Managing Partner DDTC Darussalam dalam kuliah umum bertajuk 'Peluang dan Tantangan Profesi di Bidang Perpajakan di Era Revolusi Industri 4.0',
JAKARTA, DDTCNews – Perkembangan teknologi memengaruhi banyak hal dalam kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, modal kuat dibutuhkan untuk mengarungi era penuh disrupsi tersebut.
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan revolusi industri 4.0 turut memengaruhi dimensi pekerjaan lulusan bidang perpajakan. Lingkup lapangan kerja di masa mendatang, sambungnya, akan lebih terspesialisasi.
“Otomatisasi membuat sebagaian pekerjaan dapat dilakukan dengan mesin atau robot. Menjadi lulusan perpajakan tidak cukup hanya sekadar menghitung. Perlu kemampuan yang terspesialisasi,” katanya saat memberi kuliah umum di Kampus Institut STIAMI, Selasa (2/4/2019).
Dalam kuliah umum perpajakan bertajuk 'Peluang dan Tantangan Profesi di Bidang Perpajakan di Era Revolusi Industri 4.0', Darussalam menekankan pentingnya kemampuan khusus dalam profesi pajak. Adaptif dalam menggunakan teknologi menjadi aspek wajib untuk menangguk manfaat dari revolusi industri 4.0.
Oleh karena itu, pria yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi) itu menekankan pentingnya memiliki kemampuan analisis, pengusahaan teknologi dan kreativitas. Dengan demikian, lulusan perpajakan memiliki spesialisasi khusus yang tidak dapat digantikan oleh mesin.
Modal utama untuk menggapai spesialisasi tersebut tidak lain dengan menambah pengetahuan. Hal ini menjadi syarat mutlak untuk bisa berkompetisi dalam pasar tenaga kerja yang berada dalam lingkup perpajakan.
Menurutnya, lulusan perpajakan tidak perlu gentar dalam menghadapi era disrupsi tersebut. Selama memiliki kompetensi maka lapangan pekerjaan di bidang perpajakan masih terbuka luas. Apalagi, jumlah wajib pajak Indonesia masih sedikit dibandingkan total penduduk sehingga kebutuhan adanya praktisi perpajakan masih akan terus meningkat.
Sementara itu, peluang untuk menjadi petugas pajak juga terbuka lebar. Pasalnya, setiap fiskus saat ini harus melayani 6.253 penduduk Indonesia. Angka tersebut masih jauh dari rasio petugas pajak dengan penduduk di negara maju.
Negara seperti Jepang memiliki rasio fiskus dan jumlah penduduk sebanyak 1:1.818. Jerman mempunyai rasio petugas pajak dan jumlah penduduk sebanyak 1:727. Porsi petugas pajak Indonesia, sambungnya, masih belum ideal untuk melayani wajib pajak dengan optimal.
“Keahlian yang semakin terspesialisasi akan semakin dibutuhkan. Belum lagi dengan wajib pajak yang akan terus bertambah. Oleh karena itu, SDM dengan keahlian tertentu akan semakin dibutuhkan,” imbuh Darussalam. (kaw)