Exclusive Seminar: Rezim Baru Antipenghindaran Pajak dalam PP 55/2022 dan Dampaknya bagi Wajib Pajak.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menegaskan komitmennya untuk mendukung upaya mitigasi praktik penggerusan basis dan pengalihan laba atau biasa disebut base erosion and profit shifting (BEPS).
Pada BEPS 1.0, Indonesia sebagai anggota Inclusive Framework telah menerapkan berbagai action plan dalam minimum standard yang harus diterapkan. Berlanjut ke BEPS 2.0, Indonesia berupaya mempercepat implementasi Pilar 1 dan Pilar 2 dalam diskusi-diskusi pada Task Force on Digital Economy (TFDE) dan Inclusive Framework.
Hal tersebut dilakukan oleh pemerintah sesuai wewenang yang diberikan oleh UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) atas revisi Pasal 32A UU PPh. Selain menyusun perjanjian dengan negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda atau pencegahan pengelakan pajak, kini pemerintah bisa membentuk serta melaksanakan perjanjian ataupun kesepakatan di bidang perpajakan dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra.
Perjanjian atau kesepakatan bisa dilakukan secara bilateral maupun multilateral dalam berbagai hal. Hal tersebut mencakup dalam rangka pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, dan kerja sama perpajakan lainnya.
Ketentuan dalam Pasal 32A UU PPh tersebut baru-baru ini diatur lebih lanjut dalam aturan turunan, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022. Dalam Bab VIII beleid tersebut diatur mengenai penerapan perjanjian dan/atau kesepakatan internasional di bidang perpajakan.
Bab tersebut memuat aturan payung hukum yang menjadi pintu masuk ketika konsensus global tentang solusi atas pemajakan akibat digitalisasi ekonomi serta penerapan pajak minimum global tercapai di masa mendatang.
Aturan dalam PP 55/2022 hadir sebagai pembuka rezim baru antipenghindaran pajak atas berbagai isu penghindaran pajak atau pengelakan pajak. Dalam Bab VII PP 55/2022, juga dimuat aturan lebih lanjut tentang instrumen pencegahan penghindaran pajak. Bab tersebut pada utamanya memuat aturan lebih lanjut mengenai instrumen spesifik (specific anti-avoidance rule/SAAR) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU PPh s.t.d.t.d. UU HPP.
Melalui PP 55/2022, pencegahan praktik penghindaran pajak dapat dilakukan dengan menghitung kembali pajak yang seharusnya terutang atas perusahaan yang melaporkan kerugian dalam beberapa tahun tetapi tetap beroperasi secara komersial.
Metode tersebut tentu berbeda dengan alternative minimum tax sebagaimana yang sebelumnya diwacanakan dalam RUU HPP. Melalui PP 55/2022, penghitungan kembali tersebut akan dibandingkan dengan kinerja keuangan wajib pajak dalam kegiatan usaha yang sejenis.
PP 55/2022 juga menghadirkan metode lainnya yang digunakan dalam menentukan batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk tujuan perpajakan.
Selain melalui metode debt to equity rasio (DER) yang sudah diterapkan sejak berlakunya PMK 169/2015, PP 55/2022 juga mengakomodasi metode yang menggunakan persentase tertentu dari biaya pinjaman dibandingkan dengan EBITDA, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi biaya pinjaman, pajak, depresiasi, dan amortisasi. Metode tersebut dikenal dengan earning stripping rules (ESR).
PP 55/2022 juga memuat aturan atas upaya penghindaran dan pengelakan pajak yang memanfaatkan perbedaan perlakuan perpajakan antarnegara atas suatu instrumen atau entitas yang dapat memiliki lebih dari satu karakteristik, yaitu hybrid instument atau hybride entity.
PP 55/2022 dapat memberikan wewenang bagi pemerintah untuk mengoreksi fiskal secara positif atas suatu pembayaran dari Indonesia yang tidak dikenai pajak sama sekali atau dikenai pajak yang rendah di Indonesia ataupun di luar negeri, termasuk juga ketika pembayaran tersebut dapat dibebankan secara dobel baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Selain itu, dalam Bab VII PP 55/2022 ada pula instrumen teranyar untuk menangani penghindaran pajak, yaitu dengan prinsip pengakuan substansi di atas bentuk formalnya atau biasa dikenal dengan substance over form.
Tak hanya itu, hubungan istimewa yang menjadi titik awal analisis pencegahan praktik penghindaran pajak pun turut menjadi cakupan perubahan dalam PP 55/2022. Seperti diketahui, ketentuan hubungan istimewa ini sangat berkaitan erat dengan kewajiban penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) atas transaksi di antara pihak dengan hubungan istimewa.
Dalam penerapan PKKU, PP 55/2022 pun kembali mempertegas kewajiban dalam penerapan PKKU atas transaksi afiliasi, termasuk kewenangan Dirjen Pajak untuk mengoreksi transaksi afiliasi. Terlebih lagi, PP 55/2022 ini turut mengatur mengenai beberapa metode transfer pricing lainnya.
Kesepakatan harga transfer atau biasa dikenal dengan advance pricing agreement pun menjadi salah satu cakupan aturan dalam PP 55/2022.
