Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) mengoptimalkan layanan outbound call, sebagai bagian dari program click, call, dan counter (3C) pada akhir tahun. Langkah otoritas tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (3/12/2021).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengatakan outbound call dijalankan oleh Kantor Layanan Informasi dan Pengaduan (KLIP). Outbound call dilakukan sebagai tindak lanjut permohonan yang berasal dari unit kerja lainnya di DJP.
"Hal ini dilakukan melalui campaign yang berupa billing support untuk ketetapan pajak dan voice blast untuk pelaporan SPT Tahunan dan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak," katanya.
Neilmaldrin mengatakan outbound call hanya dilakukan kepada wajib pajak dengan kriteria tertentu. Kriteria tersebut yakni wajib pajak yang belum melakukan pelaporan pajak dan/atau belum melakukan pembayaran pajak.
Selain mengenai layanan outbound call, ada pula bahasan terkait dengan penerimaan pajak. Kemudian, ada pula bahasan tentang Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengatakan data wajib pajak yang akan dihubungi (outbound call) berasal dari direktorat teknis terkait atau unit vertikal.
Direktorat teknis terkait akan menyampaikan data wajib pajak secara teratur atau berdasarkan permintaan. Sementara itu, data dari unit vertikal akan diberikan berdasarkan permintaan untuk melakukan outbound call kepada wajib pajak sesuai kriteria yang ditetapkan.
Outbound call merupakan bagian dari transformasi layanan DJP untuk menjadi serba elektronik dan modern. Petunjuk pelaksanaan outbound call untuk kegiatan billing support juga telah diatur dalam Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak 18/2016.
Melalui outbound call, DJP berharap pencairan piutang pajak sebelum jatuh tempo dapat meningkat sehingga mengurangi jumlah tunggakan pajak dan beban pelaksanaan kegiatan penagihan aktif. Layanan outbound call tersebut berjalan bersamaan dengan inbound call yang digunakan wajib pajak untuk menghubungi DJP. (DDTCNews)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksi defisit APBN pada 2022 dapat lebih rendah dari 4,85% terhadap produk domestik bruto (PDB). Pasalnya, ada keyakinan pendapatan negara melebihi target yang sudah ditentukan dalam APBN 2022.
Menurutnya, pendapatan negara pada tahun depan bisa menembus Rp2.000 triliun atau melampaui target dalam APBN 2022. Hal ini dipengaruhi adanya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang belum dimasukkan saat penyusunan target APBN 2022. (Bisnis Indonesia)
Penerima ‘surat cinta’ berupa SP2DK dari kantor pelayanan pajak (KPP) tidak selalu dipastikan harus membayar tagihan pajak. Pada dasarnya KPP ingin meminta klarifikasi atau penjelasan dari wajib pajak mengenai data yang tercantum dalam SP2DK.
“Sebenarnya belum tentu [langsung bayar pajak]. Kita lihat case-nya terlebih dahulu,” kata Penyuluh Pajak Ahli Pertama Dwi Langgeng Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Langgeng. Simak ‘Apakah Dapat SP2DK Pasti Harus Bayar Pajak Lagi? Ini Penjelasan DJP’. (DDTCNews)
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah tengah mengkaji rencana perpanjangan insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar 100% hingga tahun depan.
Perpanjangan insentif fiskal tersebut akan diarahkan untuk mendorong penurunan emisi. Menurutnya, makin rendah emisi karbon yang dihasilkan, makin banyak diskon yang akan didapat. “Sebenarnya ada regulasi baru terkait dikaitkannya dengan penurunan emisi,” katanya. (Kontan)
Kementerian Keuangan mencatat realisasi pengembalian pembayaran atau restitusi pajak hingga Oktober 2021 mencapai Rp176,2 triliun. Nailai itu tumbuh 13% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan pertumbuhan realisasi restitusi pajak terlihat signifikan jika hanya dilihat pada Oktober 2021. Sepanjang Oktober 2021, pertumbuhan realisasi restitusi pajak mencapai 25% dari periode yang sama tahun lalu. (DDTCNews)
Wajib pajak orang pribadi yang akan mengungkapkan harta perolehan 2016-2020 dalam program pengungkapan sukarela (PPS) harus mencabut beberapa permohonan, termasuk keberatan, banding, dan peninjauan kembali.
Sesuai dengan bagian penjelasan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), permohonan berkaitan dengan pajak penghasilan (PPh), pemotongan dan/atau pemungutan PPh, dan pajak pertambahan nilai (PPN) atas orang pribadi yang bersangkutan.
“Untuk tahun pajak 2016, tahun pajak 2017, tahun pajak 2018, tahun pajak 2019, dan/atau tahun pajak 2020,” demikian bunyi penggalan bagian penjelasan Pasal 10 ayat (2) huruf d UU HPP. (DDTCNews) (kaw)