Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) menegaskan kembali konsekuensi yang akan diterima pengusaha kena pajak (PKP) jika membuat faktur pajak secara tidak lengkap. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (19/4/2022).
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 31 ayat (3) PER-03/PJ/2022, atas faktur pajak yang diisi secara tidak lengkap, PKP dikenai sanksi administratif. Adapun ketentuan sanksi administratif itu sesuai dengan amanat Pasal 14 ayat (4) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“PPN yang tercantum dalam faktur pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) [faktur pajak yang diisi secara tidak lengkap] merupakan pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan,” bunyi Pasal 31 ayat (4) PER-03/PJ/2022.
Adapun faktur pajak yang diisi secara tidak lengkap adalah faktur pajak yang tidak memenuhi persyaratan formal, yakni diisi secara benar, lengkap, dan jelas, sesuai dengan persyaratan. Simak ‘Catat, Ini Keterangan yang Harus Dicantumkan dalam Faktur Pajak’.
Selain mengenai ketentuan faktur pajak, ada pula bahasan terkait dengan perlakuan pajak transaksi aset kripto. Kemudian, ada pula bahasan tentang rencana anggaran pada 2023.
Ada 3 kondisi faktur pajak tidak memenuhi persyaratan formal. Pertama, faktur pajak elektronik (e-faktur) tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau faktur pajak untuk PKP pedagang eceran tidak mencantumkan keterangan sesuai Pasal 26 ayat (2).
Kedua, mencantumkan keterangan yang tidak sebenarnya atau sesungguhnya. Ketiga, berisi keterangan yang tidak sesuai dengan ketentuan pengisian keterangan sebagaimana diatur dalam PER-03/PJ/2022. (DDTCNews)
PKP pedagang eceran dapat membuat faktur pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual.
Kendati pembuatan dapat dilakukan tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli/penerima serta nama dan tanda tangan pihak yang berhak menandatanganinya, faktur pajak harus tetap mencantumkan sejumlah keterangan minimal.
Pertama, nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP. Keterangan ini wajib diisi sesuai dengan nama, alamat, dan NPWP yang tercantum dalam surat pengukuhan PKP yang menyerahkan BKP atau JKP. Simak pula ‘Ini Wujud Faktur Pajak yang Dapat Dibuat PKP Pedagang Eceran’. (DDTCNews)
Pelaksana Direktorat Peraturan Perpajakan I DJP Andhika Bibing mengungkapkan PPh yang dikenakan atas aset kripto menggunakan skema final, sehingga pajak tersebut tidak diperhitungkan kembali baik dari sisi pokok pajaknya, dasar pengenaan pajak, maupun pajak yang harus dipotong.
"Jadi sudah selesai ketika diberikan bukti pungut tinggal dilaporkan saja. Jadi selesai tidak bisa dikreditkan, tapi tetap dilaporkan," kata Andhika. Simak ‘DJP Tegaskan PPh Atas Perdagangan Aset Kripto Tidak Bisa Dikreditkan’. (DDTCNews)
DJP mengingatkan PKP yang melakukan penyerahan atas aset kripto tidak perlu melakukan pemungutan dan penyetoran PPN. Pelaksana Direktorat Peraturan Perpajakan I DJP Andhika Bibing mengatakan kewajiban PKP untuk memungut dan menyetor PPN dialihkan ke exchanger PMSE kripto.
"Jadi yang biasanya PKP memungut PPN ini sudah digantikan perannya oleh exchanger. PKP tidak membuat faktur dan setor, tetapi harus tetap melaporkan," katanya. (DDTCNews)
Peraturan Pemerintah (PP) 15/2022 turut mengatur kembali ketentuan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berlaku pada sektor pertambangan batu bara.
Pada PP 15/2022, tarif PNBP produksi batu bara bagi pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian dirancang progresif berdasarkan harga batu bara acuan (HBA).
"Dengan demikian, pada saat HBA rendah, tarif PNBP produksi batubara yang diterapkan tidak terlalu membebani pemegang IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian," tulis Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Simak pula ‘Terbit, PP Baru Perlakuan Perpajakan dan PNBP Pertambangan Batu Bara’. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pendapatan negara 2023 dirancang 11,28%-11,76% PDB atau senilai Rp2.255,5 triliun hingga Rp2.382,6 triliun. Sementara itu, belanja negara didesain pada kisaran 14,09%-14,71% PDB atau Rp2.818,1 triliun hingga Rp2.979,3 triliun. Defisit APBN akan dirancang pada kisaran Rp562,6 triliun hingga Rp596,7 triliun atau 2,81%-2,95% PDB.
"Untuk APBN 2023, kami masih akan terus mengkalibrasikan dan mempertajam pada perhitungan untuk belanja, baik pusat maupun transfer ke daerah, dan juga estimasi penerimaan negara," ujarnya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan) (kaw)