhasilan dalam menarik foreign direct investment (FDI), bukan karena insentif pajak yang bersifat generik. Justru, Singapura memposisikan insentif sebagai pelengkap dan bukan koreksi terhadap iklim investasi yang sudah kuat.
Studi pada buku Tax Incentives in Developing Countries: A Case Study—Singapore and Philippines menegaskan bahwa insentif pajak di Singapura bukan faktor utama menarik investor. Bagi Singapura, faktor utama yang lebih menentukan adalah stabilitas politik, birokrasi yang efisien, infrastruktur modern, serta kepastian hukum yang tinggi.
Dalam konteks ini, insentif pajak hanya berfungsi sebagai 'bonus' yang melengkapi ekosistem investasi, bukan sebagai pendorong utama.
Sementara itu, Filipina cenderung menggunakan insentif pajak sebagai daya tarik utama. Akibatnya, banyak fasilitas yang diberikan tanpa batas waktu yang jelas, menimbulkan ketergantungan investor dan kebocoran penerimaan pajak.
Karena itu, reformasi lewat Corporate Recovery and Tax Incentives for Enterprises (CREATE) Act 2021 mulai memperkenalkan sunset clause pada berbagai insentif, agar lebih terukur dan tidak menggerus basis pajak secara permanen.
Pada akhirnya, reformasi insentif pajak melalui sunset clause bukan sekadar teknis administratif, melainkan upaya pergeseran paradigma dari memberi 'hak permanen' kepada dunia usaha, menuju kontrak fiskal yang berbasis hasil.
Dengan sunset clause, insentif pajak diperlakukan sebagai investasi publik yang harus dipertanggungjawabkan. Jika berhasil, dapat diperpanjang. Jika gagal, harus dihentikan. Langkah ini akan memperluas ruang fiskal, meningkatkan keadilan antarsektor, dan memperkuat fondasi penerimaan pajak Indonesia dalam jangka panjang.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.