Suasana seminar akuntansi dengan tema ‘Reformasi Perpajakan di Era Digital’. (Foto: upnvj.ac.id)
JAKARTA, DDTCNews – Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPN VJ) mengadakan Seminar Akuntansi Nasional dengan tema ‘Reformasi Perpajakan di Era Digital’ pada Kamis (1/11) bertempat di Auditorium Bhinneka Tunggal Ika, Gedung Rektorat UNN VJ, Jakarta.
Dalam seminar tersebut, Rektor UPN VJ Erna Hernawati menyampaikan topik tersebut sengaja dipilih untuk menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup khususnya di bidang perpajakan untuk bersaing di era digital.
Salah satu narasumber yang diundang, Direktur Perpajakan Internasional dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) John L. Hutagaol, menyampaikan beratnya tantangan yang dihadapi otoritas pajak di seluruh dunia temasuk Indonesia dalam memajaki penghasilan dari ekonomi digital.
Dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi saat ini, pelaku bisnis berbasis digital dari luar Indonesia dapat menjalankan usahanya di Indonesia tanpa mendirikan badan usaha di Indonesia, tanpa memiliki kantor di Indonesia, bahkan tanpa menempatkan karyawan di Indonesia.
“Tanpa adanya kehadiran fisik (physical presence), akan sulit bagi DJP untuk memajaki penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh pelaku bisnis digital tersebut dari menjalankan usahanya di Indonesia,” ujarnya dikutip dari keterangan tertulis yang diterima DDTCNews, Selasa (6/11).
John menambahkan tantangan lain yang dihadapi oleh otoritas pajak adalah bagaimana membagi hak pemajakan secara adil (fairness) atas penghasilan perusahaan digital raksasa seperti Alibaba, Facebook, Amazon dan Google yang menjalankan operasi bisnisnya di berbagai negara (cross jurisdictions).
“Transaksi bisnis yang cross-border tersebut membuat batasan hak pemajakan antar negara-negara yang terlibat menjadi tidak jelas,” imbuhnya.
Meskipun dihadapkan pada tantangan yang berat, DJP sebagai otoritas pajak negeri ini terus mereformasi dirinya untuk menyikapi tantangan ekonomi digital tersebut di atas. Salah satunya adalah melakukan pembenahan administrasi pelayanan yang berbasis teknologi seperti e-SPT, e-NPWP dan e-faktur pajak.
“Ke depannya, semua pelayanan pajak akan dapat diselesaikan dengan menggunakan teknologi informasi sehingga wajib pajak tidak perlu lagi mendatangi kantor pajak. Reformasi perpajakan yang saat ini tengah berlangsung diharapkan akan membawa DJP menjadi institusi yang berbasis teknologi informasi seutuhnya,” papar John.
Terkait isu pembagian hak pemajakan (division of taxing rights) di era ekonomi digital, John menyampaikan Indonesia terlibat aktif dalam merumuskan standar pemajakan global atas kegiatan ekonomi digital pada Task Force on Digital Economy (TFDE) bentukan the Inclusive Framework on BEPS yang saat ini memiliki anggota sebanyak 117 Yurisdiksi.
Salah satu tugas TFDE adalah merumuskan metode atau cara membagi hak pemajakan secara adil atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh pelaku usaha berbasis digital yang beroperasi di berbagai negara. Saat ini TFDE secara intensif tengah menyiapkan rumusan terkait pembagian hak pemajakan tersebut. TFDE diharapkan akan menerbitkan laporan akhir (final report) pada 2020.
Selain itu, Indonesia juga menilai transparansi sebagai salah satu kunci dalam mengurangi laju penghindaran pajak diera ekonomi digital. Untuk itu, Indonesia telah bergabung bersama dengan 101 yurisdiksi lainnya untuk saling melakukan pertukaran informasi rekening keuangan atau Automatic Exchange of Information (AEoI).
Informasi yang dipertukarkan tersebut meliputi informasi mengenai pemilik rekening, rekening keuangan, lembaga keuangan, saldo akhir rekening keuangan dan penghasilan rekening keuangan. Dengan terbukanya informasi tersebut, peluang untuk menghindari pajak menjadi semakin kecil.
“Pada prinsipnya pemajakan atas usaha online maupun offline adalah sama atau tidak ada diskriminasi, karena sifat dari penghasilannya juga sama, yaitu sama-sama dari penghasilan usaha. Adapun yang berbeda hanya cara atau media berbisnis saja,” pungkasnya di akhir pemaparan. (Amu)