KONSENSUS PAJAK GLOBAL

Pajak Minimum Global Tak Selaras dengan Proyek BEPS, Simak Analisisnya

Muhamad Wildan
Rabu, 23 Februari 2022 | 12.43 WIB
Pajak Minimum Global Tak Selaras dengan Proyek BEPS, Simak Analisisnya

Senior Partner DDTC Danny Septriadi saat berbicara di acaraTax Policy Dialogue bertajuk OECD’s Inclusive Framework Pillar Two: Potential Impact to Indonesian Income Tax Policies. 

JAKARTA, DDTCNews - Ketentuan pajak minimum global pada Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) dinilai kurang selaras dengan proyek base erosion and profit shifting (BEPS), khususnya BEPS Aksi 5.

Senior Partner DDTC Danny Septriadi mengatakan Proyek BEPS sebenarnya bertujuan untuk melawan insentif pajak yang tidak memiliki substansi ekonomi. Dengan pajak minimum global, preferential tax regime yang bertujuan menarik aktivitas ekonomi substantif justru mendapatkan perlakuan yang sama dengan rezim pajak yang hanya bertujuan menarik paper profit.

"Sebenarnya harmful tax regime yang seharusnya dieliminasi. Tapi yang terjadi adalah perusahaan yang melakukan substantive economic activities dan mendapatkan insentif ternyata insentif tersebut akan dikenai pajak di negara domisili," ujar Danny dalam Tax Policy Dialogue bertajuk OECD’s Inclusive Framework Pillar Two: Potential Impact to Indonesian Income Tax Policies, Rabu (23/2/2022).

Danny lantas memberikan contoh, terdapat perusahaan multinasional bermarkas di Jerman yang memiliki anak usaha di Kenya dan Bermuda. Tarif pajak efektif di Bermuda dan di Kenya sama-sama sebesar 0%.

Namun, tarif pajak efektif sebesar 0% di Kenya disebabkan oleh adanya tax holiday yang berfungsi untuk mendorong investasi dan aktivitas ekonomi riil. Hal ini berbeda dengan Bermuda yang notabene adalah yurisdiksi tax haven.

Dengan Pilar 2, penghasilan yang tak dipajaki akibat adanya stimulus untuk mendorong aktivitas ekonomi riil justru mendapatkan perlakuan yang sama dengan laba yang diparkirkan di tax haven.

"Tujuan dari Kenya memberikan insentif adalah dalam rangka meningkatkan competitiveness sehingga yang tujuannya substansi ekonomi itu bisa beraktivitas dan diberi insentif pajak, tapi akhirnya di negara domisili atau parent tetap harus membayar pajak minimum 15%," ujar Danny.

Mengutip Profesor Reuven Avi-Yonah, Danny melanjutkan, mencegah negara berkembang memberikan insentif pajak justru hanya akan menghilangkan kapabilitas negara berkembang dalam merespons kompetisi pajak dan bukan menghilangkan kompetisi pajak itu sendiri.

Bagi Indonesia, keberadaan Pilar 2 justru menciptakan dilema atas insentif pajak yang telah diberikan selama ini, contohnya adalah tax holiday. Bila perusahaan sudah mendapatkan tax holiday dan perusahaan tersebut baru beroperasi pada 2023, maka manfaat dari insentif yang diberikan Indonesia bakal tereduksi.

"Kepastian bagi wajib pajak yang telah mendapatkan tax holiday dan tax allowance akan menjadi berkurang atau hilang," ujar Danny.

Sebagai pengganti dari insentif pajak, negara sesungguhnya dapat memberikan insentif nonpajak seperti subsidi atau hibah. Namun, bantuan dari negara semacam ini berpotensi melanggar prinsip non-discrimination.

"Ada pengalaman di Eropa, ada pertentangan ketika suatu negara memberikan subsidi maka dia dianggap sebagai state-aid dan terkena pasal non-discrimination. Ini faktor-faktor yang harus dipertimbangkan kalau memberikan subsidi atau grant," ujar Danny.

Selain tantangan-tantangan di atas, terdapat tantangan dari sisi politik dan proses perumusan kebijakan. Danny mengatakan implikasi dari Pilar 1 dan Pilar 2 terhadap aturan-aturan baru seperti UU HPP, UU HKPD, hingga UU Cipta Kerja perlu diantisipasi.

"Kalau ada perubahan dari Pilar 1 dan Pilar 2, apakah perlu persetujuan dengan DPR dan kemudian harus berubah lagi aturan-aturannya? Sedangkan UU Cipta Kerja dan UU HPP masih baru diimplementasi," ujar Danny.

Menurutnya, perkembangan-perkembangan terbaru dan perubahan-perubahan aturan yang berpotensi terjadi ke depan memiliki dampak terhadap kepastian bagi wajib pajak.

"Akan ada perubahan domestic tax law dan tax treaty yang harus dilakukan untuk bisa menjembatani Pilar 1 dan Pilar 2 untuk diimplementasikan," ujar Danny.

Seperti diketahui, 137 yurisdiksi anggota Inclusive Framework telah bersepakat untuk memberlakukan pajak korporasi minimum global dengan tarif 15%. Pajak korporasi minimum global nantinya akan berlaku atas grup perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas EUR750 juta.

Bila rezim pajak minimum global benar-benar diimplementasikan pada 2023, maka insentif-insentif pajak yang memangkas tarif pajak efektif menjadi di bawah 15% berpotensi tidak efektif lagi untuk diberikan. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.