WAKIL KETUA PUSAT KEBIJAKAN PAJAK & ADMINISTRASI OECD GRACE P NAVARRO:

‘Kami Berhadapan dengan Negara yang Punya Posisi Berbeda’

Redaksi DDTCNews
Senin, 30 Desember 2019 | 10.38 WIB
‘Kami Berhadapan dengan Negara yang Punya Posisi Berbeda’

Wakil Ketua Pusat Kebijakan Pajak dan Administrasi OECD Grace Perez-Navarro. (Foto: DDTCNews)

AKSI unilateral untuk menjawab tantangan dari ekonomi digital makin marak terjadi di pengujung 2019. Banyak negara tidak sabar menanti konsensus global yang tengah disusun dengan koordinasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Wakil Ketua Pusat Kebijakan Pajak dan Administrasi OECD Grace Perez-Navarro tidak memungkiri adanya eskalasi aksi unilateral saat ini. Namun, menurutnya, aksi tersebut harus memperhatian kaidah perpajakan internasional yang berlaku agar ketegangan antarnegara, seperti Amerika Serikat (AS) dan Prancis tidak menyebar.

Untuk menggali persoalan itu lebih dalam, InsideTax (majalah perpajakan bagian dari DDTCNews) mewawancarai Grace di sela-sela International Taxation Conference yang diselenggarakan di Mumbai, India. Berikut kutipannya:

Saat ini banyak negara mulai menjalankan aksi unilateral untuk menjawab tantangan dari ekonomi digital. Apa pendapat Anda?

Ya, memang benar jika kita tidak mencapai konsensus global maka ruang untuk melakukan aksi unilateral ini akan terus menyebar. Kita sudah memiliki data yang menunjukan ada sekitar 26 tindakan unilateral di seluruh dunia yang telah diberlakukan atau sedang dalam proses untuk segera diberlakukan. Oleh karena itulah, kami di OECD bekerja semaksimal mungkin untuk memberikan solusi secepatnya pada 2020.

Sebenarnya seberapa sulit bagi OECD untuk mengupayakan tercapainya konsensus?

Ini sebenarnya sangat sulit dalam mendapatkan konsensus karena kami berhadapan dengan negara yang mempunyai posisi yang berbeda-beda secara bersamaan. Apa yang sangat menggembirakan adalah kita melihat bahwa semua negara menginginkan solusi secara global.

Keinginan mereka itu karena mereka sendiri mengakui pentingnya solusi global. Ini karena dengan tidak memiliki solusi global maka Anda akan mengalami penurunan kerangka kerja secara internasional. Faktor ini yang sangat penting untuk memastikan bahwa Anda memiliki perdagangan dan investasi lintas batas yang berjalan lancar.

Dari proposal konsesus baik pilar pertama maupun kedua, opsi apa yang paling mudah untuk diimplementasikan?

Saya pikir, dengan apa yang kita sebut sebagai unified approach itu tujuannya bukan untuk menghasilkan solusi yang paling sederhana. Namun, apa yang kita lakukan dan pikirkan adalah yang paling memungkinkan untuk mencapai konsensus. Karena itu, menjadi hal yang menarik dengan adanya tiga proposal.

Kami mencoba untuk fokus pada apa yang tampaknya penting bagi semua negara. Jadi, saya pikir tidak ada solusi sederhana untuk menyelesaikan masalah ini. Namun, kami berusaha membuatnya sesederhana mungkin.

Terkait aksi unilateral pemajakan ekonomi digital, Indonesia juga mempunyai rencana dengan adanya omnibus law perpajakan. Bagaimana Anda melihatnya?

Saya belum melihat isi dari rencana omnibus law yang Indonesia susun. Saya tidak cukup tahu tentang hal itu untuk mengomentarinya, tapi saya pikir Indonesia sangat aktif untuk terlibat dalam diskusi kami. Beberapa waktu lalu saya berada di Yogyakarta untuk pertemuan antarotoritas pajak Asia Pasifik atau SGATAR 2019. Kami memiliki banyak kegiatan diskusi di sana. Kemudian Indonesia sebagai anggota G20 juga sangat terlibat dalam diskusi ini. 

Jadi, saya tahu mereka juga ingin melihat peluang adanya solusi global, tetapi mereka [Pemerintah Indonesia] seperti halnya negara lain, merasa tidak sabar untuk menunggu tercapainya solusi global. Langkah yang bersifat sepihak tersebut juga memberi kita alasan lain untuk bergerak maju dan mencoba untuk mendapatkan konsensus.

Dalam perspektif Anda, adakah saran untuk rencana kebijakan Indonesia tersebut?

Pertama, saya tidak cukup tahu atas informasi omnibus law yang Indonesia lakukan. Dalam pemahaman saya, jika Pemerintah Indonesia mencoba menerapkan penyederhanaan prosedur sebagaimana saran OECD untuk membantu meningkatkan penerimaan pajak dari transaksi elektronik, itu merupakan ide yang bagus.

OECD telah melihat kebijakan negara lain seperti Australia dalam melaksanakan aksi unilateral dalam bentuk pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan contoh yang efektif dan sangat berhasil dalam mengumpulkan penerimaan pajak. Ini yang perlu dicatat. Namun, untuk mengumpulkan pajak penghasilan, saya belum memiliki data seperti apa rencananya [omnibus law].

Seberapa besar efek yang ditimbulkan dari maraknya aksi unilateral terhadap tax treaty?

Seberapa besar implikasi aksi unilateral terhadap tax treaty akan tergantung pada seberapa besar jenis aksi sepihak yang dilakukan suatu negara atau yurisdiksi. Jadi misalnya, ada beberapa langkah yang berdampak minim terhadap tax treaty karena tidak tercakup di dalam tax treaty yang masih berlaku. 

Jadi, jika suatu negara menegakkan hukum pajak berdasarkan significant economic presence, maka mereka masih terikat dengan tax treaty dengan negara lain, kecuali mereka melakukan aksi lanjutan dengan membatalkan tax treaty. Namun, sejauh pengetahuan saya, hingga saat ini belum ada negara yang melakukan terminasi atas tax treaty-nya.

Akan tetapi, saya pikir, negara yang mempertimbangkan langkah unilateral harus melihat apa sanksi yang diumumkan Amerika Serikat terhadap Prancis pada pekan ini. Ini penting. Hal ini harus dipertimbangkan jika suatu negara ingin mengambil risiko dengan melakukan aksi unilateral. Sehingga, satu solusi terhadap permasalahan ini datang dari konsensus multilateral dengan cepat. Dengan demikian, setiap negara tidak perlu menggunakan aksi unilateral.

Anda juga bisa menyimak hasil wawancara dengan Wakil Ketua Pusat Kebijakan Pajak dan Administrasi OECD Grace Perez-Navarro dalam majalah InsideTax edisi ke-41. Download majalah InsideTax di sini. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.