DDTCNEWS TAX COMPETITION 2019

Kehadiran Taxologist Sebagai Pendukung Sistem Perpajakan di Masa Depan

Redaksi DDTCNews | Selasa, 03 September 2019 | 11:55 WIB
Kehadiran Taxologist Sebagai Pendukung Sistem Perpajakan di Masa Depan
Angela Wiharja & Rahma Soraya, Universitas Indonesia

DIGITALISASI telah membawa perubahan yang signifikan pada perekonomian. Ekonomi digital mengacu pada berbagai aktivitas ekonomi. Aktivitas itu meliputi penggunaan informasi dan pengetahuan digital sebagai faktor kunci produksi serta jaringan informasi modern (modern information networks) sebagai ruang aktivitas yang penting.

Selain itu, aktivitas ekonomi digital juga mencakup efektivitas penggunaan Information and Communication Technology (ICT) sebagai penggerak penting terhadap pertumbuhan produktivitas dan optimalisasi struktural ekonomi (Report G20 Tiongkok, 2016).

Bagaimanapun, kompleksitas regulasi, peningkatan kontrol, dan tekanan internal seringkali membebani departemen pajak pada perusahaan di seluruh dunia. Oleh karena itu, teknologi dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi manajemen perpajakan yang semula manual menggunakan spreadsheet atau Microsoft Excel menjadi metode yang terotomatisasi.

Teknologi juga telah mengubah operasi pajak melalui pengguanan solusi berbasis cloud dari vendor SaaS yang terpercaya lebih aman. Lokasi data yang terpusat pada cloud memungkinkan vendor untuk mengintegrasikan produk demi efisiensi yang lebih besar bagi para profesional pajak. Selain itu, hadir pula Robotic Process Automation (RPA) yang dapat mengumpulkan data bisnis relevan, mengkonversi data ke dalam tax-basis, dan menyiapkan surat pemberitahuan (SPT).

Sayangnya, selain memberi kemudahan, kehadiran digitalisasi ternyata disertai dengan berbagai tantangan yang mendesak. Hal ini tertuang dalam laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang berjudul ‘Addressing the Challenges of the Digital Economy’ pada 5 Oktober 2015.

Dalam laporan tersebut, OECD menyebut pertumbuhan transaksi ekonomi digital penjualan jarak jauh atau lintas negara (cross-border) menjadi ancaman terhadap penerimaan pajak tidak langsung (indirect tax), seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) karena penjual tidak memiliki wujud fisik di wilayah yuridiksi pembeli. Hal tersebut bertentangan dengan asas destination principle.

Dengan demikian, selain harus cakap di bidang perpajakan, profesional pajak masa depan dituntut untuk memiliki kepiawaian dalam mengimplementasikan teknologi. Hal ini penting untuk mewujudkan efektivitas serta efisiensi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan perpajakan suatu perusahaan. Tidak mengherankan jika ada profesi baru di bidang perpajakan, yaitu taxologist.

Taxologist merupakan seorang profesional pajak yang memiliki kemampuan merangkul teknologi digital untuk tujuan efektivitas fungsi perpajakan. Istilah taxologist pertama kali diungkapkan pada 2014 oleh Thomson Reuters melalui pemberian penghargaan bagi profesional pajak yang berhasil memberikan nilai tambah terhadap efisiensi fungsi perpajakan menggunakan teknologi.

Profesi sebagai taxologist dapat berlatar pendidikan perpajakan maupun teknologi informasi. Tidak terbatas pada pengetahuan sistem perpajakan dan proses bisnis, taxologist juga harus terampil mengoperasikan teknologi perpajakan. Taxologist dibekali soft skills, seperti keahlian manajemen dan berkomunikasi agar bisa memberi solusi dalam proses kerja fungsi pajak suatu perusahaan.

Jumlah taxologist saat ini masih bisa dihitung dengan jari. Thomson Reuters for U.S Tax and Accounting Firm di Amerika Serikat memberi penghargaan kepada taxologist yang unggul, seperti Sarah Gangar (2015). Sarah berhasil menyederhanakan dan mengurangi entri data perpajakan secara manual di Cuna Mutual, perusahaan tempat dia bekerja.

Sementara, di Indonesia sendiri, profesi taxologist masih sangat kurang populer. Padahal, kehadiran taxologist di Indonesia sangat diperlukan, misalnya untuk membantu menata sistem kerja di departemen pajak perusahaan agar lebih efisien waktu dan lebih terotomatisasi. Alhasil, pekerjaan departemen pajak yang menumpuk dan dikerjakan secara manual dalam waktu berhari-hari dapat terselesaikan dalam waktu yg lebih singkat, tepat, dan rendah risiko.

Salah satu contohnya adalah membuat sistem komputerisasi untuk mendeteksi transaksi pembayaran yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya fiskal atau penghasilan yang bukan merupakan objek pajak berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku. Hal ini bisa dilakukan tanpa harus melihat dokumen secara fisik. Dampaknya, pembuatan rekonsiliasi fiskal di akhir tahun dapat lakukan lebih cepat dengan kemudahan penentuan transaksi dan jumlahnya.

