KEBIJAKAN PAJAK

Kebutuhan Insentif Pajak Berubah Saat Pemulihan Ekonomi, Ini Alasannya

DDTC Fiscal Research and Advisory
Rabu, 01 Desember 2021 | 10.45 WIB
Kebutuhan Insentif Pajak Berubah Saat Pemulihan Ekonomi, Ini Alasannya

Ilustrasi. Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Kamis (4/11/2021). Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM) mencatat realisasi investasi kuartal III/2021 mencapai Rp216,7 triliun, tumbuh sebesar 3,7% (yoy). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nz

DALAM konteks pelemahan ekonomi dan pemulihannya, kita dapat melihat peran pajak selalu hadir di tengah masyarakat. Berbagai bentuk keringanan beban pajak ataupun subsidi yang didanai pajak itu sendiri kerap digunakan sebagai instrumen untuk memitigasi risiko yang ada.

Namun, perlu diketahui, desain insentif pajak harus disesuaikan dari aspek bentuk hingga kriteria pemanfaatnya. Penyesuaian dilakukan agar insentif pajak bisa tepat sasaran dan selaras dengan prioritas pemerintah.

Pengelompokkan fase ekonomi menjadi kerangka kerja bagi pemerintah agar kebijakan insentif pajak dapat diimplementasikan secara efektif dan berkelanjutan. Melalui kerangka ini, insentif pajak secara perlahan dapat membantu arus kas masyarakat, meningkatkan penerimaan pemerintah, dan menjadi pendorong utama perekonomian.

Menurut Collier et al (2020), setidaknya terdapat 3 fase krisis yang dapat diidentifikasi. Ketiganya adalah fase mitigasi risiko, pemulihan ekonomi, dan stabilisasi ekonomi.

Fase mitigasi risiko berfokus pada dukungan terhadap arus kas bisnis dan rumah tangga pada kondisi keterbatasan mobilisasi dan eskalasi virus yang masih cenderung tinggi. Beberapa bentuk insentif bersifat temporer seperti penundaan pembayaran pajak dan keringanan pajak penghasilan orang pribadi, terutama UMKM, biasanya menjadi andalan.

Pada fase pemulihan ekonomi, setelah kebijakan pembatasan mobilisasi diperlonggar atau dicabut, insentif pajak yang telah diberikan pada fase pertama dapat dilanjutkan dalam upaya mempertahankan dukungan bagi arus kas.

Namun, pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk menggeser fokus pada opsi insentif pajak yang dapat merangsang permintaan serta meningkatkan produktivitas. Relaksasi pajak berbasis konsumsi dapat secara bertahap menggantikan insentif pajak yang sudah diberikan pada fase pertama..

Pada ketiga adalah ketika ekonomi mulai stabil. Pada masa ini, kebijakan pajak lebih ditujukan bagi tujuan pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan. Sistem pajak berdaya saing yang mampu mendorong investasi digunakan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Di saat bersamaan pula, kebijakan pajak pada fase ini mulai ditujukan ke arah pemulihan penerimaan serta penguatan ketahanan fiskal.

Meskipun tidak dapat dipatok secara pasti, gambar berikut dapat memberikan sedikit ilustrasi terkait dengan ketiga fase beserta tujuan relaksasi sistem pajak yang perlu dicapai.

Berdasarkan pada konsep tersebut, kebutuhan insentif akan makin bergeser pada 2022 dan seterusnya. Namun, bukan berarti berbagai insentif yang sudah ada sebelumnya langsung ditiadakan. Masa transasisi dapat diterapkan untuk menyesuaikan insentif tersebut berdasarkan kebutuhan dan prioritas.

Mitigasi Risiko

BAGAIMANA kesesuaian insentif pajak yang sudah diberikan pemerintah sajauh ini? Ternyata terdapat penerapan yang sejalan dengan konsep yang sudah dijelaskan.

Sejak pandemi Covid-19 merebak hingga kini, setidaknya terdapat 4 respons kebijakan pajak yang menjadi perhatian di fase mitigasi krisis Covid-19. Pertama, kebijakan dilakukan untuk menyasar pada peningkatan arus kas, baik dari sisi pelaku usaha maupun rumah tangga.

Kedua, kebijakan dilakukan untuk mendeviasi perilaku masyarakat sehingga menciptakan saya saing ekonomi yang kompetitif. Ketiga, kebijakan dilakukan untuk mendukung langkah-langkah percepatan penanganan medis akibat Covid-19. Terakhir, kebijakan dilakukan untuk menyediakan kepastian hukum.

Apabila mengacu pada koridor kebijakan pajak yang disebutkan sebelumnya, secara garis besar, pemerintah telah mengakomodasi keempat poin tersebut. Pada poin pertama, kebijakan yang menyasar peningkatan arus kas rumah tangga dan pelaku usaha tercermin dari pembebasan pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 untuk wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT), diskon angsuran PPh Pasal 25, serta restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dipercepat.

Kemudian, pada poin kedua, kehadiran klaster perpajakan dalam UU Cipta Kerja merupakan bagian dari rencana besar untuk mendorong daya saing ekonomi dengan tetap menjaga kestabilan penerimaan melalui upaya peningkatan kepatuhan sukarela. Dengan begitu, sistem pajak Indonesia makin kompetitif dibandingkan dengan negara lain secara global.

Selanjutnya, pada poin ketiga, kebijakan untuk mendukung langkah-langkah penanganan krisis Covid-19 tercermin dari adanya pembebasan PPh Pasal 22 atas impor atau pembelian barang untuk penanganan Covid-19 untuk wajib pajak badan dalam negeri dan BUT, PPN tidak dipungut dan PPN ditanggung pemerintah (DTP), sumbangan sebagai pengurang penghasilan bruto, serta pembebasan PPh Pasal 21 untuk wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima imbalan dari pihak tertentu sebagai kompensasi atas penyediaan jasa yang diperlukan dalam penanganan Covid-19. 

Selanjutnya, pada poin terakhir, penyediaan kepastian hukum tercermin dari adanya penerima manfaat yang jelas, durasi yang berkesinambungan, pengajuan pelaporan yang mudah, serta tidak adanya permasalahan baru yang akan muncul ke depannya apabila wajib pajak mendapatkan berbagai fasilitas maupun insentif yang ada.

Sejalan dengan konsep sebelumnya, jika pemulihan ekonomi terus berlangsung, bukan tidak mungkin insentif pajak disesuaikan berdasarkan kebutuhan yang berbeda pada fase berikutnya. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.