Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Bidang Ekonomi Panutan Sulendrakusuma. (foto: ksp.go.id)
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menyatakan akan terus mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor digital pada tahun depan mengingat potensi penerimaan pajak yang belum tergali dari sektor tersebut masih besar.
Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Bidang Ekonomi Panutan Sulendrakusuma mengatakan geliat ekonomi yang melemah akibat pandemi Covid-19 telah menyebabkan upaya pengumpulan pajak makin sulit. Akan tetapi, ia meyakini terdapat potensi pajak yang belum tergali dari sektor usaha tertentu.
"Terutama pada sektor-sektor yang belum menyumbang terhadap pembangunan, misalnya sektor digital," katanya dalam keterangan tertulis, dikutip pada Kamis (18/8/2021).
Panutan menilai potensi penerimaan negara dari pajak masih besar dan luas. Untuk itu, pemerintah akan melanjutkan langkah reformasi di bidang perpajakan untuk mengoptimalkan potensi penerimaan tersebut, seperti pada kegiatan ekonomi digital.
Menurutnya, langkah reformasi perpajakan diperlukan untuk memperkuat kemandirian pembiayaan pembangunan. Apalagi, pandemi menyebabkan penerimaan pajak menurun, sedangkan kebutuhan belanja negara justru meningkat tajam.
Pemerintah merancang empat arah kebijakan perpajakan pada 2022. Pertama, perluasan basis perpajakan melalui perluasan objek dan ekstensifikasi berbasis kewilayahan. Kedua, penguatan sistem perpajakan yang lebih sehat dan adil, serta disesuaikan dengan perkembangan struktur perekonomian dan karakter sektor usaha.
Ketiga, inovasi penggalian potensi perpajakan dengan tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan usaha. Keempat, pemberian insentif fiskal secara lebih terarah dan terukur pada kegiatan ekonomi strategis dengan multiplier yang kuat.
Saat ini, pemerintah bersama DPR juga tengah membahas RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Menurut Panutan, RUU KUP akan mendorong terciptanya tata perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel dalam jangka menengah-panjang.
Beberapa poin yang termuat dalam RUU KUP di antaranya mengenai pengenaan sanksi atas putusan peninjauan kembali, asistensi penagihan pajak, tindak lanjut atas mutual agreement procedure (MAP), penegakan hukum pidana pajak yang mengedepankan ultimum remedium, serta perubahan tarif dan bracket PPh orang pribadi.
Kemudian, terdapat implementasi general anti avoidance rule (GAAR) dan alternative minimum tax (AMT), pengurangan fasilitas PPN, implementasi PPN multitarif dan kenaikan tarif PPN umum dari 10% ke 12%, serta pajak karbon.
"Reformasi perpajakan yang menjadi semangat pembentukan RUU KUP merupakan bentuk respon untuk menghadapi tantangan dalam mendorong pemulihan ekonomi, kesinambungan fiskal, dan mewujudkan kemandirian bangsa," ujarnya.
Pada buku Nota Keuangan dan RAPBN 2022, pemerintah menargetkan penerimaan pajak 2022 mencapai Rp1.262,8 triliun, tumbuh 11% dibandingkan dengan proyeksi APBN 2021 sejumlah Rp1.142,46 triliun. (rig)