Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak harus menandatangani bukti pemotongan/pemungutan unifikasi dan SPT masa PPh unifikasi menggunakan tanda tangan elektronik.
Penandatanganan bukti pemotongan/pemungutan unifikasi dan SPT masa PPh unifikasi dilakukan secara elektronik oleh wajib pajak atau kuasa wajib pajak menggunakan sertifikat elektronik atau kode otorisasi Ditjen Pajak (DJP) milik wajib pajak atau kuasa wajib pajak.
"Wajib pajak/wakil wajib pajak atau kuasa wajib pajak ... yang belum memiliki sertifikat elektronik atau kode otorisasi DJP; atau memiliki sertifikat elektronik atau kode otorisasi DJP namun masa berlakunya telah berakhir, harus mengajukan permohonan penerbitan sertifikat elektronik atau kode otorisasi DJP sesuai dengan peraturan perundang-undangan," bunyi Pasal 9 ayat (4) PER-24/PJ/2021, dikutip Selasa (15/3/2022).
Peraturan perundangan-undangan yang dimaksud adalah PMK 63/2021 yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
Meski terdapat kewajiban bagi wajib pajak untuk menandatangani bukti pemotongan/pemungutan unifikasi dan SPT masa PPh unifikasi dengan tanda tangan elektronik yang sesuai dengan PMK 63/2021, tanda tangan elektronik yang dibuat dengan sertifikat elektronik versi PMK 147/2017 masih berlaku hingga akhir tahun ini.
"Sertifikat elektronik pemotong/pemungut PPh yang dikeluarkan oleh DJP sebagaimana diatur dalam PMK 147/2017 ... dapat digunakan untuk melakukan tanda tangan elektronik ... sampai dengan paling lambat tanggal 31 Desember 2022," bunyi Pasal 14 PER-24/PJ/2021.
Untuk diketahui, pada PMK 63/2021 terdapat 2 jenis tanda tangan elektronik yakni tanda tangan elektronik tersertifikasi dan tidak tersertifikasi.
Tanda tangan elektronik tersertifikasi adalah tanda tangan elektronik yang dibuat menggunakan sertifikat elektronik, sedangkan yang tidak tersertifikasi adalah tanda tangan elektronik yang dibuat dengan kode otorisasi DJP. (sap)