Ilustrasi. Warga menandatangani berkas penyerahan sertfikat tanah saat pembagian sertifikat peserta Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Balai Kelurahan Sananwetan Kota Blitar, Jawa Timur, Rabu (19/1/2022). ANTARA FOTO/Irfan Anshori/rwa.
JAKARTA, DDTCNews – Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk segera menindaklanjuti hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ketua BAKN Wahyu Sanjaya mengatakan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan BPN atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) tahun anggaran 2017-2019 menyebut terdapat sejumlah permasalahan yang perlu ditindaklanjuti.
“Kami melihat terdapat beberapa masalah yang signifikan dan perlu diperbaiki di antaranya seperti permohonan atas pelayanan survei, pengukuran, dan pemetaan tak sesuai dengan luas bidang tanah yang sesungguhnya,” katanya, dikutip pada Jumat (2/2/2022).
Dalam hasil pemeriksaan atas Laporan keuangan Kementerian ATR/BPN tahun anggaran 2019, lanjut Wahyu, tercatat terdapat 7 temuan, 13 permasalahan, dan 20 rekomendasi. Dari 13 persoalan tersebut, terdapat satu persoalan yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp218,53 juta.
Selain itu, sambungnya, hasil pemeriksaan kinerja atas kegiatan redistribusi tanah objek land reform (TOL) 2015 pada semester I/2016 juga mengungkapkan beberapa permasalahan. Misal, peraturan-peraturan perihal redistribusi TOL ada yang tidak relevan dan tidak dapat diimplementasikan.
“Pelaksanaan redistribusi TOL hanya merupakan kegiatan legalisasi aset, dan belum meningkatkan kesejahteraan petani dan kenaikan pendapatan per personal income masyarakat subjek reforma agraria sebagai IKU sasaran program pada Ditjen Penataan Agraria tidak tepat,” jelasnya.
BAKN juga menyebut beberapa permasalahan agraria lainnya. Pertama, adanya potensi kerugian negara dari jutaan tanah terlantar dari kemacetan penuntasan konflik agraria sehingga menurunkan nilai pembelian dan pajak negara.
Menurut Wahyu, konflik agraria yang terjadi di banyak daerah sebagai akibat dari proses pemberian izin, pendaftaran, penerbitan, sampai pengawasan setelah penerbitan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kedua, pungutan liar dalam proses sertifikasi tanah, khususnya program Pendaftaran Tanah Sertifikat Lengkap (PTSL) ATR/BPN. Dalam praktiknya, tata kelola perizinan usaha perkebunan belum sesuai dengan ketentuan; dan rendahnya produktivitas hasil perkebunan.
“Untuk itu perlu untuk didalami, terkait apa saja kendala-kendala yang menyebabkan masih adanya permasalahan yang tidak bisa ditindaklanjuti,” kata politisi Partai Demokrat itu. (rig)