TELINGA merupakan organ tubuh yang tak pernah bisa memilih. Ia terus terbuka, digedor tanpa henti, menyerap semua yang datang: dari deru lalu lintas, mesin pabrik, sampai dengan dentuman sound horeg.
Tak seperti polusi air yang langsung membuat perut sakit atau polusi udara yang menyesakkan paru-paru, polusi suara menyerang secara perlahan, mengacaukan pola tidur, dan meningkatkan stres. Semua ditanggung korban, bukan pelaku.
Ironisnya, hak sonik—hak setiap orang atas lingkungan suara yang sehat dan bebas gangguan—kerap luput dari perhatian publik. Jika hak atas udara dan air bersih dapat didukung dengan instrumen pajak, mengapa hal ini tidak diaplikasikan juga pada polusi suara? Bukankah keduanya sama-sama memiliki eksternalitas negatif?
Data World Health Organization (WHO) mengungkapkan masalah pendengaran merupakan penyebab disabilitas tertinggi ketiga di dunia. Diperkirakan sebanyak 1,5 miliar penduduk dunia mengalami disabilitas tersembunyi ini.
Selain itu, Dirjen Penanggulangan Penyakit Kementerian Kesehatan Indonesia menyatakan sekitar 430 juta orang secara global membutuhkan rehabilitasi pendengaran dan angka tersebut diproyeksikan bertambah hingga 700 juta orang pada 2050.
Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 menunjukkan sebanyak 4,03 juta orang memiliki sedikit kesulitan pendengaran, 668.700 orang menderita banyak kesulitan, dan 255.100 orang sama sekali tidak bisa mendengar.
Bahkan, berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia 2023, 4 dari 100 penderita gangguan pendengaran di Indonesia perlu menggunakan alat bantu dengar. Data ini juga menegaskan telinga kita sedang menanggung beban dunia yang terlalu berisik, dan tanpa langkah nyata maka jumlah penderita akan terus meningkat.
Gangguan pendengaran tidak hanya terjadi karena penuaan. Menurut National Institute on Deafness and Other Communication Disorders (NIDCD) AS, telinga bisa rusak hanya karena satu kali terpapar suara sangat keras atau karena terbiasa mendengar kebisingan dalam jangka panjang.
Sebagai perbandingan: suara percakapan sehari-hari hanya 60–70 desibel (dB), suara sepeda motor bisa menembus 80–110 dB, riuh konser musik sekitar 94–110 dB, dan suara mesin jet mencapai 120 dB.
Kini bayangkan, getaran sound horeg di jalanan bisa mencapai 120 dB, sama kerasnya dengan suara mesin jet yang lepas landas. Padahal, WHO menegaskan bahwa batas aman paparan harian hanyalah 70 dB.
Regulasi yang mengatur kebisingan sebenarnya telah dijalankan di berbagai negara dengan pendekatan berbeda. Misal, Inggris melalui Environmental Protection Act 1990, India melalui Noise Pollution Rules 2000, serta China dan Vietnam dengan regulasi nasional yang menekankan denda administratif bagi pelanggar ambang desibel.
Sementara itu, Jerman dengan Federal Immission Control Act (BImSchG) dan Uni Eropa melalui Environmental Noise Directive mendorong penerapan noise charges, sebagaimana terlihat pada airport noise charges di Prancis, Belanda, Swedia, dan Swiss.
Perbedaan utamanya ialah denda bersifat reaktif sebagai hukuman, sedangkan charges atau pajak kebisingan bersifat preventif-korektif karena memaksa pelaku menanggung eksternalitas.
Hasil pungutannya kemudian dipakai untuk memperkuat mitigasi dampak kebisingan, seperti pemasangan peredam suara, noise mapping, dan isolasi akustik.
Di Indonesia, kebijakan pengaturan kebisingan tertuang dalam Kepmen Lingkungan Hidup KEP-48/MENLH/11/1996 tentang baku tingkat kebisingan, Permenhub 62/2021 tentang standar kebisingan pesawat udara, serta PP 36/2005 sebagai aturan pelaksanaan UU No. 28/2002 yang mengharuskan adanya peredam kebisingan di wilayah pemukiman atau pusat kota.
Namun, penerapan denda kebisingan saat ini lebih bersifat reaktif dan hanya dibebankan ketika batas desibel dilanggar. Belum terdapat instrumen pigovian tax, yakni pajak yang dikenakan karena adanya eksternalitas negatif.
Formulasi dan penerapan pajak kebisingan bisa dimulai dari sektor usaha yang menghasilkan desibel tinggi dan berlokasi dekat pemukiman, seperti perusahaan konstruksi, venue hiburan, bandara, dan industri manufaktur. Perhitungan pajak ini dapat menggunakan rumus dasar:
Pajak (Levy) = Tarif Dasar + [Koefisien × (Desibel Terukur – Desibel Ambang) × Jam Operasi]
Contoh, sebuah venue hiburan yang mengeluarkan suara 80 dB selama 60 jam/bulan—di atas ambang batas 55 dB menurut Kepmen LH 1996—akan dikenakan pajak. Dengan selisih 25 dB di atas ambang batas, total "beban" kebisingan adalah 1.500 dB/jam.
Jika pemerintah menetapkan tarif dasar Rp1 juta dengan koefisien pungutan Rp50 ribu per dB/jam maka besaran pajaknya mencapai Rp76 juta.
Penerapan pajak kebisingan dapat menjadi potensi pendapatan daerah. Simulasi dalam studi Ilmi dan Azizah (2024) menyebutkan potensi penerimaan pajak kebisingan dari aktivitas Bandara Soekarno-Hatta dapat mencapai Rp546 miliar per tahun.
Mekanismenya pun dapat sejalan dengan regulasi yang sudah ada. Integrasi dengan sistem perizinan Online Single Submission (OSS) dan sistem retribusi daerah dapat menghasilkan perhitungan tagihan otomatis.
Dana retribusi dan pajak yang terkumpul dapat digunakan untuk memitigasi dampak kebisingan serta memperbanyak program daerah terkait dengan kesehatan pendengaran.
Tentu, pemda perlu berinvestasi terlebih dahulu untuk melakukan noise mapping dan memiliki perangkat pengukur tingkat kebisingan seperti A System for the Monitoring, Analysis and Mitigation of Urban Noise Pollution (SONYC) yang telah diterapkan di Kota New York, AS.
Pengaturan regulasi pun dapat disesuaikan dengan kondisi industri, misalnya pengaturan kebisingan berdasarkan waktu, lokasi, atau kepadatan populasi. Sosialisasi dan koordinasi antarpemangku kepentingan penting dilakukan sehingga penerapan regulasi pajak berjalan efektif.
Pada akhirnya, pajak kebisingan bukan hanya instrumen fiskal, melainkan sikap tegas bahwa negara hadir untuk membela hak sonik warganya. Tidak seharusnya perkara kebisingan berujung pada pidana atau tindak kekerasan sebagaimana kerap kita temukan di Direktori Mahkamah Agung.
Tidak selayaknya juga masyarakat harus direpotkan dengan laporan pelanggaran dan proses hukum hanya demi memiliki kualitas hidup yang baik. Pajak kebisingan hadir sebagai pengingat: kebisingan tidaklah gratis, selalu ada biaya yang ditanggung.
Jadi, apakah kita akan terus membiarkan masyarakat yang membayar dengan kesehatan dan kualitas hidupnya, atau saatnya menagih pajak kepada para pencipta kebisingan sehingga hak sonik benar-benar bergema?
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.