SEJALAN dengan ambisi pemerintah untuk menjadikan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia setara dengan negara maju pada 2045, penyelarasan antara strategi pengumpulan penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif serta berkelanjutan tentu diperlukan.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengamankan penerimaan pajak ialah dengan menggencarkan penegakan hukum. Namun, jika tak diatur proporsional, penegakan hukum yang terlalu agresif justru dapat menghambat aktivitas bisnis dan memperlambat investasi (Xu & Zwick, 2024).
Salah satu isu krusial yang harus mendapat perhatian serius otoritas pajak ialah tingginya sengketa transfer pricing seiring dengan meningkatnya aktivitas bisnis lintas negara (DDTC, 2024). Tren ini muncul lantaran pemeriksaan transfer pricing menjadi salah satu fokus strategis otoritas.
Dalam perspektif global, transfer pricing merupakan isu yang paling kompleks, paling sering disengketakan, dan sangat memengaruhi kepastian investasi perusahaan multinasional, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia (de Mooij & Liu, 2018).
Untuk mengurangi sengketa tersebut, tersedia instrumen pencegahan sengketa transfer pricing. Salah satunya melalui mekanisme Advance Pricing Agreement (APA). Sayang, data APA Statistics yang dirilis OECD menunjukkan DJP hanya menerima 20 pengajuan APA sepanjang 2023.
Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan NTA Jepang sebanyak 200 pengajuan, IRS Amerika Serikat sebanyak 153 pengajuan, HMRC Inggris sebanyak 139 pengajuan, dan CBDT India sebanyak 77 pengajuan.
Meski begitu, minimnya pengajuan APA di Indonesia bisa dipicu berbagai faktor, antara lain isu keamanan data, banyaknya dokumen yang harus disiapkan, serta lamanya waktu penyelesaian (Bahtiar & Azmi, 2023).
Karena itu, muncul pertanyaan: adakah strategi lain yang dapat ditempuh DJP untuk mengurangi sengketa transfer pricing, sekaligus memberikan kepastian hukum, meningkatkan kepatuhan, dan mendukung investasi?
International Compliance Assurance Program (ICAP) bisa menjadi opsi yang layak dipertimbangkan. Program OECD ini membuka kesempatan bagi perusahaan multinasional untuk sukarela, transparan, dan terbuka membahas aktivitas usahanya secara multilateral.
Diskusi tersebut dilakukan antara perusahaan multinasional (multinational enterprise/MNE) di suatu yurisdiksi dengan otoritas pajak di yurisdiksi tempat entitas induk beroperasi, melalui rangkaian risk assessment dan assurance.
Tidak seperti APA yang bersifat mengikat dan memberi kepastian hukum, ICAP hanya memastikan bahwa transaksi afiliasi dan posisi grup MNE memiliki risiko pajak rendah. Atas evaluasi tersebut, otoritas dapat memberikan assurance kepada MNE bahwa tidak akan ada tindakan penegakan hukum lain atas transaksi afiliasi tertentu dalam periode waktu tertentu.
Skema tersebut tentu memberikan kenyamanan pajak bagi MNE. Sebab, mereka dapat fokus pada kegiatan bisnis tanpa khawatir diawasi terus-menerus oleh otoritas. Dengan demikian, sengketa transaksi afiliasi dapat ditekan.
Saat ini, terdapat 23 yurisdiksi yang berpartisipasi dalam ICAP. Mayoritas merupakan negara anggota OECD seperti Australia, Jepang, Belgia, Denmark, Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Spanyol, dan Kanada. Negara non-OECD seperti Argentina dan Singapura juga ikut serta.
Melihat tingginya sengketa transfer pricing, partisipasi Indonesia dalam ICAP tentu dapat menjadi momentum yang sejalan dengan agenda reformasi pajak sekaligus mendukung aksesi Indonesia menuju keanggotaan OECD.
Data realisasi investasi triwulan I/2025 menunjukkan Singapura menempati posisi tertinggi sebagai negara dengan nilai realisasi investasi terbesar di Indonesia. Selain itu, negara lain yang juga aktif dalam ICAP—seperti Amerika Serikat, Jepang, Belanda, dan Kanada—masuk dalam 10 besar negara dengan investasi tertinggi.
Kondisi ini memperlihatkan potensi transaksi afiliasi yang besar dengan perusahaan dari negara-negara tersebut. Dengan demikian, partisipasi Indonesia dalam ICAP dapat menjadi pemicu awal keterlibatan aktif otoritas dalam diskusi multilateral.
Bagi perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia dan memiliki induk di Singapura atau Jepang, ICAP memungkinkan diskusi yang lebih singkat dan efisien dengan otoritas pajak terkait dengan level risiko transaksi afiliasi.
Proses ini lebih sederhana ketimbang pengajuan APA atau menghadapi pemeriksaan transfer pricing. Selain itu, ruang lingkup transaksi yang dibahas dalam ICAP memberi assurance tidak hanya bagi DJP, tetapi juga bagi otoritas negara lain dan perusahaan yang terlibat.
Kepercayaan antara otoritas pajak dan wajib pajak pun berpotensi meningkat sehingga kepatuhan kooperatif lebih mudah tercapai (Martini, 2022).
Implementasi ICAP diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dengan berkurangnya jumlah sengketa dan biaya transaksi afiliasi, alokasi sumber daya baik bagi otoritas maupun wajib pajak dapat lebih efisien.
Otoritas bisa fokus pada transaksi berisiko tinggi, sementara perusahaan dapat berinovasi tanpa khawatir menghadapi ketidakpastian penegakan hukum. Pada akhirnya, langkah ini juga mendorong penegakan hukum yang lebih efektif.
Dalam perspektif global, ICAP dapat membantu otoritas dan pelaku usaha lebih siap menghadapi Pilar 2 BEPS. Melalui diskusi dan identifikasi potensi risiko atas transaksi lintas negara, ICAP dapat menjadi dasar penghitungan pajak minimum global.
Dengan komunikasi aktif antara MNE dan otoritas di berbagai yurisdiksi, potensi sengketa dapat lebih cepat diselesaikan. Pada akhirnya, partisipasi dalam ICAP berpotensi meningkatkan transparansi, efektivitas, serta objektivitas manajemen risiko transaksi afiliasi, baik bagi wajib pajak maupun otoritas, dalam menghadapi dinamika pajak global yang makin kompleks.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.