KEBIJAKAN CUKAI

Kendalikan Konsumsi Rokok, Kenaikan Tarif Cukai Bukan Solusi Tunggal

Redaksi DDTCNews
Selasa, 7 September 2021 | 13.00 WIB
Kendalikan Konsumsi Rokok, Kenaikan Tarif Cukai Bukan Solusi Tunggal

Manager DDTC Fiscal Research Denny Vissaro dalam webinar bertajuk Target Penerimaan Cukai 2022 dan Komitmen Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Tembakau, Selasa (7/9/2021).

JAKARTA, DDTCNews - Manager DDTC Fiscal Research Denny Vissaro menyatakan kebijakan penyesuaian tarif cukai hasil tembakau (CHT) bukanlah solusi tunggal dalam upaya optimalisasi penerimaan dan pengendalian konsumsi rokok di masyarakat.

Denny menilai optimalisasi penerimaan cukai dan pengendalian konsumsi memerlukan kombinasi antara kenaikan tarif dan perubahan struktur tarif. Namun demikian, struktur tarif hingga saat ini masih 10 strata/lapisan tarif.

"Soal prevalensi merokok bukan hanya tentang tarif cukai tetapi juga menyangkut harga jual. Pada akhirnya, bukan hanya meningkatkan cukai rokok tetapi bagaimana pengendalian harga pada tingkat konsumen," katanya, Selasa (7/9/2021).

Dalam acara webinar bertajuk Target Penerimaan Cukai 2022 dan Komitmen Penyederhanaan Struktur Tarif Cukai Tembakau, Denny menilai struktur tarif cukai yang kompleks cenderung menciptakan celah hukum (loophole) dengan memanfaatkan tarif CHT dan harga jual eceran yang lebih rendah.

Walhasil, struktur cukai yang kompleks membuka ruang perencanaan perpajakan yang agresif untuk menghindari terkena kelompok tarif cukai paling tinggi.

Selain itu, lanjut Denny, upaya pemerintah yang hanya meningkatkan tarif cukai justru berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. Hal tersebut terlihat dari statistik pada 2020 dengan kenaikan volume rokok ilegal hingga 41% dari 2019. 

Pemerintah disarankan membuka opsi kembali untuk melakukan simplifikasi struktur cukai rokok. Setidaknya terdapat beberapa opsi yang bisa dieksekusi pemerintah perihal simplikasi struktur cukai rokok tersebut.

Misal, menyeimbangkan jarak rasio CHT antara kelompok sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Jarak beban CHT pada dua kelompok tersebut harus dipersempit sebagai upaya mencegah eksploitasi CHT golongan 2 oleh pabrikan besar.

Otoritas juga bisa menempuh opsi untuk kombinasi perubahan tarif CHT dan harga jual eceran (HJE). Denny menjabarkan tiga skenario itu antara lain menaikkan HJE yang lebih tinggi dari kenaikan CHT, tetapi berdampak pada penerimaan negara yang tidak optimal.

Skenario selanjutnya menaikkan CHT yang lebih tinggi dari kenaikan HJE, tetapi akan berdampak pada pengendalian konsumsi rokok yang tidak optimal. Lalu, skenario berikutnya menaikkan HJE dan CHT secara seimbang.

"Jadi usulan kebijakan jangka menengah penyesuaian tarif HJE sebaiknya setara dengan CHT," ujar Denny.

Dia juga memberikan lima rekomendasi yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan cukai rokok dan mampu mengendalikan konsumsi. Pertama, meningkatkan kesetaraan melalui simplifikasi struktur tarif CHT.

Kedua, setelah simplifikasi maka jarak nilai antargolongan dan jenis hasil tembakau perlu diperkecil. Kelompok sigaret kretek tangan memiliki jarak tarif yang lebih besar dibandingkan produksi rokok mesin sebagai bentuk keberpihakan pemerintah pada usaha padat karya dan melindungi petani tembakau.

Ketiga, persentase kenaikan CHT sebaiknya setara dengan kenaikan HJE. Keempat, menghilangkan ketentuan yang memperbolehkan rasio HTP/HJE kurang 85%. Kelima, seluruh agenda kebijakan CHT perlu landasan hukum yang jelas untuk memastikan kepastian dan stabilitas.

"Jadi agenda simplifikasi ini perlu diikuti dengan aturan yang ketat terhadap penentuan harga di pasar," tutur Denny. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
Facebook DDTC
Twitter DDTC
Line DDTC
WhatsApp DDTC
LinkedIn DDTC
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.