Peningkatan Volume

BERDASARKAN penelitian pada 2017, volume penjualan dalam ekonomi digital di Tiongkok lebih dari dua kali lipat dibanding Amerika Serikat dan hampir 10 kali lebih tinggi dari tahun 2011. Tiongkok merespons hal tersebut dengan menerapkan sistem pengenaan PPN yang memanfaatkan teknologi. Mereka mengadopsi Golden Tax System.

Dengan Golden Tax System, otoritas pajak pusat melakukan pemantauan database faktur menggunakan teknologi enkripsi yang memberitahukan administrasi secara real-time atas transaksi antar penjual dan pembeli.

Sementara itu, berdasarkan penelitian McKinsey yang dituangkan dalam laporan berjudul: ‘Digital India: Technology to Transform A Connected Nation’, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara yang mengalami pertumbuhan tercepat dalam mengadopsi ekonomi digital. Skor yang diperoleh Indonesia adalah 99%, diikuti oleh India 90% dan Tiongkok 45%.

Meskipun demikian, Indonesia sendiri belum melakukan penegasan yuridiksi pemajakan atas ekonomi digital hingga sekarang. Upaya pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 210/PMK.010/2018 nyatanya masih gagal untuk diberlakukan. Saat ini pemerintah Indonesia dituntut untuk segera bersikap tegas berkaitan dengan regulasi pemajakan ekonomi digital.

Teknologi sebagai pendorong eksistensi ekonomi digital di Indonesia telah memberikan tantangan tersendiri bagi pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan teknologi yang lebih andal serta perbaikan kualitas sumber daya manusia agar dapat beradaptasi dengan dunia pajak yang dinamis.

Taxologist sebagai profesional pajak yang unggul dalam penggunaan teknologi dapat menjadi salah satu alternatif bagi pelaku usaha ekonomi digital sebagai penggagas solusi bagi departemen pajak di perusahaannya, terkait dengan pengenaan PPN.

Taxologist dapat membenahi ekonomi penjualan lintas negara dengan membuat suatu teknologi seperti di Uni Eropa yang memiliki value added tax(VAT) skema Mini One Stop Shop yang juga tentunya didukung oleh pemerintah dengan membuat regulasi pajak ekonomi digital cross-border.

Pendidikan

MELIHAT fenomena tersebut, penulis melihat perlu adanya peran lembaga pendidikan untuk memperbaiki sumber daya manusia. Langkah ini bisa dilakukan dengan membuka jurusan khusus taxologist dan menambahkan mata kuliah penggunaan teknologi perpajakan seperti artificial intelligence,computational intelligence, SQL, sistem cloud, dan XML pada program pendidikan Administrasi Perpajakan di beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia.

Selain itu, otoritas juga bisa membuat program sertifikasi taxologist bagi lembaga penyelenggara sertifikasi profesi pajak di Indonesia. Kemudian, program beasiswa dari pemerintah – berupa pemberian kesempatan bagi mahasiswa yang berprestasi untuk melakukan studi banding danbenchmarking ke Amerika Serikat sebagai negara pencetus profesi taxologist – juga diperlukan.

Berkaca dari Tiongkok, penulis memberi saran kepada pemerintah agar segera menyediakan suatu sistem informasi dan teknologi perpajakan yang dapat memantau dan memungut PPN atas setiap transaksi bisnis ekonomi digital serta menciptakan kolaborasi dengan taxologist dalam pengimplementasian pemajakan ekonomi digital di Indonesia.

Dengan demikian, otoritas pajak dan pelaku usaha ekonomi digital dapat bersinergi. Harapan penulis, kehadiran taxologist dan kemajuan teknologi ini dapat mendukung sistem perpajakan di Indonesia menjadi lebih baik di masa depan dalam rangka reformasi pajak digital menuju revolusi pajak 4.0.*

*Esai ini merupakan salah satu dari 12 esai terpilih yang lolos seleksi awal DDTCNews Tax Competition 2019 bertajuk ‘Tax Challenges in the Digital Era: It's Time for Youth to Speak Up!’.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 25 Maret 2024 | 15:37 WIB KINERJA PERDAGANGAN

Transaksi e-Commerce Diprediksi Tembus Rp 1.730 Triliun pada 2025

Jumat, 15 Maret 2024 | 09:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Tambah Lagi 4 Perusahaan Pemungut PPN PMSE, Ada Tencent Cloud

Rabu, 06 Desember 2023 | 18:44 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Pemerintah Siapkan 3 Fase Transformasi Digital Nasional Hingga 2045

Sabtu, 18 November 2023 | 12:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Ekonomi Digital Tumbuh, Ada Peluang dan Tantangan ke Penerimaan Pajak

BERITA PILIHAN