Profesor Hukum Tax Policy Center University of Lausanne Vikram Chand dalam seminar bertajuk The Role of Tax Treaties on Global Business: Reforming Global Tax Rules to Combat Digital-Era Tax Avoidance yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Akuntansi Perpajakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran (Unpad), Sabtu (16/11/2024).
BANDUNG, DDTCNews - Yurisdiksi-yurisdiksi diperkirakan enggan mengadopsi undertaxed profits rule (UTPR) meski sudah mengadopsi qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT) dan income inclusion rule (IIR).
Profesor Hukum Tax Policy Center University of Lausanne Vikram Chand mengatakan keengganan negara-negara untuk mengadopsi UTPR dilatarbelakangi oleh penolakan Amerika Serikat (AS) atas klausul pada Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) tersebut.
"Contoh, Swiss dan beberapa negara memutuskan untuk tidak mengadopsi UTPR. Mereka tidak menerapkan UTPR agar terhindar dari sengketa perdagangan dengan AS," ujar Chand dalam seminar bertajuk The Role of Tax Treaties on Global Business: Reforming Global Tax Rules to Combat Digital-Era Tax Avoidance yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Akuntansi Perpajakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran (Unpad), Sabtu (16/11/2024).
Chand menerangkan AS, utamanya para politisi dari Partai Republik, sudah lama menyuarakan penolakan atas UTPR. Dengan terpilihnya Donald Trump selaku calon presiden AS dari Partai Republik, AS diperkirakan akan makin aktif menolak implementasi UTPR oleh yurisdiksi-yurisdiksi lain.
"Partai Republik sudah lama menolak implementasi UTPR, jauh sebelum Trump dicalonkan sebagai presiden AS. Partai Republik telah meminta negara-negara Inclusive Framework untuk tidak menerapkan UTPR. Dengan terpilihnya Trump, akan ada banyak tensi antara AS dan negara yang mengadopsi UTPR," ujar Chand.
Perlu diketahui, UTPR sesungguhnya adalah aturan yang mendapatkan prioritas terakhir dalam implementasi Pilar 2. UTPR baru berlaku ketika yurisdiksi sumber tidak menerapkan QDMTT dan yurisdiksi ultimate parent entity (UPE) tidak menerapkan IIR atas laba yang kurang dipajaki.
Contoh, R Co selaku UPE yang berlokasi di negara R memiliki anak usaha di beberapa negara, yakni di negara S1, negara S2, dan negara S3. S3 Co selaku anak usaha yang berlokasi di negara S3 ternyata dikenai pajak dengan tarif efektif di bawah 15%.
Dalam kasus ini, negara S3 masih belum mengadopsi QDMTT, sedangkan negara R juga masih belum mengadopsi IIR. Bila hal ini terjadi, UTPR bisa diberlakukan oleh negara S1 dan S2 melalui pembatalan pembebanan biaya (denial of deduction) atau pengenaan pajak yang setara dengan top-up tax berdasarkan IIR.
Top-up tax berdasarkan UTPR dialokasikan ke negara S1 dan negara S2 dengan mempertimbangkan jumlah pegawai dan tangible assets di yurisdiksi-yurisdiksi UTPR tersebut.
"Jadi, top-up tax harus dibayar oleh S1 Co di negara S1 dan oleh S2 Co di negara S2. Otoritas pajak negara S1 akan menagihkan top-up tax ke S1 Co, otoritas pajak negara S2 juga akan menagihkan top-up tax ke S2 Co," ujar Chand.
Seperti informasi, pajak minimum global dengan tarif efektif minimal sebesar 15% diberlakukan berdasarkan Pilar 2 terhadap grup perusahaan multinasional dengan pendapatan minimal €750 juta per tahun.
Dengan hadirnya Pilar 2, yurisdiksi sumber berhak mengenakan top-up tax atas laba entitas perusahaan multinasional di yurisdiksi bersangkutan yang dipajaki di bawah tarif efektif 15%. Top-up tax oleh yurisdiksi sumber dikenakan bila yurisdiksi dimaksud sudah mengadopsi QDMTT.
Bila yurisdiksi sumber tidak memberlakukan QDMTT, yurisdiksi UPE berhak mengenakan top-up tax atas laba yang kurang dipajaki oleh yurisdiksi sumber melalui mekanisme IIR.