PADA dasarnya, sanksi administrasi pajak dikenakan karena ketidakpatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Namun, otoritas pajak memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk mengajukan keringanan atau penghapusan atas sanksi administrasi yang dikenakan.
Pada artikel sebelumnya telah diuraikan mengenai bentuk sanksi administrasi pajak di Indonesia yang meliputi bunga, denda, dan kenaikan. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai syarat dan ketentuan pengajuan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi pajak.
Adapun syarat dan ketentuan pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak (PMK 8/2013).
Berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) PMK 8/2013, pengurangan atau penghapusan sanksi tersebut hanya dapat diberikan otoritas pajak jika sanksi dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya sendiri.
Terdapat 3 sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan berdasarkan pada permohonan wajib pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PMK 8/2013. Pertama, sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak (SKP).
Kedua, sanksi administrasi yang tercantum dalam surat tagihan pajak (STP) yang berkaitan dengan penerbitan SKP. Pengurangan atau penghapusan tersebut tidak diberikan terhadap sanksi administrasi dalam STP yang diterbitkan berdasarkan pada Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU KUP).
Sebagai informasi, Pasal 25 ayat (9) UU KUP memuat ketentuan sanksi administrasi denda 50% terhadap keberatan wajib pajak yang ditolak atau dikabulkan sebagian. Sementara itu, Pasal 27 ayat (5d) UU KUP berkaitan dengan pengenaan sanksi administrasi denda sebesar 100% atas permohonan banding wajib pajak yang ditolak atau dikabulkan sebagian.
Ketiga, sanksi administrasi yang tercantum dalam STP selain yang dimaksud dalam poin kedua.
Lebih lanjut, merujuk pada Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) PMK 8/2013, permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKP atau STP dapat diajukan apabila memenuhi 8 kondisi sebagai berikut secara alternatif.
Pertama, tidak diajukan keberatan. Kedua, diajukan keberatan, tetapi dicabut oleh wajib pajak dan Dirjen Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan wajib tersebut. Ketiga, diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan.
Keempat, tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar. Kelima, diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan SKP yang tidak benar, tetapi dicabut oleh wajib pajak. Keenam, tidak sedang diajukan permohonan pembatalan SKP hasil pemeriksaan atau verifikasi.
Ketujuh, diajukan permohonan pembatalan SKP hasil pemeriksaan atau verifikasi, tetapi dicabut oleh wajib pajak. Kedelapan, diajukan permohonan pembatalan SKP hasil pemeriksaan atau verifikasi, tetapi permohonan tersebut ditolak.
Selain memenuhi delapan kondisi di atas, permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam STP juga harus memenuhi ketentuan sebagai berikut.
Wajib pajak dapat memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKP atau STP dengan menyampaikan surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi kepada dirjen pajak. Adapun tata cara pengajuan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi akan diulas lebih dalnjut dalam artikel kelas pajak berikutnya. (zaka/kaw)