UJI MATERIIL UU PENGADILAN PAJAK

Kemerdekaan Pengadilan Pajak Disorot dalam Putusan MK

Muhamad Wildan
Kamis, 25 Mei 2023 | 16.56 WIB
Kemerdekaan Pengadilan Pajak Disorot dalam Putusan MK

Gedung Mahkamah Konstitusi (foto: Antara)

JAKARTA, DDTCNews – Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak dinilai tidak konsisten, tidak sesuai, atau bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

Hal tersebut menjadi salah satu alasan yang diajukan pemohon uji materiil UU Pengadilan Pajak yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada hari ini, Kamis (25/5/2023). Simak ‘Putusan MK: Pembinaan Pengadilan Pajak Harus Dialihkan ke MA’.

Pemohon menyatakan seluruh badan peradilan yang berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung (MA) merupakan satu kesatuan yang harus dijamin kemerdekaannya. Adapun kemerdekaan itu dalam menjalankan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.

“Hal tersebut sesuai dengan amanat pada Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,” demikian bunyi penggalan bagian Alasan Pokok Permohonan dalam salinan Putusan No. 26/PUU-XXI/2023.

Pemohon juga mengutip sebagian isi dari buku terbitan DDTC yang berjudul Lembaga Peradilan Pajak di Indonesia: Persoalan, Tantangan, dan Tinjauan di Beberapa Negara. Buku ini ditulis oleh Founder DDTC, yaitu Darussalam dan Danny Septriadi, serta Assistant Manager DDTC Consulting Yurike Yuki.

Mengutip buku tersebut, peradilan dengan kekuasaan yang merdeka dan bebas sebagai jaminan ketidakberpihakan hakim disebut dengan independensi kekuasaan peradilan. Merdeka atau bebas artinya tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan fungsi peradilan.

Selain itu, independensi hakim sebagai aktor utama pelaksana fungsi kekuasaan kehakiman juga ditunjukan dengan melakukan penafsiran atau interpretasi hukum tanpa dipengaruhi oleh kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).

Artinya, independensi peradilan mempunyai 2 sisi, yaitu bebas dalam arti terlepas dari pengaruh kekuasaan lain dan bebas untuk menginterpretasi undang-undang dan menemukan hukum berdasarkan keyakinannya.

Namun demikian, independensi peradilan bukan berarti kebebasan absolut atau tanpa batas. Kebebasan tersebut harus diimbangi dengan pertanggungjawaban (accountability) untuk menegakan keadilan secara efektif.

“Menurut Darussalam, sekalipun legislasi menyatakan bahwa Pengadilan Pajak merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, dalam kenyataannya pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan masih tetap dilakukan oleh Kementerian Keuangan,” tulis pemohon.

Dalam UU Pengadilan Pajak, hanya teknis peradilan pajak yang dilakukan oleh MA. Oleh karena itu, Pengadilan Pajak belum dapat dinyatakan sepenuhnya independen. Keberadaan lembaga eksekutif dalam tubuh Pengadilan Pajak dikhawatirkan akan mengurangi integritas Pengadilan Pajak.

Penempatan badan peradilan di bawah eksekutif – meski hanya berkaitan dengan organisasi, administrasi, dan keuangan – sesungguhnya adalah simbol pengakuan yuridis bahwa peradilan tersebut di bawah kementerian yang bersangkutan.

Simbol tersebut menimbulkan efek politik dan psikologis yang sangat luas terhadap otonomi kemandirian kebebasan hakim dan juga berdampak luas terhadap nilai loyalitas hakim itu sendiri.

Guna menciptakan peradilan dengan kekuasaan yang merdeka dan bebas, seharusnya tidak ada lagi campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan fungsi peradilan.

Argumen ini pun diamini oleh MK dalam putusannya. Dalam Putusan No. 26/PUU-XXI/2023, MK menyatakan pembinaan badan peradilan harus terintegrasi dalam satu lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman dan terpisah dari campur tangan eksekutif.

Dengan tetap mempertahankan pembinaan badan peradilan pada lembaga yang tidak terintegrasi, hal tersebut dapat memengaruhi kemandirian badan peradilan.

“Atau setidak-tidaknya berpotensi lembaga lain turut mengontrol pelaksanaan tugas dan kewenangan badan peradilan in casu Pengadilan Pajak, meskipun hanya berkaitan dengan organisasi, administrasi, dan keuangan,” tulis MK dalam putusannya.

Adanya peran Kemenkeu dalam membina Pengadilan Pajak membuat lembaga peradilan tersebut tidak dapat secara optimal melaksanakan tugas dan kewenangan secara independen.

Potensi hadirnya pengaruh eksekutif dalam lembaga peradilan dapat memperlebar peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau adanya kesewenang-wenangan dalam pemerintahan termasuk diabaikannya hak asasi manusia atau hak konstitusional warga negara oleh penguasa.

Oleh karena itu, MK pun memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan pengujian materiil yang diajukan oleh pemohon dan memerintahkan kepada pembuat undang-undang untuk mengalihkan seluruh pembinaan Pengadilan Pajak ke MA paling lambat 31 Desember 2026. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.