DEBAT PAJAK DIGITAL

Pilih Perpu atau Omnibus Law, Tulis Komentar dan Raih Handphonenya

Redaksi DDTCNews
Jumat, 15 November 2019 | 19.02 WIB
Pilih Perpu atau Omnibus Law, Tulis Komentar dan Raih Handphonenya

JAKARTA, DDTCNews—Mulai 1 Januari 2020, dua negara di Asia Tenggara, yakni Singapura dan Malaysia, akan memungut pajak layanan digital atau pajak digital. Singapura akan memungut pajak digital dengan tarif 7%, sedangkan Malaysia memungut dengan tarif 6%.

Singapura merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang menerapkan pajak digital. Mereka merampungkan revisi undang-undang pajak barang dan jasa (goods and services tax/GST) pada 19 November 2018. Adapun Malaysia menyelesaikan revisi UU Pajak Jasa pada 9 Juli 2019.

Negara ketiga di Asia Tenggara yang akan menerapkan pajak digital adalah Vietnam. Negara ini sudah mengesahkan revisi UU Hukum Administrasi Pajak pada 13 Juni 2019. Vietnam akan memungut pajak digital itu mulai 1 Juli 2020, bersamaan dengan berlakunya UU tersebut. Tarifnya 10%.

Negara Asia Tenggara berikutnya yang berpotensi menerapkan pajak digital mulai 1 Januari 2020 adalah Thailand. Dasar hukumnya saat ini sedang dibahas di parlemen. Jika berhasil disahkan sebelum 31 Desember 2019, Thailand akan memungut pajak digital mulai 1 Januari 2020. Tarifnya 5%.

Di luar itu, ada Jepang (8% per 1 Oktober 2015), Korea Selatan (10% per 1 Juli 2015), Taiwan (5% per 1 Mei 2017), India (6% per 1 Juni 2016), Norwegia (25% per 1 Juli 2011), Rusia (20% per 1 Januari 2019), Selandia Baru (15% per 1 Oktober 2016), dan Prancis (3% per 1 Januari 2019).

Lalu Inggris (2% per 1 April 2020), Hongaria (7,5% per 1 Juni 2017), Ceko (7% per 1 Januari 2020), dan Turki yang dalam proses amendemen (7,5% per 1 Januari 2020). Total jenderal, lebih dari 35 negara di dunia menerapkan aksi unilateral untuk memungut pajak digital. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Hingga kini, Indonesia tak kunjung memulai revisi UU Pajaknya, baik UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan, maupun UU Pajak Pertambahan Nilai. UU KUP sudah dikirim ke DPR pada 2016, tetapi setelah pergantian menteri, pemerintah tidak membahasnya.

Pada September 2019, muncul UU lain yang disiapkan, yaitu omnibus law RUU Kebijakan Perpajakan untuk Memperkuat Perekonomian. Dalam RUU inilah terdapat istilah pajak transaksi digital, dan juga perubahan definisi bentuk usaha tetap (BUT) atau permanent establishment (PE).

Namun, draf RUU tersebut tidak menetapkan tarif pajak digital, dasar pengenaan pajak, sekaligus kriteria subjek pajak luar negerinya. Hal itu akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah, sedangkan tata cara pendaftaran, penyetoran, dan pendaftarannya akan ditetapkan peraturan menteri.

Dengan tiga tingkat peraturan tersebut, sekaligus mengingat draf RUU itu belum dimasukkan ke DPR, paling cepat Indonesia bisa memungut pajak digital pada 1 Januari 2021. RUU itu sendiri ditargetkan rampung pada 2021, dan dengan demikian pajak digital Indonesia berlaku mulai 1 Januari 2022.

Saat itu, sesuai dengan jadwal, konsensus global pajak digital yang dihelat Organisation for Economic Co-operation and Development sudah tercapai. Namun, dari beberapa tahun silam sampai 2022 itu pula, Indonesia bisa dianggap memberi subsidi pajak ke Netflix, Spotify, Google, Youtube, Amazon, Facebook, dan lainnya.

Pemberian subsidi itu merupakan diskriminasi pajak akibat peraturan yang tidak diubah. Karena itu, muncul gagasan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) KUP, agar pajak digital bisa segera diberlakukan, sehingga negara tidak terlalu lama menyubsidi raksasa digital itu.

