WEBINAR INTERNASIONAL

Jaminan Kepastian Hak Wajib Pajak Jadi Penentu Kepatuhan

Redaksi DDTCNews
Rabu, 26 Agustus 2020 | 15.09 WIB
Jaminan Kepastian Hak Wajib Pajak Jadi Penentu Kepatuhan

Senior Partner DDTC Danny Septriadi saat memaparkan materi dalam webinar internasional bertajuk “Indonesia Tax Administration Reform: Lessons Learnt and Future Direction”, Rabu (26/8/2020).

JAKARTA, DDTCNews – Jaminan kepastian mengenai hak-hak wajib pajak menjadi aspek penting untuk meningkatkan kepatuhan.

Senior Partner DDTC Danny Septriadi mengatakan wajib pajak akan cenderung patuh untuk memenuhi seluruh kewajibannya jika mereka mengetahui haknya –  yang dilindungi dengan undang-undang (UU) – dan mendapat perlakuan adil dari otoritas pajak.

“Jika wajib pajak tahu haknya, mereka akan cenderung patuh," katanya dalam webinar internasional bertajuk “Indonesia Tax Administration Reform: Lessons Learnt and Future Direction”, Rabu (26/8/2020).

Terjaminnya hak wajib pajak, sambung Danny, akan mengubah pola hubungan otoritas dengan wajib pajak. Menurutnya, pola relasi otoritas dan wajib pajak pada saat ini berada dalam nuansa konfrontasi karena banyak berhubungan dengan denda dan penalti pajak.

Nantinya, dengan hubungan yang berorientasi pada pelayanan, akan terbangun kepercayaan antara otoritas dengan wajib pajak. Adapun sarana yang paling tepat untuk mengakomodasi hak wajib pajak adalah UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

"Agar orang bersedia patuh maka prosesnya tidak perlu menyakitkan bagi wajib pajak. Dengan demikian, mereka tidak merasa terbebani ketika membayar pajak," ungkapnya.

Danny menjabarkan dimensi hak wajib pajak terbagi dalam tiga aspek utama. Pertama, jaminan kepastian baik terkait dengan interpretasi atas regulasi dan kepastian waktu untuk proses bisnis yang melibatkan wajib pajak. Salah satu contohnya adalah kepastian waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses pemeriksaan hingga selesai.

Kedua, jaminan sistem pajak beroperasi secara proporsional untuk menjamin keadilan. Salah satu aspek dari aspek proporsional ini terkait dengan regulasi denda dan penalti yang disesuaikan dengan derajat kesalahan wajib pajak.

Ketiga, jaminan sistem peradilan yang adil bagi wajib pajak. Aspek ini penting untuk menjamin argumentasi wajib pajak didengar dan menjadi pertimbangan ketika harus bersengketa dengan otoritas di pengadilan pajak.

Danny menegaskan dalam rezim self assessment, otoritas harus melihat wajib pajak sudah patuh dan jujur dalam menunaikan kewajiban pajaknya kepada negara. Otoritas baru bisa menyatakan wajib pajak tidak patuh ketika menemukan bukti yang dapat mengonfirmasi ketidakpatuhan terhadap aturan perundang-undangan.

"Pada model perjanjian pajak, wajib pajak harus diasumsikan otoritas sudah jujur dan patuh kecuali ada bukti lain yang menyangkal hal tersebut. Ini merupakan inti dari penerapan rezim self assessment,” imbuhnya.

Sebagai informasi, webinar internasional ini diselenggarakan oleh TERC LPEM FEB UI yang berkolaborasi dengan DDTC Fiscal Research. Simak pula artikel 'Soal Reformasi Administrasi Pajak, Ini Pesan Akademisi dan Praktisi' dan 'Dirjen Pajak: Reformasi Bukan Program Satu Waktu'. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.