Untuk memperdalam pemahaman mengenai rezim baru antipenghindaran pajak yang tertuang dalam PP 55/2022, DDTC Academy mengadakan Exclusive Seminar bertajuk Rezim Baru Antipenghindaran Pajak dalam PP 55/2022 dan Dampaknya bagi Wajib Pajak. Agar lebih komprehensif dan interaktif, seminar dilaksanakan secara tatap muka di Menara DDTC pada Rabu, 18 Januari 2023 pukul 09.00—16.00 WIB.
Menu topik pembahasannya antara lain:
Kerja sama bilateral dan multilateral dalam bidang pajak serta dampaknya bagi wajib pajak;
Payung hukum penerapan Pilar 1 dan Pilar 2 proposal pajak OECD atas pemajakan dari digitalisasi ekonomi dan pengenaan pajak minimum global (global minimum tax);
Penghitungan kembali pajak terutang untuk wajib pajak yang melaporkan laba usaha terlalu kecil atau melaporkan rugi selama 3 tahun berturut-turut dalam 5 tahun masa operasi komersial berdasarkan pembandingan kinerja keuangan wajib pajak usaha sejenis.
Mekanisme pencegahan praktik penghindaran pajak, termasuk melalui:
pengaturan controlled foreign company (CFC);
penanganan skema special purpose company (SPC); dan/atau
pemajakan atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company) di negara suaka pajak;
Penanganan hybrid mismatch arrangement melalui koreksi fiskal positif atas biaya yang dibayarkan atas suatu hybrid instrument atau hybrid entity;
Pembatasan jumlah biaya pinjaman afiliasi yang dapat dibebankan serta metode penentuannya;
Ketentuan substance over form termasuk dampak dan strateginya;
Ketentuan terbaru mengenai kriteria hubungan istimewa;
Ketentuan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) serta metode transfer pricing dalam penerapannya.
Penerapan PKKU atas penghasilan wajib pajak orang pribadi dari pemberi kerja afiliasi di luar negeri;
Ketentuan pencegahan dan penanganan sengketa transfer pricing melalui Advance Pricing Agreement; dan
Studi kasus, ilustrasi, perbandingan dari luar negeri, dan/atau rekomendasi dari OECD atas topik terkait di atas.
Tak hanya membahas apa yang disajikan dalam PP 55/2022 beserta penjelasannya, seminar kali ini akan memperkaya wawasan peserta dengan berbagai international best practices seperti perbandingan kebijakan serupa di negara lain serta rekomendasi dari OECD atas konteks subjek atau objek pengaturan. Studi kasus dan ilustrasi juga akan diberikan agar peserta lebih mudah memahami konteks pengaturan.
Materi seminar akan dibawakan secara langsung oleh 2 (dua) pakar profesional DDTC, yakni B. Bawono Kristiaji dan Romi Irawan.
B. Bawono Kristiaji adalah praktisi berpengalaman di kebijakan pajak, bidang keuangan publik, dan transfer pricing. Beliau memenangkan penghargaan dari the Confédération Fiscale Européenne (CFE), berupa CFE Award Albert J. Rädler Medal di tahun 2015 atas tesisnya yang berjudul Incentives and Disincentives of Profit Shifting in Developing Countries.
Penghargaan diberikan karena tesisnya menjadi tesis perpajakan terbaik se-Eropa. Beliau adalah kontributor utama buku DDTC berjudul Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional dan editor utama DDTC Working Paper.
Selain itu, pembicara kedua, Romi Irawan adalah seorang praktisi transfer pricing berpengalaman yang terpilih oleh International Tax Review, Inggris, sebagai World's Leading Transfer Pricing Advisers 2020. Dia juga merupakan kontributor untuk Indonesia chapter dalam buku yang diterbitkan oleh Law Business Research berjudul The Transfer Pricing Law Review edisi kedua (2018), edisi ketiga (2019), keempat (2020), edisi kelima (2021), dan edisi keenam (2022). Romi juga telah memiliki pengalaman yang luas dan mendalam dalam menangani kontroversi transfer pricing termasuk APA dan MAP klien dari berbagai industri.
Setiap peserta seminar akan memperoleh handbook materi, sertifikat hardcopy, makan siang, goodie bag and training kit, sesi tanya jawab, serta diskusi interaktif bersama pembicara. Setiap peserta seminar juga diberi akses untuk menikmati ribuan koleksi buku perpajakan DDTC Library. Sebelum dan selama acara, peserta dapat menikmati kopi dan snack yang akan tersedia sejak pukul 08.30 WIB.
Daftarkan diri Anda segera dan dapatkan harga spesial pada seminar kali ini sebesar Rp2.000.000 melalui link berikut:
https://academy.ddtc.co.id/seminar
Jumlah peserta terbatas!
Membutuhkan informasi lebih lanjut? Hubungi Hotline DDTC Academy (+62)812-8393-5151 / [email protected] (Vira) atau melalui media sosial DDTC Academy Instagram (@ddtcacademy), Facebook (DDTC Academy), Twitter (@ddtcacademy), Telegram Channel (DDTCAcademy), dan LinkedIn Group (DDTC Academy). (sap)