Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) mengungkap konsekuensi bagi wajib pajak sebenarnya memenuhi kondisi sebagai peserta skema kebijakan I Program Pengungkapan Sukarela (PPS), tetapi memilih untuk tidak ikut.
Konsekuensi juga berlaku untuk wajib pajak yang mengikuti skema kebijakan I PPS, tetapi tidak melaporkan seluruh hartanya. Artinya, masih ada harta yang belum diungkap melalui Tax Amnesty pada 2016-2017 ataupun PPS.
“Harta yang belum atau kurang diungkap tersebut akan dianggap sebagai penghasilan pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai harta tersebut oleh DJP. Perlu kita perhatikan di sini, tidak ada batas waktunya,” ujar Giyarso, Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP dalam Tax Live, Kamis (23/6/2022).
Dalam Pasal 18 ayat (3) UU Pengampunan Pajak disebutkan atas penghasilan yang belum atau diungkapkan dikenai PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar.
Giyarso mengatakan tarif PPh yang akan dikenakan sebesar 30% untuk wajib pajak orang pribadi atau 25% untuk wajib pajak badan. Menurutnya, risiko pengenaan pajak ini lebih besar dibandingkan dengan tarif PPh final saat mengikuti skema kebijakan I PPS, yakni 6%, 8%, atau 11%.
“Tentu ini sangat memberatkan. Ini kesempatan emas bagi wajib pajak untuk mengikuti kebijakan I dengan benar, jelas, dan lengkap, sehingga terhindar dari konsekuensi yang akan merugikan tersebut,” imbuh Giyarso.
Sebagai informasi kembali, terdapat 2 skema kebijakan pada PPS yang berlaku hingga 30 Juni 2022. Skema kebijakan I untuk wajib pajak orang pribadi dan badan peserta tax amnesty dengan basis aset per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan.
Sementara itu, skema kebijakan II diperuntukkan bagi wajib pajak orang pribadi yang belum mengikuti tax amnesty dengan basis aset perolehan harta pada 2016-2020 dan belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020. (kaw)