EKONOMI HIJAU

Perpres Baru, Jokowi Atur Nilai Ekonomi Karbon untuk Tekan Emisi

Dian Kurniati
Selasa, 02 November 2021 | 12.00 WIB
Perpres Baru, Jokowi Atur Nilai Ekonomi Karbon untuk Tekan Emisi

Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Barito, Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Rabu (1/9/2021). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/rwa.

JAKARTA, DDTCNews - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Langkah ini merupakan bagian dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan penerbitan Perpres tersebut menandai Indonesia sebagai penggerak pertama penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar (market) di tingkat global. Menurutnya, penerapan nilai ekonomi karbon juga untuk dorong pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.
 
"Instrumen NEK ini menjadi bukti kolaborasi dan kerja sama multipihak yang sangat baik dan dapat menjadi momentum bagi first mover advantage penanggulangan perubahan iklim berbasis market di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (2/11/2021).

Febrio mengatakan Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030, serta net zero emission (NZE) pada 2060. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah membutuhkan inovasi instrumen kebijakan, termasuk melalui instrumen nilai ekonomi karbon.

Dia kemudian menyebut penetapan Perpres mengenai nilai ekonomi karbon juga menjadi tonggak penting dalam menetapkan arah kebijakan Indonesia menuju target NDC 2030 dan NZE 2060, serta sebagai bagian dari ikhtiar menuju Indonesia emas pada 2045.

Febrio menjelaskan selain komando dan kendali (command and control), upaya penurunan emisi gas rumah kaca dapat dilakukan melalui pendekatan berbasis pasar (market-based instruments/MBI). Kebijakan berbasis pasar mendasarkan kebijakannya pada aspek penetapan nilai ekonomi karbon atau yang sering disebut dengan carbon pricing.

Secara umum, carbon pricing terdiri atas 2 mekanisme penting, yakni perdagangan karbon dan instrumen nonperdagangan. Jika instrumen perdagangan terdiri atas cap and trade serta offsetting mechanism, maka instrumen nonperdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja atau result-based payment/RBP.

Dengan memanfaatkan first mover advantage, sambung Febrio, Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor pembangunan, baik di energi, transportasi, maupun industri manufaktur.

Industri-industri berbasis hijau akan menjadi primadona investasi masa depan misalnya kendaraan listrik, serta sumber-sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, panas bumi, dan angin akan menjadi pendongkrak ekonomi. Sektor industri hijau ini juga mampu memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia serta menyerap tenaga kerja yang berkeahlian tinggi.

"Diharapkan investasi hijau global akan berlomba menuju Indonesia di samping kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan berbiaya rendah hijau global," ujarnya.

Selain implementasi nilai ekonomi karbon, langkah lain yang ditempuh pemerintah untuk mencapai target NDC antara lain menerapkan pajak karbon melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, serta mengalokasikan pendanaan perubahan iklim di tingkat kementerian/lembaga. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.