Suasana bongkar muat batu bara di Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (7/10/2022). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat pada bulan September 2022, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor minerba mencapai Rp130 triliun. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/nym.
JAKARTA, DDTCNews - Keputusan pemerintah untuk kembali menunda penerapan pajak karbon menuai respons berbagai pihak. Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menilai pemerintah perlu mengklarifikasi pernyataannya mengenai implementasi pajak karbon yang baru dimulai pada 2025.
Ketua AESI Fabby Tumiwa mengatakan pengenaan pajak karbon diperlukan guna mempercepat transisi energi. Menurutnya, penundaan implementasi pajak karbon juga bakal membuat upaya mempensiunkan PLTU batu bara ikut tertunda.
"Dengan pajak karbon diterapkan, ini sebenarnya bisa membuat harga listrik dari PLTU menjadi lebih mahal. Jadi biayanya akan meningkat," katanya, dikutip pada Selasa (18/10/2022).
Fabby mengatakan pernyataan pemerintah mengenai penundaan pajak karbon hingga 2025 dapat menimbulkan kebingungan publik. Pasalnya, penerapan pajak karbon secara penuh untuk seluruh sektor memang direncanakan terjadi pada 2025.
UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) mengatur pengenaan pajak karbon dimulai pada 1 April 2022. Namun, implementasi kebijakan ini sempat mundur menjadi 1 Juli 2022 karena menunggu kesiapan mekanisme pasar karbon. Hingga kini kebijakan itu belum terimplementasi.
Guna mengimplementasikan pajak karbon tersebut, pemerintah harus menyusun peta jalan dan menyiapkan sejumlah aturan teknis. Soal pajak karbon akan menggunakan mekanisme cap and trade, artinya penyusunan ketentuannya akan melibatkan Kementerian ESDM, KLHK, dan Kemenkeu.
"Dugaan saya peraturan itu belum sinkron sehingga memang belum bisa diterapkan. Alasan kenapa tidak diterapkan 1 Juli yang lalu juga mungkin karena ini," ujarnya.
Fabby memandang penundaan implementasi pajak karbon dapat berpengaruh terhadap rencana mempensiunkan dini PLTU sebagaimana diamanatkan Perpres 112/2022. Implementasi kebijakan tersebut juga masih menunggu peta jalan pensiun dini PLTU yang tengah disusun Kementerian ESDM.
Dia menilai pengenaan pajak karbon dapat mempercepat pensiun dini PLTU secara ekonomis walaupun tarif yang dipatok dalam HPP belum ideal. Beleid itu mengatur tarif pajak karbon hanya Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e), atau kurang dari US$3 per ton CO2e.
Dia menjelaskan secara umum PLTU di Indonesia dimiliki oleh PT PLN (Persero) dan swasta. Apabila ingin mencapai target penurunan emisi sesuai dengan target yang disepakati dalam Kesepakatan Paris, berarti harus ada PLTU berkapasitas 9,2 gigawatt yang dipensiunkan hingga 2030.
Dari angka tersebut, 5 gigawatt menjadi milik PLN dan 4,2 gigawatt merupakan milik swasta. Dari 5 gigawatt berkapasitas PLTU milik PLN, 4,5 gigawatt di antaranya sudah masuk usia ekonomis pada 2023 karena sudah lebih dari 30 tahun dan sudah sudah tidak nilainya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang memandang ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan sebelum mempensiunkan dini PLTU. Pertimbangan itu utamanya berkaitan dengan komitmen produsen listrik kepada pihak ketiga atau dalam hal PLN, serta mengenai pendanaannya.
"Ini harus diterjemahkan lebih detail dan lebih konkrit lagi," katanya. (sap)