Tentu, penerbitan perpu tersebut juga ada risikonya. Pertama, tidak mudah merumuskan argumentasi sekaligus legitimasi yang kuat dan bisa diterima publik untuk memenuhi syarat ‘dalam hal-ikhwal kegentingan yang memaksa’ seperti diatur Pasal 22 UUD 1945.

Memang, perpu adalah hak Presiden. Namun, ini jelas berbeda dengan Perpu No.1 Tahun 2017, yang syarat kegentingan memaksanya bersumber dari paksaan internasional agar sebelum 30 Juni 2017 RI membuat UU akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, kalau tidak dinyatakan gagal.

Kedua, perpu ditolak DPR. Jika DPR menolak mengundangkan perpu pada masa sidang berikutnya, atau dalam 6 bulan, pemerintah harus mengembalikan pembayaran pajak yang sudah masuk ke kas negara kepada wajib pajak. Hal ini tentu akan menggerus kredibilitas kebijakan fiskal.

Lantas, di tengah tekanan penerimaan pajak akibat perlambatan ekonomi saat ini, apa yang bisa disimpulkan? Bikin Perpu agar pajak digital bisa cepat dipungut per 1 Januari 2020, atau menunggu sampai konsensus global dan UU Omnibus Law terbentuk 2021? Atau Anda punya pandangan lain?

Tulis komentar Anda di bawah ini, siapa tahu Anda yang terpilih meraih hadiah handphone Samsung!

 

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Beri Suara dan tuliskan komentar Anda:
26%
74%
19 suara
user-comment-debate-photo-profile

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

0/1000
list-comment-debate-photo-profile

WIRO HADINO

baru saja
Memilih: Omnibus Law
Omnibus law dipersingat waktunya itu lebih baik
list-comment-debate-photo-profile

ratih salsabila

baru saja
Memilih: Omnibus Law
Instrumen peraturan yang digunakan dalam pemajakan digital haruslah komprehensif. Penerbitan Perpu dapat menjadi langkah salah karena ketidaksiapan poin-poin dalam aturan sehingga tidak dapat mencakup secara menyeluruh kegiatan ekonomi digital. Penerbitan Omnibus Law yang menyasar isu besar dirasa mampu mencakup seluruh aturan yang terkait dengan kegiatan ekonomi digital yang semakin kompleks. Namun begitu, pemilihan Omnibus Law harus dibarengi dengan konsekuensi bagi pemerintah, seperti (1) Perancangan Omnibus Law tersebut harus dilakukan secara menyeluruh. Artinya mencakup semua peraturan yang saling terkait dan dibutuhkan (2) Dibutuhkan komitmen pemerintah baik dari eksekutif maupun legislatif untuk menyusun omnibus law tersebut agar selesai tepat waktu di tahun 2021 (3) Harus diperhatikan kembali Asas Kepastian Hukum dan Asas Keadilan dalam pemugutan pajak sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

David

baru saja
Memilih: Omnibus Law
Sy berpendapat 2 opsi ini baik & dpt direalisasikan. Omnimbus Law (OL) dpt dipergunakan untuk kepentingan jangka panjang & Perppu untuk jangka pendek hingga terbitnya OL. Ikhwal kegentingan yg memaksa sbg syarat terbitnya Perppu menurut sy telah terpenuhi dg pertimbangan: 1) Untuk mengurangi/menghapus shortfall yg 10th tak pernah tuntas, mengurangi beban utang negara, sekaligus merealisasikan program pemerintah dibutuhkan pendanaan yg cukup, terutama dr sumber pajak; 2) Diskriminasi yg telah lama terjadi kepada WP yg menjalankan bisnis dg model digital harus dihapuskan karena tidak sesuai dg sila, peri, & asas keadilan yg berlaku di Indonesia krn dpt menimbulkan kecemburuan sosial; 3) Peta politik parlemen yg didominasi oleh partai pendukung pemerintah menurut sy dpt memudahkan diterimanya Perppu ini & tidak akan menjadi bumerang bg pemerintah yg menetapkan. Sedangkan OL jg diperlukan untuk dpt merevisi beberapa UU secara sekaligus yg sebelumnya tertunda untuk dilakukan #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

