Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Pande Putu Oka Kusumawardani dalam webinar bertajuk Membidik Perubahan Kebijakan PPN dan PPh dalam RUU KUP 2021, Jumat (10/9/2021).
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah menilai RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) diperlukan untuk merespons tantangan penerimaan pajak yang timbul akibat praktik-praktik penghindaran pajak.
Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Pande Putu Oka Kusumawardani mengatakan yurisdiksi-yurisdiksi di negara lain telah memiliki ketentuan seperti alternative minimum tax (AMT) dan general anti-avoidance rule (GAAR) guna mengantisipasi penghindaran pajak.
"Sistem PPh perlu mengantisipasi berbagai aktivitas penghindaran pajak, termasuk merespons fenomena wajib pajak melaporkan rugi bertahun-tahun tetapi tetap beroperasi dan mengembangkan usahanya," katanya, Jumat (10/9/2021).
Dalam webinar bertajuk Membidik Perubahan Kebijakan PPN dan PPh dalam RUU KUP 2021, Oka menjelaskan yurisdiksi lain juga menghadapi tantangan yang sama dengan Indonesia. Namun, mereka bisa menggunakan AMT dan GAAR untuk menjawab tantangan tersebut, sedangkan Indonesia belum.
Untuk diketahui, pemerintah mengusulkan AMT pada RUU KUP mengingat banyaknya wajib pajak badan yang hingga saat ini terus menerus membukukan kerugian meski terus beroperasi dan bahkan mengembangkan usahanya.
Kementerian Keuangan mencatat total wajib pajak yang melaporkan kerugian sejak 2015 hingga 2019 mencapai 9.496 wajib pajak, meningkat 83% dibandingkan dengan periode 2012—2016 sebanyak 5.199 wajib pajak. Hal ini mengindikasikan adanya praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak badan.
Melalui AMT, pemerintah berencana mengenakan tarif pajak minimum sebesar 1% terhadap wajib pajak badan yang melaporkan kerugian secara artifisial atau terhadap wajib pajak badan yang hanya membayar pajak kurang dari 1% penghasilan bruto.
Nanti, AMT tidak akan diberlakukan terhadap wajib pajak yang benar-benar mengalami kerugian, wajib pajak yang mendapatkan fasilitas tax holiday, dan wajib pajak yang belum beroperasi secara komersial.
Selain itu, pemerintah juga akan memberikan kewenangan bagi DJP untuk membuat penetapan atas transaksi wajib pajak yang bertujuan mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan perpajakan. (rig)