KINERJA penerimaan perpajakan yang resilien dan mampu tumbuh konsisten merupakan aspek penting untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan.
Dalam APBN 2025, penerimaan perpajakan memainkan peran penting karena berkontribusi 68,79% dari total pendapatan negara, atau senilai Rp2.490,91 triliun. Angka itu harus 'menopang' belanja negara yang tembus Rp3.621 pada 2025.
Selain penerimaan, investasi juga memainkan peran krusial dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Investasi yang terealisasi mampu memberikan multiplier effect, mulai dari pertumbuhan kinerja perusahaan hingga peningkatan lapangan kerja baru yang dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga.
Berkaitan dengan penerimaan pajak dan investasi tersebut, sektor pertambangan, salah satunya pertambangan mineral dan batu bara, perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Alasannya, masih terdapat beberapa peraturan yang perlu dijelaskan lebih lanjut agar tidak menimbulkan sengketa atau celah penghindaran pajak dan juga memberikan kepastian hukum yang diharapkan mampu menarik minat investor.
Saat ini, masih terdapat pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang sifatnya grey area, berpotensi memunculkan sengketa. Pasal 169A UU 2/2025 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) misalnya, menyatakan bahwa Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dapat memperoleh perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
Selanjutnya, dalam ayat (1) dalam Pasal yang sama menyebutkan bahwa salah satu bentuk upaya peningkatan penerimaan negara adalah dengan pengaturan kembali pengenaan penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Lantas muncul pertanyaan, memangnya berapa banyak PNBP yang bisa dikeruk ketika perusahaan mengajukan perpanjangan izin?
Perlu dipahami bahwa besarnya PNBP yang disetor oleh sebuah perusahaan batu bara sangat bergantung pada faktor eksternal. Apa saja? Misalnya, naik turunnya harga batu bara acuan (HBA), harga patokan batu bara (HPB), dan harga patokan mineral yang dipengaruhi indeks global.
Risiko eksternal yang pada akhirnya bisa memengaruhi keputusan perpanjangan izin usaha itulah yang membuat investor berpikir ulang. Karenanya, potensi penambahan PNBP bakal bergantung pada seberapa baik pemerintah menjaga iklim investasi melalui kepastian regulasi.
Harga batu bara sendiri merupakan acuan dalam pengenaan PPh badan dan PPN. Yang menjadi tantangan, batu bara merupakan barang kena pajak (BKP) yang memiliki sifat berbeda dengan BKP lain.
Batu bara termasuk mineral yang dapat mengalami calorific value degradation atau heating value loss dalam proses pengiriman dan penyimpanannya. Karenanya, harga batu bara yang didasarkan pada tingkat kalori bisa dapat berubah.
Di sisi lain, Pasal 13 ayat (1a) UU PPN mengatur bahwa pembuatan faktur pajak dilakukan pada waktu mana yang lebih dulu terjadi antara saat penyerahan, penerimaan pembayaran, penerimaan pembayaran termin, atau saat lain yang ditentukan PMK. Namun, belum ada PMK yang mengatur secara khusus terkait dengan kapan waktu yang ditetapkan sebagai dasar penggunaan HBA, baik untuk penghitungan PPN dan peredaran bruto PPh badan.
Dengan adanya risiko berkurangnya nilai kalori, batu bara yang diserahkan terlebih sebelum pembayaran, harganya akan lebih rendah. Ingat, penggunaan HBA akan mengacu pada kalori batu bara setelah diserahkan kepada pembeli.
Berdasarkan kondisi tersebut, perlu ada perlakuan khusus terkait dengan cutt off penggunaan HBA untuk perhitungan perpajakan agar penerimaan pajak dapat lebih optimal.
Tantangan pemajakan lain di sektor batu bara, berkaitan dengan dimungkinkannya perusahaan batu bara menggunakan merk dagang dari perusahaan lain. Ketentuan tersebut menimbulkan adanya royalti atas perusahaan yang memiliki kepemilikan saham diatas 25%.
Berdasarkan pasal 18 ayat (4) UU PPh, perusahaan yang memiliki penyertaan modal diatas 25% diindikasikan sebagai perusahaan yang memiliki hubungan istimewa. Karenanya, pembayaran yang dilakukan akan dianggap sebagai dividen terselubung.
Penulis berpandangan pengenaan royalti atas penggunaan merk dagang sudah tepat. Hanya saja, terdapat perbedaan potensi pajak atas dividen dan royalti, khususnya pada aspek royalti yang juga merupakan objek PPN.
Pemerintah perlu mencari jalan tengah atas belum tersedianya pasal yang memberikan kepastian lebih lanjut terkait dengan aspek royalti sebagai objek PPN. Hal tersebut diharapkan bisa menekan risiko sengketa perpajakan. (sap)