harry gunawan

baru saja
Memilih: Omnibus Law
Pemerintah perlu membuat aturan yang komperhensif mengenai pemajakan digital ini, mengingat objek pajak digital tidak ada bentuk fisiknya, sehingga saya lebih setuju dengan omnibus law ketimbang perpu sebagai instrumennya, mengingat dalam omnibus law telah dipaparkan 8 poin penting yang menjadi highlight perubahan, namun usul pembuatan omnibus law tersebut jika memungkinkan bisa dipercepat koordinasi dengan berbagai kementerian beserta DPR agar bisa diundangkan lebih cepat dari jadwal tahun 2022 tersebut, mengingat potensi perpajakan dunia digital sangat tinggi dengan maraknya penggunaan netflix, spotify, google, youtube dikalangan milenial. apabila pemerintah mengeluarkan perpu akan banyak menerima kritikan dari publik maupun politikus seperti tergesa-gesa, belum matang, serta belum termasuk kategori kegentingan dan ada potensi tidak dapat diundangkan jika tidak disetujui DPR, sehingga terkesan lebih banyak resiko yang diambil dari realisasi pajak yang dapat dihasilkan #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

Muhammad Taufiq Badruzzuhad

baru saja
Memilih: Omnibus Law
Memformulasikan kebijakan fiskal terbaik melalui Omnibus Law sembari menanti tercapainya konsensus global pajak digital, saya kira merupakan langkah paling realistis yang dapat dilakukan otoritas saat ini. Selain risiko timbulnya ketidakpastian hukum akibat ditolaknya Perpu oleh DPR, syarat adanya kondisi "ihwal kegentingan yang memaksa" menurut saya belum bisa dianggap terpenuhi mengingat dalam jangka pendek terdapat cara lain untuk mengejar potensi pajak para raksasa digital ini, yakni menggunakan Pajak Pertambahan Nilai yang sudah ada. Pemerintah tinggal membuat aturan spesifik mengenai mekanisme pengenaan pajak digital tersebut yang prosesnya tentu akan lebih sederhana dibanding membuat Perpu yang dimungkinkan akan menimbulkan kontroversi. Sebagai catatan penting, Asas Kepastian Hukum dan Asas Keadilan pengenaan pajak antara pelaku ekonomi digital dan konvensional harus menjadi "pertimbangan utama" dalam pembahasan aturan spesifik tersebut. #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

Dwiki Agung Pebrianda

baru saja
Memilih: Omnibus Law
Pajak digital ialah tentang konsensus global. Bukankah tantangan terbesar pemajakan digital ialah base erosion? Apapun bentuk law enforcement yang ada, selama basis pajak masih bisa lari ke negara lain, bukankah tindakan kita akan inefektif? Saya bukan pesimis. Tapi jika harus menunggu antara menerbitkan PERPPU sekarang, dengan resiko tolakan legislatif serta peraturan kosong yang sulit implementasinya, saya lebih memilih Omnibus Law di 2022 nanti. Mungkin kita memang memberi subsidi sampai 2022, tapi bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ada sekitar 2 tahun yang dapat digunakan pemerintah untuk memperkuat sistem perpajakannya, mulai dari pengembangan kompetensi instansi beserta sdmnya, perbaikan sistem informasi, sampai pendeketan baik informal maupun formal ke entitas digital serta negara mitra untuk memastikan basis pajak tetap di negeri ini. Dalam periode ini pula pemerintah bisa trial-and-error peraturan teknis terefektif dan terefisien untuk 2022 nanti. #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

Agata Melinda Kristi

baru saja
Memilih: Omnibus Law
Kepastian hukum memang sangat penting dalam proses pemungutan pajak. Namun, menurut saya dalam kasus ini perpu belum sepenuhnya tepat digunakan sebagai alat pemungutan pajak. Memang potensi pajak digital begitu besar mengingat pengguna platform digital di Indonesia begitu banyak. Namun sifat " hal ikhwal kegentingan yang memaksa" belum kuat dikaitkan dengan kasus ini. Untuk itu, pemerintah sebaiknya segera cepat untuk menyelesaikan UU Omnibus Law supaya potensi pajak kita tidak terbuang sia-sia. #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

