UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI

Soal Arah Kebijakan PPh dalam UU Cipta Kerja, Ini Kata Pakar

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 13 Maret 2021 | 12.30 WIB
Soal Arah Kebijakan PPh dalam UU Cipta Kerja, Ini Kata Pakar

Managing Partner DDTC sekaligus Ketua Umum Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi) Darussalam memberikan kuliah umum. (tangkapan layar Zoom)

MEDAN, DDTCNews – Pascaterbitnya UU Cipta Kerja, kebijakan pajak penghasilan (PPh) diproyeksi mampu mendorong penciptaan iklim usaha yang kondustif serta memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak.

Managing Partner DDTC sekaligus Ketua Umum Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi) Darussalam mengatakan secara umum, kebijakan PPh yang termuat dalam UU 2/2020 dan UU 11/2020 menjadi respons pemerintah atas kondisi saat ini.

“Sekaligus melihat dinamika perpajakan yang terjadi di dunia. Arahnya positif, salah satunya untuk menciptakan kemudahan berusaha sehingga iklim usaha atau investasi makin baik,” ujarnya dalam kuliah umum bertajuk Arah Kebijakan PPh dalam UU Cipta Kerja, Sabtu (13/3/2021).

Dalam kuliah umum yang diselenggarakan Program Studi D3 Perpajakan Fakultas Sosial Sains Universitas Pembangunan Panca Budi ini, Darussalam menjabarkan beberapa aspek pengaturan kebijakan PPh yang dimuat dalam UU 2/2020 dan UU 11/2020.

Dalam UU 2/2020, setidaknya ada 2 aspek penting yang dimuat. Pertama, penurunan tarif PPh badan agar Indonesia lebih kompetitif. Kedua, pengenaan pajak digital untuk merespons perkembangan digitalisasi yang makin masif dan berdampak pada skema usaha dan aspek pajaknya.

Sementara dalam UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, setidaknya ada 6 aspek yang terkait dengan kebijakan PPh. Pertama, persyaratan subjek pajak orang pribadi. Ketentuan ini memberikan kepastian hukum mengenai orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri (SPDN).

Selain itu, pengaturan mengenai subjek pajak orang pribadi juga memberi kepastian hukum mengenai orang pribadi yang merupakan subjek pajak luar negeri (SPLN), termasuk warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi SPLN.

Kemudian, ada pula kepastian hukum terkait dengan persyaratan WNI yang berada di luar Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan untuk menjadi SPLN. Lalu, ada kepastian hukum mengenai perlakuan PPh bagi WNI SPLN.

Kedua, rezim pajak bagi warga negara asing (WNA) berkeahlian khusus. WNA yang telah menjadi SPDN dikenai PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dengan ketentuan memiliki keahlian tertentu. Ketentuan ini berlaku selama 4 tahun pajak yang dihitung sejak menjadi SPDN.

Ketentuan ini selaras dengan tren perebutan sumber daya manusia (SDM) unggul. Dalam kesempatan tersebut, Darussalam juga memberi contoh rezim pesepakbola di Spanyol (Beckham Law). Simak pula artikel ‘Selamat Datang Rezim Pajak Tenaga Kerja Asing Bertalenta’.

Ketiga, pengecualian dividen dalam negeri serta dividen dan penghasilan luar negeri dari objek PPh. Untuk dividen dalam negeri yang diterima wajib pajak orang pribadi dalam negeri dikecualikan dari objek PPh sepanjang diinvestasikan di wilayah NKRI dalam jangka waktu tertentu. Sementara untuk dividen dalam negeri yang diterima wajib pajak badan dalam negeri langsung tidak dikenai PPh. Simak artikel ‘Selamat Tinggal Pajak Berganda’.

Adapun dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari bentuk usaha tetap (BUT) di luar negeri tidak dikenakan PPh di Indonesia sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah NKRI dalam jangka waktu tertentu.

Selain itu, penghasilan dari luar negeri tidak melalui BUT tidak dikenakan PPh di Indonesia jika diinvestasikan di wilayah NKRI dalam jangka waktu tertentu dan memenuhi beberapa persyaratan. Simak pula artikel ‘Selamat Tinggal Pajak Berganda’.

Keempat, pengecualian SHU Koperasi dan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dari objek PPh. Kelima, pengecualian sisa lebih lembaga sosial dan keagamaan. Simak artikel ‘Memaknai Perlakuan PPh Lembaga Sosial Keagamaan dalam UU Cipta Kerja’.

Keenam, penyesuaian tarif PPh Pasal 26 bunga obligasi. Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang dapat diturunkan dengan peraturan pemerintah. Simak ‘PP Baru! Pemerintah Resmi Pangkas Tarif PPh Bunga Obligasi’.

Dalam acara ini, Dekan Fakultas Sosial Sains Universitas Pembangunan Panca Budi Bambang Widjanarko dan Kaprodi D3 Perpajakan Junawan hadir memberikan kata sambutan. Dosen D3 Perpajakan Teuku Radhifan Syauqi hadir sebagai moderator.

Sebanyak 13 peserta kuliah umum yang memberikan pertanyaan, jawaban, dan komentar dalam acara ini juga mendapatkan buku terbitan DDTC yang berjudul Konsep dan Aplikasi Pajak Penghasilan. Buku ini ditulis Darussalam bersama Senior Partner DDTC Danny Septriadi dan Expert Consultant DDTC Khisi Armaya Dhora. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.