LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Menata Kebijakan Pajak Pelayaran Demi Logistik yang Efisien dan Sehat

Redaksi DDTCNews
Senin, 29 September 2025 | 10.00 WIB
Menata Kebijakan Pajak Pelayaran Demi Logistik yang Efisien dan Sehat
Nur Rohmah Zainul Fitri, 
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat

SEKTOR pelayaran dalam negeri merupakan tulang punggung logistik nasional, khususnya dalam menghubungkan wilayah kepulauan Indonesia. Sektor ini berperan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, terutama di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T).

Dalam konteks tersebut, kebijakan perpajakan seperti pemungutan PPN dan pemotongan PPh harus dirancang untuk mendukung efisiensi dan keberlanjutan usaha, sekaligus menjamin penerimaan negara tetap sehat.

Sayang, penguatan sektor pelayaran dalam negeri masih menghadapi tantangan kebijakan perpajakan yang belum sepenuhnya akomodatif. Salah satunya terkait dengan pengenaan PPN atas jasa angkutan laut dalam negeri.

Saat ini, pembebasan atau tidak dipungutnya PPN atas jasa angkutan laut tertentu telah diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 49/2022, khususnya pada pasal 26. Ketentuan ini bertujuan menjaga efisiensi biaya logistik dan mendorong konektivitas antarwilayah.

Namun, implementasi di lapangan sering menimbulkan ketidakpastian. Pelaku usaha misalnya menghadapi tantangan dalam memperoleh Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD) sebagai dasar penggunaan faktur pajak kode 07. Jika SKTD belum tersedia, transaksi tetap dikenai PPN dengan faktur kode 01, yang pada akhirnya memengaruhi arus kas perusahaan.

Sejumlah putusan pengadilan pajak juga menunjukkan perbedaan interpretasi. Putusan Pajak Nomor PUT-114507.16/2014/PP/M.IIIB Tahun 2018 misalnya, menyatakan jasa angkutan laut tidak termasuk objek PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 huruf i PP 28/1988.

Hakim menyimpulkan jasa angkutan laut—baik komersial maupun penugasan pemerintah, serta domestik maupun internasional—dikecualikan dari pengenaan PPN. Putusan ini memperkuat argumen bahwa jasa pelayaran intra-nasional seharusnya tidak dipungut PPN.

Namun, Putusan Pajak Nomor PUT-54417/PP/M.XVI.A/16/2014 menunjukkan interpretasi teknis dapat berdampak berbeda. Dalam kasus tersebut, kedua perusahaan yang memiliki izin Surat Izin Operasi Perusahaan Angkutan Laut Khusus (SIOPSUS) dianggap bukan sebagai perusahaan pelayaran umum nasional.

Akibatnya, kedua perusahaan tersebut tidak memperoleh fasilitas pembebasan PPN, meskipun layanan yang diberikan bersifat transhipment. Alhasil, transaksinya tetap dikenai PPN.

Di sisi lain, Putusan Pajak Nomor PUT-46940/PP/M.I/16/2013 menegaskan jasa angkutan laut umum yang mengangkut barang atau penumpang berdasarkan perjanjian 1 trip tergolong sebagai jasa yang bebas PPN selama tidak melibatkan sewa charter maupun penyerahan ke pihak asing.

Selain isu interpretasi, sistem pengadaan pemerintah seperti Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PPBJ) juga belum harmonis dengan ketentuan perpajakan bagi jasa pelayaran dalam negeri. Dalam praktiknya, masih ada inkonsistensi dalam perlakuan PPN.

Isu lain yang krusial adalah pemotongan PPh. Sesuai dengan regulasi, jasa angkutan laut dalam negeri yang dilakukan pemilik kapal berbendera Indonesia dikenai PPh final sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) huruf a UU PPh, yakni sebesar 1,2% dari peredaran bruto dan tidak dipotong PPh Pasal 23.

Meski begitu, ketentuan tersebut hanya berlaku jika perusahaan memiliki surat keterangan domisili dan NPWP yang valid, serta benar-benar mengoperasikan kapal sendiri.

Dalam banyak kasus, tak sedikit pengguna jasa yang justru tetap memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% karena ragu dengan klasifikasi usaha penyedia jasa. Situasi ini kembali memperlihatkan pentingnya edukasi dan kepastian hukum dalam implementasi kebijakan fiskal di sektor pelayaran.

Potensi Pajak dan Langkah Strategis

Dalam siaran resmi pada 2024, Dewan Pengurus Pusat Indonesian National Shipowners' Association memberikan dukungan terhadap implementasi sistem coretax administration system yang diluncurkan oleh DJP.

Coretax diharapkan menyederhanakan prosedur perpajakan, termasuk pelaporan PPN dan PPh serta penggunaan faktur pajak dalam jasa pelayaran. Integrasi dengan sistem logistik nasional dan e-katalog pemerintah juga dinilai penting agar tidak terjadi duplikasi atau salah klasifikasi.

Di tengah urgensi optimalisasi penerimaan negara, sektor pelayaran domestik menyimpan potensi besar yang belum tergali sepenuhnya. Potensi tersebut tidak hanya berasal dari PPN jasa pelayaran, tetapi juga sektor pendukung seperti galangan kapal, logistik laut, bunker service, dan jasa pelabuhan.

Untuk menggali potensi ini tanpa mengganggu iklim investasi, pemerintah dapat mempertimbangkan sejumlah langkah strategis. Pertama, mempercepat digitalisasi dan integrasi SKTD dalam coretax sehingga pembebasan PPN dapat berjalan otomatis sekaligus mengurangi sengketa administrasi.

Kedua, menjamin harmonisasi antara sistem PPBJ dengan ketentuan perpajakan sehingga penyedia jasa pelayaran memperoleh kepastian.

Ketiga, meningkatkan edukasi serta panduan teknis terkait dengan penggunaan PPh Pasal 15 final dan PPh Pasal 23, khususnya bagi pelaku usaha penyewa dan penyedia kapal.

Keempat, mendorong pilot project fiskal pelayaran di wilayah strategis seperti Batam untuk menguji efektivitas kebijakan integratif.

Dengan langkah-langkah tersebut, penulis meyakini sektor pelayaran nasional dapat terus berkembang sebagai motor penggerak logistik dan ekonomi, sekaligus tetap berkontribusi pada penerimaan negara secara adil, pasti, dan efisien.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.