fanni fauziah

baru saja
Memilih: Perpu
Saat ini transaksi digital telah menggeser keberadaan transaksi konvensional di Indonesia. Sebagian masyarakat kita telah beralih menggunakan transaksi digital karena kemudahan dalam bertransaksi, salah satunya adalah transaksi e-commerce. Menurut riset Google dan Temasek dalam laporannya e-Conomy SEA 2018, di tahun 2018 saja transaksi e-commerce di Indonesia mencapai US$ 12,2 miliar. Berdasarkan data tersebut, apakah klausul kegentingan yang memaksa masih belum pas untuk kondisi ini? Pemerintah sebaiknya segera membuat PERPU terkait pemajakan atas transaksi digital, mengingat kondisi penerimaan negara yang saat ini masih terbilang jauh dari kata memuaskan. Jika kita memilih untuk menunggu disahkannya omnibus law yang kemungkinan paling cepat berlaku pada 2022, tentu upaya pemerintah saat ini dalam merealisasikan strategi pembangunan yang tercantum dalam RPJMN 2020-2024 akan berjalan kurang optimal dikarenakan sumber pendanaan yang terbatas. #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

Ammar Ramadhan

baru saja
Memilih: Omnibus Law
Menurut saya, memang perlu perubahan peraturan untuk mengatasi ketidakadilan pajak saat ini. Lalu, apakah perlu penerbitan perpu? Mari kita pertimbangkan dampak dari risiko penerbitan perpu. Pertama, apabila presiden tidak memiliki alasan yang kuat terkait 'kegentingan yang memaksa' dalam masalah pajak digital ini, maka dikhawatirkan akan menimbulkan masalah hukum yg serius di kemudian hari. Kedua, apabila benar-benar terjadi penolakan DPR, maka berdampak pada tingkat kepercayaan dan kepatuhan wajib pajak yg menurun. Hal tersebut sekaligus membuat penerbitan perpu menjadi tidak efektif, karena di satu sisi meningkatkan penerimaan, tetapi di sisi lain menurunkan kepatuhan wajib pajak. Menurut saya, hal yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah fokus menyusun UU omnibus law yg dapat mengantisipasi gejolak ekonomi saat ini maupun yg akan datang serta memastikan UU tersebut disahkan tepat waktu. #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

Ridwan Pandu S

baru saja
Memilih: Omnibus Law
Policy gap memang menjadi masalah bagi birokrasi kita. Perkembangan pada era revolusi industri 4.0 menimbulkan permasalahan pada regulasi perpajakan yg tidak mampu menjaring bisnis yang terus berkembang. Dalam menghadapi tantangan di era digital perlu kebijakan pajak yang adaptif dan responsif yang berorientasi jangka panjang. UU Omnibus Law yang kini sedang serius di bahas oleh pemerintah diharapkan mampu memenuhi harapan ini. Namun, masalah kepastian dan keadilan pemungutan pajak saat ini juga tidak dapat dikesampingkan. Pemerintah sebagai pihak yang diberikan kewengan dalam UUD 1945 pasal 23A untuk memungut pajak harus bertindak responsif. Merumuskan peraturan kebijakan untuk memberikan kepastian dan keadilan dapat menjadi solusi jangka pendek saat ini. Peraturan seperti PMK 210/PMK10/2018 tentang perpajakan e-commerce yang sudah dicabut serta PMK 35/PMK.03/2019 tentang Penentuan BUT sebeneranya diharapkan dapat menjadi solusi jangka pendek sebelum terbit UU Omnibus Law. #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

Muhammad Yusaka

baru saja
Memilih: Perpu
Asas keadilan merupakan salah satu asas yang dianut dalam pemungutan perpajakan di Indonesia dimana negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. Pelaku ekonomi digital tentunya tidak mendapatkan perlakuan yang berbeda dari pelaku ekonomi konvensional dalam hal perpajakan. Selama ini masih belum adanya perangkat hukum yang jelas memberikan kelonggaran pajak bagi para pelaku ekonomi digital. Ketidakadilan ini, tentunya akan menyebabkan kecemburuan yang akan berimbas pada menurunnya kerelaan wajib pajak untuk membayar pajak khususnya bagi para pelaku ekonomi konvensional. Tentunya hal ini sudah cukup menjadi alasan bagi pemerintah dalam urgensinya untuk menerbitkan perpu KUP untuk mengakomodir pemajakan atas transaksi ekonomi digital. Nantinya, dengan diterbitkannya perpu KUP dapat menggali potensi pajak digital dengan lebih baik sekaligus mengurangi kecemburuan para pelaku ekonomi konvensional sehingga pelaksanaan pemungutan perpajakan dapat lebih optimal. #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

