LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Piggyback Tax untuk Pajak Pusat: Solusi Kemandirian Fiskal Daerah

Redaksi DDTCNews
Senin, 29 September 2025 | 15.00 WIB
Piggyback Tax untuk Pajak Pusat: Solusi Kemandirian Fiskal Daerah
Faisal Labib Zulfiqar,
Kota Tangerang Selatan, Banten

SEPEREMPAT abad sudah Indonesia mengadopsi otonomi daerah. Namun, peningkatan kesejahteraan dan kemandirian fiskal lokal masih jauh panggang dari api. Dari 38 provinsi di Indonesia, hanya DKI Jakarta yang mampu mandiri secara fiskal (Kemenkeu, 2024).

Sementara 37 yang lain, masih bergantung pada tambahan anggaran dari dana transfer pemerintah pusat.

Rata-rata nasional menunjukkan bahwa hanya 29,3% dari porsi APBD di tahun 2023 yang didanai oleh pendapatan asli daerah (PAD). Sementara sisanya masih sangat bergantung pada transfer keuangan dari pusat. Setali tiga uang dengan hal tersebut, di tingkat kabupaten/kota, PAD hanya menyumbang 14% dari Penerimaan APBD (DJPK, 2024).

Ketergantungan fiskal yang tinggi ini menimbulkan kontrak fiskal yang lemah (Bird, 2011). Akibatnya, akuntabilitas fiskal daerah menjadi rendah. Selain itu, tidak ada insentif bagi daerah untuk menggerakan ekonomi lokal. Bahkan, dapat menyebabkan ketimpangan fiskal dalam jangka panjang.

Untuk itu, diperlukan solusi kebijakan alternatif. Salah satunya melalui piggyback tax atau opsen pajak.

Piggyback Tax di Pajak Pusat

Piggyback tax atau opsen pajak adalah tambahan pungutan pajak oleh pemerintah daerah. Tambahan pungutan ini dapat melekat pada pajak pusat atau pajak daerah (di level pemda yang lebih tinggi).

Opsen pajak berbeda dengan transfer dari pemerintah pusat/provinsi yang dikenal sebagai dana bagi hasil (DBH). Hal tersebut karena opsen pajak diklasifikasikan sebagai pendapatan asli daerah (PAD).

Di Indonesia, praktik opsen pajak baru diterapkan terbatas pada level pajak provinsi. Sebagaimana tercantum dalam UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), pemkab/pemkot berhak menetapkan tarif opsen terhadap 3 jenis pajak provinsi, yaitu pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), dan pajak mineral bukan logam dan batuan (MLBB).

Sementara untuk pajak pusat, Indonesia masih menggunakan skema DBH. Pada PPh orang pribadi (PPh OP) misalnya, sebanyak 20% dari PPh OP yang dipungut fiskus akan dikembalikan ke daerah.

Dari jumlah tersebut, 8,4% ditransfer ke ke kabupaten/kota penghasil, 8% ke provinsi, dan 3,6% dibagikan ke kabupaten/kota dalam satu provinsi.

Penerapan skema DBH memberikan tiga kelemahan. Pertama, otonomi pemda sangat terbatas. Dengan kata lain, kelekatan sumber dan penerima manfaat menjadi rendah, sehingga melemahkan kontrak fiskal.

Kedua, ketergantungan pemda terhadap pemerintah pusat semakin meningkat. Ketiga, fleksibilitas kebijakan fiskal pemda jadi terbatas, terutama di masa-masa krisis seperti pandemi Covid-19 kemarin.

Praktik di Negara Lain dan Peluang di Indonesia

Opsen pajak untuk pajak pusat telah jamak diterapkan di berbagai negara. Di Denmark dan Amerika Serikat misalnya, pemerintah setingkat kota berhak untuk menentukan tarif opsen PPh orang pribadi sebagai sumber PAD di wilayahnya.

Sementara di Kanada dan Kroasia, opsen pajak atas PPh orang pribadi diterapkan di level pemerintah provinsi.

Penerapan piggyback tax atau opsen pajak pada pajak pusat di Indonesia dapat dimulai pada PPh orang pribadi (PPh OP), misalnya untuk PPh Pasal 21.

Mekanisme opsen PPh OP ini dilakukan melalui dua opsi. Opsi pertama, pemerintah mengganti seluruh mekanisme DBH dengan mekanisme piggyback tax. Skema seperti ini diterapkan di Kroasia.

Pemda menentukan sendiri tarif opsen sebagai tambahan tarif dasar PPh OP yang dipungut oleh pemerintah pusat. Opsi pertama ini memberikan otonomi yang lebih besar, namun ada risiko peningkatan kesenjangan antar daerah jika diterapkan secara tergesa-gesa.

Opsi kedua, pemerintah tetap mempertahankan skema DBH yang telah ada. Hanya saja, pemda diperbolehkan untuk menetapkan sendiri tarif opsen pajak sebagai tambahan tarif dasar PPh OP yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Skema ini diterapkan di Denmark dan Kanada.

Pada opsi tersebut, otonomi pemda tidak sebesar opsi pertama, namun pemerintah pusat memiliki andil dalam memitigasi risiko kesenjangan antar daerah.

Tantangan Opsen Pajak Pusat

Dalam penerapannya, pemerintah perlu mengantisipasi tantangan yang akan ditimbulkan. Pertama, masalah data. Hal tersebut karena opsen untuk PPh OP memerlukan data domisili wajib pajak. Kedua, keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan tambahan. Ketiga, risiko peningkatan kesenjangan ekonomi antar pemerintah daerah.

Untuk memitigasi hal tersebut, beberapa langkah dapat dilakukan oleh pemerintah.

Pertama, melakukan optimalisasi kebijakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagaimana diamanatkan dalam UU HPP. Selain itu, optimalisasi instansi kependudukan diperlukan untuk melakukan tracking pergerakan penduduk antar daerah.

Kedua, untuk memitigasi tambahan biaya pemungutan pajak pada pemda, opsen PPh OP yang menjadi hak pemda tetap diadministrasikan oleh pemerintah pusat sebagaimana mekanisme yang telah berjalan.

Ketiga, untuk mengurangi kesenjangan antar daerah, opsi kedua dapat menjadi pilihan. Hal tersebut karena selain memperoleh otonomi PAD melalui opsen PPh OP, pemda juga dapat memperoleh DBH dari pajak pusat untuk memitigasi risiko kesenjangan antar daerah.

Dengan langkah-langkah tersebut, maka diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi tidak hanya di pusat, namun juga di daerah, seiring dengan peningkatan penerimaan perpajakan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.