Manager Tax Compliance & Litigation Services DDTC Anggi Padoan Ibrahim Tambunan dalam webinar yang digelar Program Studi D3 Perpajakan Universitas Pembangunan Panca Budi (UNPAM). (tangkapan layar)
MEDAN, DDTCNews – Ekosistem ekonomi tidak mengenal pemisahan antara bisnis konvensional dan digital. Kedua pola bisnis, baik konvensional dan digital, kini mulai melebur dan tak terpisahkan. Pasalnya, banyak pelaku bisnis konvensional mulai memasarkan produknya secara digital.
Manager of Tax Compliance & Litigation Services DDTC Anggi P. I. Tambunan menjelaskan ekosistem ekonomi digital sebenarnya bukan bagian terpisah dari ekonomi pada umumnya. Konsep ini juga berlaku untuk skema pemajakan terhadap keseluruhan sistem ekonomi.
"Memisahkan pemajakan antara dunia bisnis konvensional dengan bisnis digital hanya akan menimbulkan diskriminasi. Prinsip netralitas harus diterapkan dalam kedua ekosistem tersebut. Hal ini untuk menciptakan level playing field," ujar Anggi, Selasa (9/11/2021).
Dalam webinar yang digelar Program Studi D-3 Perpajakan Universitas Pembangunan Panca Budi tersebut, Anggi mengungkapkan setidaknya ada 3 langkah untuk dapat memajaki ekosistem digital domestik.
Pertama, memahami model bisnis digital. Tidak dapat dimungkiri, setiap platform digital memiliki model bisnis yang berbeda-beda. Menurutnya, masing-masing platform tidak dapat dipandang dengan kacamata yang sama.
Kedua, mengidentifikasi sejauh mana ketentuan pajak yang telah mampu menangkap potensi ekonomi digital. Ketiga, memilih solusi, yakni menggunakan kebijakan baru, membuat kebijakan administrasi baru, atau mengkombinasikan keduanya.
Pada sisi pajak pertambahan nilai (PPN) misalnya, ekosistem digital telah membuat terobosan baru dalam pemungutan PPN domestik. Kini, pemungutan PPN tidak hanya dapat dilakukan pengusaha kena pajak (PKP), tetapi juga dapat dilakukan pihak lain.
"Dibuatlah terobosan bahwa yang memungutnya bisa pedagang luar negeri, bisa penyedia jasa luar negeri, bisa PPMSE luar negeri, atau juga PPMSE dalam negeri. Mereka lah yang ditunjuk menjadi pemungut PPN,” ujarnya.
Ekosistem digital juga mendorong perubahan dalam sisi pengenaan pajak penghasilan. Kini, kehadiran fisik sebagai penentuan bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia mulai bergeser menjadi significant economic presence (SEP).
Indonesia juga bersiap mengambil peran untuk merampungkan konsensus pajak global yang tertuang dalam proposal Pilar 1 dan Pilar 2 OECD. Sebagai informasi, Pilar 1: Unified Approach diusulkan sebagai solusi yang menjamin hak pemajakan yang lebih adil karena tidak lagi berbasis kehadiran fisik.
Sementara itu, Pilar 2: Global anti-Base Erosion Rules (GloBE) bertujuan untuk mengurangi tingkat kompetisi pajak serta melindungi basis pajak yang dilakukan melalui penetapan tarif pajak minimum secara global. Pilar 2 akan memastikan perusahaan multinasional dikenakan tarif pajak minimum 15%.
Ketua Prodi D-3 Perpajakan Universitas Pembangunan Panca Budi Junawan menyampaikan tujuan diadakannya webinar ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan perpajakan bagi mahasiswa.
“Webinar ini dibuat untuk meminimalisasi gap antara dunia perpajakan di kampus dengan dunia praktisi,” kata Junawan. (sap)