fajarizki galuh syahbana yunus

baru saja
Memilih: Perpu
Indonesia telah menemukan pemimpin baru, Presiden Jokowi resmi menjabat sebagai presiden RI untuk kedua kalinya. Pada periode kedua ini, Presiden Jokowi menetapkan peningkatan kualitas SDM yang berkualitas sebagai fokus utama pembangunan yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024.Di sisi lain, baru-baru ini telah ramai diperbincangkan terkait laporan Menkeu atas realisasi penerimaan pajak hingga Agustus 2019 yang hanya mencapai 51% dari target APBN. Kedua cuplikan pernyataan tersebut sungguh bertolak belakang dan sangat disayangkan. Sementara itu, di saat penerimaan pajak yang cenderung lesu, volume transaksi digital di Indonesia semakin tidak terkendali. Menurut saya, presiden harus memilih langkah pembentukan PERPU untuk segera menuntaskan problem utama yang terjadi. Tingginya volume transaksi digital namun di sisi lain terdapat kekosongan hukum terkait pemajakan atas transaksi digital sudah cukup menjadi syarat agar suatu keadaan dapat dianggap sebagai kegentingan yang memaksa. #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

Teguh Budiono

baru saja
Memilih: Omnibus Law
Sebelum memilih antara Perpu dan omnibuslaw, yang harus diperhatikan adalah pajak yang dipungut (termasuk pajak digital) harus berdasarkan UU sebagaimana tercantum dalam Pasal 23A UUD 1945. Saya pribadi tidak melihat adanya ihwal kegentingan yang memaksa sehingga Presiden harus menerbitkan Perpu untuk memungut Pajak digital. Namun, saya memilih UU Omnibuslaw karena penerbitan UU merupakan kewenangan DPR bersama dengan Presiden. No taxation without representation. Itulah ungkapan yang terkenal dari James Otis (1761) saat kongres di benua Amerika. Tidak boleh ada pajak yang dipungut tanpa ada perwakilan yang merepresentasikan persetujuan masyarakat atas UU yang menjadi dasar pemungutan pajak. Pajak digital harus dipungut berdasarkan UU sebagai bentuk persetujuan masyarakat terhadap keinginan Pemerintah untuk memungut pajak digital. UU Omnibuslaw yang disusun sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 merupakan dasar hukum yang kuat dan tepat untuk memungut pajak digital. #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

Ardian Mahardi

baru saja
Memilih: Perpu
menurut saya, kriteria "hal ihwal kegentingan yang memaksa" seperti diatur Pasal 22 UUD 1945 sebagai prasyarat terbitnya perppu telah terpenuhi. Kegentingan yang memaksa yaitu perlunya kepastian dan keadilan hukum bagi para pelaku ekonomi, baik pelaku ekonomi konvensional maupun pelaku ekonomi digital. Selain itu, kegentingan lainnya adalah perlunya pengamanan potensi pajak dari ekonomi digital yang selama ini telah banyak hilang. Mulai dari perusahaan besar sekelas Google, Amazon, Facebook, Apple, dan Netflix hingga perusahaan-perusahaan startup luar lainnya. Terkait risiko penolakan PERPU oleh DPR, haruslah dapat diminimalisasi dengan pendekatan antara pemerintah dan DPR mengingat alasan-alasan kegentingan yang memaksa di atas. #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

Arie R. P Sinuhaji

baru saja
Memilih: Omnibus Law
Menurut pandangan saya pada saat seperti inilah Eksekutif dan Legislatif butuh duduk bersama untuk merampungkan persoalan pajak, karena sampai saat ini perusahaan2 pengemplang pajak yang dari luar negeri tidak memberikan kontribusi yang dikatakan signifikan bagi penerimaan negara yang ada malah mengeruk keuntungan dan membawa uang keluar negeri tanpa membayar pajak. sehingga solusi jangka pendek dan jangka panjang harus dipertimbangkan, salah satu solusi jangka panjang adalah Omnimbus Law tapi dalam sekian tahun sebelum itu disahkan berarti diperlukan jangka pendek, dan untuk itu Perpu bisa menjadi salah satu solusi di balik kebijakan fiskal inovatif lain yang mungkin bisa dilakukan. Sehingga dalam hal ini Presiden dan Mentri terkait perlu mempertimbangkan dan meneliti lebih lanjut mengenai aspek kegentingan dari pemungutan pajak melalui Perpu ini, mengingat era sudah berangsur berubah dan apabila terus ditunda yang ada Indonesia semakin kalah telak dengan perubahan yang ada#MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

desnisensini

baru saja
Memilih: Omnibus Law
#MariBicara Omnibus Law itu salah satu upaya untuk mengakomodir isu besar ke dalam suatu Undang-Undang. Sebenarnya, permasalahan tidak hanya terletak pada hiperegulasi (banyak + kompleksnya peraturan), tetapi peraturan justru tumpang tindih secara hirearki dan tidak dapat langsung diterapkan, diharapkan omnibus law juga dapat meminimalisir tumpang tindihnya peraturan dan menekankan partisipasi publik. "At least one economist, one lawyer, and one public adminiatrator responsible to final outcome of a legislative project". Idealnya ada satu tim dalam struktur pemerintahan yang melakukan list rencana reformasi regulasi dan melakukan monitoring dan evaluasi peraturan.
list-comment-debate-photo-profile

Werlando E sinaga

baru saja
Memilih: Omnibus Law
Menurut saya, pemerintah harus memiliki persiapan yang matang dalam membentuk regulasi pajak digital, supaya pada akhirnya pajak yang sudah ditarik menjadi objek penerimaan tetap dan tidak hanya sebagai objek restitusi. Mengeluarkan Perpu bukanlah solusi terbaik mengingat bahwa regulasi ini hanya bisa mengatur satu jenis peraturan saja, selain itu regulasi ini masih berpotensi ditolak di legislatif, oleh sebab itu mengeluarkan perpu tidak terlalu baik untuk dicanangkan saat ini. Omnibus law memang tidak sejalan dengan sistem hukum indonesia yang menganut civil law, tetapi bukan berarti Omnibus law tidak bisa diterapkan. ada 2 hal penting yang membuat omnibus law menjadi solusi yang baik untuk pemajakan digital. yaitu yang pertama, Omnibus law bisa memuat beberapa peraturan terkait pajak seperti PPn, PPh,PPnBm baik dari skema tarif dan treatmentnya. yang kedua, Omnibus law yang menciptakan kepastian hukum dalam jangka panjang sehingga akan mengurangi potensi sengketa pajak, #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

Arif Gunawan

baru saja
Memilih: Omnibus Law
Perpu akan lebih susah direalisasikan karena dilema mendefinisikan situasi kegentingan. Di satu sisi, keberadaan OTT di Indonesia tidak menimbulkan risiko sistemik terhadap industri dan perekonomian sehingga menciptakan "kegentingan". Demikian juga belum ada kondisi genting dalam struktur APBN yang mengharuskan pemerintah untuk mengejar pajak dari pelaku usaha digital global tersebut. Betul bahwa presiden berhak menafsirkan kondisi kegentingan tersebut, guna melahirkan Perppu dan memungut pajak digital yang dimaksud. Namun, besar pajak yang diterima menurut hemat kami bakal tidak berimbang jika dibandingkan dengan implikasi yang ditimbulkan, yakni berupa memburuknya sentimen negatif investor global akibat ketidakpastian hukum, karena pemerintah menciptakan produk hukum tanpa dasar kuat demi keuntungan fiskal jangka pendek. Karena itu, pilihan yang lebih bijak adalah Omnibus Law. Lebih lambat dalam prosesnya, tetapi juga tentunya lebih kuat legal standingnya. #MariBicara
list-comment-debate-photo-profile

Dwi Apriambodo

baru saja
Memilih: Perpu
pilih perpu agar percepat penerimaan digital selain perpu juga merupakan produk hukum yang bisa cepat dikeluarkan dibandingkan omnibus. Kondisi ekonomi saat ini yang serba digital sudah seharusnya dapat di atur oleh hukum perpajakan yang cepat.